Gambar MENULIS KANG JALAL, NETIZEN MULAI BERTANYA


Sejak kutulis tentang Kang Jalal

yang cerdas dan rendah hati,

ramai suara maya pun menyerbu,

menyapaku dengan tanya dan curiga:

“Engkau Syiah kah? Resmi bergabungkah?”


Aku hanya tersenyum lirih,

sebab sejak dulu kutahu jati diriku:

cukup menjadi seorang muslim.

"Isyhaduu bi-annaa muslimuun"—

itu saja, dan itu cukup bagiku.


Aku penulis, aku penasehat

bagi para penulis di tanah ini.

Tak perlu kuikat diriku

pada satu simpul organisasi,

karena Islam, bagiku, adalah samudra luas

yang menampung banyak sungai.


Dari Wahabi hingga Ikhwanul Muslimin,

dari NU hingga Muhammadiyah —

semua adalah saudaraku.

Mereka pejuang, mujahid,

yang mengalirkan ilmunya ke dunia.


Aku merasa lebih bebas

mengutip dari siapa pun yang relevan:

dari Plato hingga Ibnu Khaldun,

dari Hasan al-Banna hingga Kang Jalal,

seperti ketika menguji disertasi di Unhas

tanpa sekat mazhab, tanpa pagar ideologi.


Aku bukan Syiah secara resmi,

tapi tak akan mencela mereka

yang bersyahadat dan menjadikan agama sebagai dasar perjuangan.


Bukankah Nabi ingin umatnya banyak?

Mengapa justru kita sibuk menyingkirkannya?

Mengapa iman dikecil karena oleh semangat membenci sesama?


Aku memang tak mendaftar

ke organisasi Islam arus utama.

Bukan karena benci,

tapi karena luka masa lalu—

di kampus, saat sahabat saling pukul

hanya karena beda jalan dan kelompok.


Sejak itu, kutapaki jalan lain:

IMMIM jadi ruang teduhku,

Aqsha jadi tempat merenungku.

Ruang yang memeluk semua warna,

tanpa menolak siapa pun

yang mencintai Islam dan keadaban.


Banyak organisasi telah mengajakku,

hingga hari ini, ajakan itu masih ada.

Namun kujawab:

“Biarlah aku tetap seperti ini —

menghormati semua, mencintai semua,

datang bila diundang,

berdiri di sisi siapa pun yang tulus.”


Apalagi bila yang memimpin

adalah seperti Kang Jalal atau Cak Nur,

ulama yang membimbing

dengan ilmu, akal, dan kasih sayang.


Aku pernah berteman akrab

dengan seorang kader Muhammadiyah,

setahun lamanya ia bersamaku,

tapi perilakunya jauh dari tarjih yang dijunjung.

Saat itulah kuterngiang kata Hasan al-Banna:


“Kam minna wa laysa fina,

wa kam fina wa laysa minna.”

(Berapa banyak yang bersama kita,

tapi sejatinya bukan bagian dari kita.

Berapa banyak pula di luar kita,

tapi justru sejati bersatu dengan cita kita.)


Bagi yang menuduhku bagian dari kelompok tertentu,

cobalah telusuri semua organisasi itu,

pasti tak kau temui namaku dalam barisan resminya.

Tapi cintaku pada umat,

pada Islam yang luas dan rahmah,

tak pernah lekang—

dari masjid kecil hingga panggung besar perjuangan.


Dulu, saat mahasiswa S1,

hampir semua kawan ikut trend masa itu:

HMI dan PMII bersinar terang.

Aku pun hampir bergabung,

namun luka pukulan antar mereka

membuatku menepi dan memilih jalan sunyi.


Dan sejak itu kutetap di IMMIM,

di mana semua bisa duduk bersama.

Mungkin pilihanku ini tak populer,

kadang merugikan, kadang menguntungkan,

tapi di situlah aku menemukan ketenangan:

Islam yang mempersatukan,

bukan membatasi dan menyeragamkan.


Wassalam,

Kompleks GFM, 5 Juli 2025