Gambar Menteri Agama dan “Ember Bocor ”


Di hadapan manusia, seseorang bisa saja tampak seperti kekasih Allah. Wajahnya meneduhkan. Lisan yang tenang berisi petuah. Langkahnya seperti menyusuri jejak para sufi. Namun, sebagaimana pohon lebat daun yang tak berbuah, kita tidak pernah tahu apakah di balik rindangnya amal itu bersembunyi cinta yang sejati, atau hanya bayangan cinta, yang hanya menyentuh kulitnya saja, bukan jantungnya.


Kita hidup di zaman visual. Di mana makna, kadang, digantikan oleh bentuk. Amal bisa tampil dalam rupa. Tapi siapa tahu, di sela-sela pujian yang mengalir, ada cinta diri yang menyelinap halus? Siapa tahu di balik wajah tunduk yang tampak khusyuk, tersembunyi sorot mata yang ingin disaksikan?


“Jangan bawa ember bocor ke akhirat,” ujar Menteri Agama, KH. Nasaruddin Umar, di mimbar Masjid Raya Parepare. Sebuah peringatan yang lebih menyerupai tanya sunyi, ketimbang nasihat lantang. Ia seperti mengetuk pintu dari dalam dada: Sudahkah air amal kita mengalir jernih sampai ke langit? Ataukah bocor oleh riya’ yang tak kita sadari, oleh sum’ah yang menyamar sebagai dakwah, oleh ujub yang bertopeng syiar?


Saya terdiam cukup lama membaca kalimat itu, dari sebuah tulisan berita. Ungkapan itu tidak datang dari teks, tapi dari lorong hidup. Dari pengalaman yang, saya kira, sudah melewati cukup banyak panggung untuk mengenali mana cahaya, mana sorot lampu. Amal, jika ia tak berasal dari cinta kepada Allah, mungkin hanyalah potret diri—yang digantung di dinding-dinding sosial, agar dilihat dan diingat.


Tapi di sudut-sudut gelap kehidupan, yang tak tersentuh kamera dan tepuk tangan, ada model kehidupan yang lain. Ada manusia-manusia yang berjalan dalam diam. Mereka tidak tampil, tidak bicara banyak, tidak menulis khutbah. Tapi bisa jadi, merekalah yang setiap sujudnya menggetarkan langit. Mereka yang menyembunyikan cinta seperti seseorang menyembunyikan harta karun dari pencuri. Sebab mereka tahu, begitu cinta itu diumbar, ia mudah ternoda . Maqam khafa’ begitulah para sufi menyebutnya. Ia semacam Derajat kerahasiaan. Amal yang tak ingin diketahui siapa-siapa. Bahkan mungkin tak ingin diketahui diri sendiri. Mereka tak mencatat amalnya, agar tak terjebak dalam jumlah. Mereka lebih takut kepada amal yang dianggap cukup, ketimbang dosa yang disesali.


Dalam dunia pendidikan, pelajaran semacam ini tak selalu masuk kurikulum. Tapi Al-Ghazali, dalam diamnya yang panjang, telah menulis: tujuan pendidikan bukan menghasilkan cendekiawan, melainkan jiwa-jiwa yang sadar. Sadar akan Allah, sadar akan dirinya sendiri. Pendidikan, bila ia tak menyentuh dimensi ruhani, akan melahirkan pengetahuan tanpa kedalaman, amal tanpa arah.


Lawrence Kohlberg, seorang psikolog moral dari dunia modern, menyebut tahap tertinggi perkembangan moral adalah ketika seseorang berbuat bukan karena takut hukuman, bukan karena mengharap hadiah, tapi karena ia tahu bahwa kebaikan itu sendiri adalah tujuan. Dalam Islam, kita menyebutnya: ikhlas. Dan ikhlas, sebagaimana yang kita tahu, bukan sesuatu yang kita temukan sekali lalu selesai. Ia seperti mengasah kaca: berulang-ulang, perlahan-lahan, dan tidak selesai sepanjang hidup.


Dalam kitab al-Hikam, Ibn Athaillah berkata: “Perbaikilah apa yang tersembunyi darimu, niscaya Allah akan memperbaiki apa yang tampak darimu.” Sebuah kalimat yang terasa lebih seperti doa, ketimbang petuah. Sebab siapa pun tahu, memperbaiki batin adalah kerja sunyi. Kadang menyakitkan. Kadang membuat kita ingin lari. Tapi justru di situlah rahasia amal disembunyikan. Di balik jerih perih yang tak bisa diceritakan.


Dunia hari ini menyukai sorotan. Media sosial menjadikan amal sebagai konten. Kita diajak berbagi, tapi juga diajak memamerkan. Amal bisa menjadi alat branding, bukan perjumpaan sakral antara hamba dan Tuhannya. Kita tidak menyalahkan. Sebab dunia memang selalu menawarkan tempat untuk tampil. Tapi kita perlu bertanya: untuk siapa semua ini?


Mungkin, yang paling sulit dari hidup spiritual adalah melupakan diri sendiri. Karena nafsu, kata para ulama, adalah peniru ulung. Ia bisa mengenakan jubah takwa. Ia bisa tampil khusyuk. Ia bisa menyebut nama Allah dengan suara yang memikat. Tapi sejatinya ia sedang menyembah pantulan dirinya sendiri.


Dalam pendidikan Islam, proses penyucian ini disebut tarbiyah ruhaniyah. Pendidikan jiwa. Ia tak bisa dipaksakan. Ia tak bisa dipercepat. Ia seperti menumbuhkan pohon dalam malam: sunyi, tapi terus tumbuh. Para guru spiritual, atau mursyid, tidak mendidik dengan ceramah, tapi dengan menuntun. Mereka tak banyak bicara, tapi hidup mereka adalah pelajaran.


Dan mungkin itulah yang dibutuhkan dunia hari ini. Pendidikan yang tidak banyak mengarahkan jari ke luar, tapi membawa kita menoleh ke dalam. Pendidikan yang tak hanya mencerdaskan, tapi juga menyucikan. Pendidikan yang menjadikan keikhlasan sebagai inti, bukan atribut.


Kembali ke kalimat awal. Kita bisa terlihat seperti kekasih Allah di dunia ini. Tapi hanya Allah yang tahu, apakah kita benar-benar mencintai-Nya, atau hanya sedang mencintai diri sendiri dengan topeng amal. Sebaliknya, mereka yang tak terlihat, yang tak dianggap, bisa jadi adalah para wali yang menyembunyikan cinta agar tidak tercemari. Mereka tidak butuh pengakuan. Sebab cinta mereka sudah sampai. Dan cinta yang sampai, tak butuh sorot apa pun. Ia hanya butuh satu hal: diterima oleh-Nya.


Pada akhirnya, bukan banyaknya amal yang menyelamatkan kita. Tapi sejauh mana kita menumpahkan diri kita ke dalamnya. Amal yang ikhlas, meski sebutir debu, lebih berat timbangannya dari gunung amal yang dilakukan demi sorotan mata. Dan mungkin itulah yang ingin dikatakan anregurutta Menteri Agama, Nasaruddin Umar, melalui ungkapan “ember bocor” . Bahwa selama dasar hati kita berlubang, amal akan terus tumpah sebelum sampai. Dan hanya keikhlasanlah yang bisa menambalnya. Dalam diam. Dalam sunyi. Dalam sujud yang hanya diketahui oleh Tuhan. ***