Gambar Menonton Sebagai Tindakan Pedagogis

Media menjadi jembatan penting bagi negara untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat. Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia mulai menayangkan video Presiden di bioskop sebelum film diputar. Kebijakan ini memantik pro dan kontra. Sebagian menilainya sebagai bentuk sosialisasi yang positif sebagai upaya pembelajaran publik (public pedagogy), sebagian lagi khawatir ruang hiburan disusupi propaganda mengganggu suasana netral hiburan.

Jika ditilik dari segi pendidikan publik, sebenarnya langkah ini memiliki potensi positif.  Menonton sering dianggap sebagai aktivitas pasif dan hiburan semata. Namun, dalam konteks pedagogi kritis, menonton dapat menjadi tindakan yang membentuk kesadaran, nilai, dan sikap. Penonton bioskop berasal dari berbagai kalangan, lintas generasi dan lapisan sosial. Banyak dari mereka yang tidak terbiasa membaca laporan resmi, atau enggan menonton pidato panjang di televisi. Dengan menyelipkan tayangan singkat sebelum film dimulai, pesan pemerintah bisa hadir secara langsung di hadapan khalayak yang sulit dijangkau melalui media formal. Di sinilah ruang hiburan berubah menjadi kelas besar.

Selain itu, tayangan semacam ini dapat menumbuhkan percakapan baru. Angka tentang produksi pangan atau ekspor pertanian, misalnya, bisa memicu diskusi sederhana di antara keluarga atau teman yang menonton bersama. Bahkan jika yang muncul kemudian adalah kritik atau perdebatan, hal itu tetap berharga karena melatih kesadaran kritis warga terhadap jalannya pemerintahan. John Dewey pernah menekankan bahwa pengalaman sehari-hari, bahkan dalam momen yang tampak sepele, bisa menjadi sarana belajar. Begitu juga Paulo Freire yang menyebut kesadaran kritis rakyat melalui proses dialog dan kebersamaan.

Praktik ini bukan barang baru. Di Thailand misalnya, setiap kali film akan dimulai, penonton berdiri menyanyikan lagu kebangsaan disertai tayangan penghormatan kepada Raja. Tidak sedikit warga maupun wisatawan yang merasa pengalaman itu menumbuhkan identitas nasional, rasa hormat dan kebersamaan. Jika di Indonesia video yang diputar berisi pesan moral dan inspirasi kebangsaan, ia bisa memberi warna serupa. Bioskop bukan hanya ruang menonton, melainkan juga ruang mengingatkan diri tentang kehidupan bersama sebagai bangsa.

Tentu ada sisi yang tidak bisa diabaikan. Sebagian orang datang ke bioskop justru untuk melepaskan diri sejenak dari hiruk pikuk politik. Bila tayangan terasa kaku dan penuh jargon, publik bisa menganggapnya propaganda yang memaksa. Dalam psikologi pendidikan ada hukum sederhana: pesan yang dipersepsi datang secara memaksa sering menimbulkan resistensi, bahkan antipati. Apalagi jika tayangan terlalu panjang atau tidak dikemas secara kreatif, penonton bisa kehilangan suasana hiburan yang mereka cari.

Kuncinya terletak pada isi dan bentuk tayangan. Jika video hanya sebatas laporan angka, mungkin kurang menggugah. Tetapi jika disajikan melalui cerita inspiratif, animasi yang segar, atau kisah nyata warga yang terbantu oleh program pemerintah, sepertinya penonton dapat menerima dengan sukacita. Bukankah Ki Hajar Dewantara sudah lama mengingatkan bahwa pendidikan harus menuntun kodrat hidup anak manusia menuju keselamatan dan kebahagiaan? Dengan pendekatan yang menyentuh hati, video di bioskop justru bisa menjadi bentuk tuntunan itu menghubungkan informasi negara dengan pengalaman sehari-hari rakyat.

Itu sebab, menonton bukan hanya soal melihat, tetapi soal memahami dan merespons. Dalam era visual, tindakan pedagogis bisa terjadi di mana saja. Pendidikan publik perlu merangkul medium baru tanpa kehilangan nilai kritis dan reflektifnya. Pemutaran video pemerintah di bioskop adalah eksperimen pendidikan publik yang menarik. Ia memang menyimpan risiko jika jatuh pada pencitraan semata, tetapi peluang positifnya juga besar: mendekatkan pemerintah dengan rakyat, memicu percakapan kritis, dan menanamkan inspirasi kebangsaan dalam ruang-ruang yang tidak lazim. Selama isi pesannya benar-benar diarahkan untuk mencerahkan, langkah ini justru memperluas cakrawala belajar masyarakat di luar tembok sekolah, menghadirkan pendidikan hingga di ruang redup cahaya bioskop sebelum film dimulai.