Gambar MENJAUH DARI EKSTRIM, MENGGAPAI JALAN TENGAH Puisi Moderasi Beragama (2)


Berlebihan dalam agama, sabda Nabi,

adalah al-ghuluw fid diin yang patut dihindari.

Bukan jalan para kekasih Ilahi,

melainkan jalan kaum terdahulu yang binasa—karena melampaui batas suci.


Ali karramallahu wajhah pun pernah berkata:

“Ambillah jalan tengah dalam setiap langkah.

Agar yang lambat bisa menyusul,

dan yang tergesa tahu harus mundur untuk kembali lurus.”


Rasul mengillustrasikan dan membuat garis dengan jemari tangannya:

Satu garis lurus—itulah sirathal mustaqim yang terang.

Lalu ia tarik garis-garis horizontal dari kiri memotong garis vertikal di tengah ke kanan di tiap ujungnya ada syetan yang mengajak kesesatan.

Semakin jauh garis horizontal itu ke kiri,

Disebut ekrtrim kiri.

Sebaliknya semakin jauh garis horizontal ke kanan,

Disebut ekstrim kanan.

Seterusnya, semakin ke tengah garis itu, semakin moderasi dalam beragama.

Beliau pun membaca firman Tuhan:

"Inilah jalan-Ku yang lurus… maka ikutilah ia,

dan jangan mengikuti jalan-jalan lain,

yang akan mencerai-beraikan kalian dari rahmat-Nya."


Di titik ini, moderasi menemukan bentuknya.

Bukan kabur dari prinsip,

tapi menjauhi sikap yang kaku dan membakar ukhuwah.

Bukan abu-abu yang tak punya pijakan,

tapi kejernihan hati yang menimbang sebelum menjatuhkan vonis lawan.


Dalam sejarah, kaum Khawarij jadi pelajaran berat:

salat malam tak tertinggal, bacaan Qurannya kuat,

tapi mereka memahami wahyu dengan sempit dan beku,

hingga tak segan mengkafirkan Ali, sang menantu Nabi yang suci itu.


Ibn Muljam, si Khawarij keras kepala,

membawa pedang beracun dalam salat subuh yang mulia.

Di Masjid Kufah, 17 Ramadhan yang gelap,

Ali diserang, dunia terhenyak dalam tangis yang lelap.


Dua hari kemudian, 19 Ramadhan jadi duka sejarah:

Khalifah wafat karena ekstrimisme yang membabi buta.

Pelajaran dari itu semua:

Jalan lurus bukan hanya untuk shalat,

tetapi untuk menjaga akhlak dan kasih di tengah umat.


Moderasi mengajarkan kita:

bahwa perbedaan bukan ancaman, tapi kekayaan makna.

Furu’ dan ijtihad bukan alasan saling curiga,

tapi ruang belajar agar iman semakin dewasa.


Perbedaan seharusnya ditelusuri,

bukan dicaci, bukan dicurigai, apalagi dikubur dalam benci.

Sebab bisa jadi setelah dicermati,

pendapat lawan justru lebih kuat dari prasangka diri.


Aku pun pernah diingatkan seorang ahli hikmah:

“Jangan cepat menghakimi perbedaan fatwa,

karena setiap teks butuh konteks,

dan setiap pendapat lahir dari jalur ijtihad yang kompleks.”


Maka dialog terbuka haruslah jadi budaya,

seperti yang diajarkan para pendiri bangsa kita.

Musyawarah—itulah ruh Indonesia merdeka.

Dan itu pula wajah Islam yang penuh cinta.


Sebaliknya,

budaya menutup diri,

adalah tanda masyarakat yang belum berdamai dengan sunatullah perbedaan ini.

Yang takut pada suara lain,

adalah yang belum mengenal jati diri iman sejati.


Insya Allah seri berikutnya akan bicara

tentang mereka yang gemar menyesatkan dan mengafirkan sesama.

Padahal sesungguhnya—

perjuangan sejati adalah menguatkan ukhuwah,

di tengah badai yang mengoyak arah.


Makassar, 10 Juli 2025

Dalam semangat jalan lurus yang lapang dan menyejukkan.