Oleh Prof Hamdan Juhannis, MA., Ph.D 

BAGI umat beragama tentu bukan hal yang asing jika bicara tentang surga dan neraka. Apalagi jika Anda yang sudah beragama sejak kecil, Anda mungkin pernah mendengar cerita-cerita orang tua seperti apa surga dan neraka.

Di gambaran kita (dari cerita dan juga buku-buku yang kita baca), surga adalah tempat yang digambarkan sangat indah. Mengalir air jernih, ada sungai susu, bidadari-bidadari, dan semua hal lainnya tentang kebaikan dan keindahan.

Surga adalah tempat pembalasan bagi  yang taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Lalu sebaliknya, neraka merupakan tempat yang paling hina dan seburuk-buruknya tempat. Neraka ini akan ditempati oleh umat Allah yang ingkar dan tak mau mengakui, serta menjalankan seruanNya.Neraka atau wail ini kerap diceritakan kepada kita (waktu masih kecil hingga sekarang), sebagai tempat yang banyak ular, kalajengking, darah, nanah, dan hal-hal lain nista lainya. Pokoknya kita diceritakan tentang segala siksaan yang bertujuan agar kita takut masuk neraka.

Kita juga sering diceritakan bahwa di Hari Kemudian nanti setelah kiamat, kita akan diberikan buku rapor kita yang berupa rekapitulasi amalan kita sewaktu di dunia. Dan ini memang dasarnya dari Qur’an yang menyuruh manusia membaca kitabnya yang diterima berupa buru rapor tersebut. Karena rapor yang diterima tersebut tentu kita berfikir bahwa informasi yang ada didalamnya lebih bersifat kuantitatif, berupa angka-angka penilaian kita tentang prilaku kita selama hidup.  Dari situlah bisa dipahami bahwa amalan-amalan kehidupan didunia bisa dikuantifikasi secara mendetail. Dan kalau dikaji, Qur'an dan Hadits memang menyediakan informasi matematis tentang pahala. Qur'an menyediakan data-data  statistik tentang pahala. Lebih jauh,  Qur'an dan Hadits membahas masalah dengan pendekatan kuantitatif. Memang benar bahwa Qur'an menyediakan aksioma yang jelas berbentuk hitungan angka, seperti dalam ayat yang bermakna bahwa barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sekecil zarrah-pun akan dihitung, demikian pula sebaliknya.


Lantas, untuk apa kita sering menafsirkan ayat dan menerjemahkan hadits dengan data matematis tersebut di atas secara parsial tanpa ada upaya menghitung amalan kita secara totalitas? Saya khawatir banyak muballigh hanya bermain-main menyampaikan nilai dan jumlah pahala secara kuantitatif kepada umat dan bisa saja sekedar komoditas dakwah,  karena selama ini tidak ada upaya dan keberanian untuk mengkalkulasi secara komprehensif perolehan pahala dan dosa kita secara matematis dalam kehidupan keseharian kita.

Perilaku Hidup
Jika kita selalu berusaha menghitung kebaikan, tentunya bakal mengarahkan kehidupan keseharian kita, yakni bagaimana kita mendapat petunjuk dalam berprilaku. Kalau kita sudah memiliki petunjuk dalam berprilaku baik untuk tujuan surga, tentu tujuan umum, persiapan menghadapi kematian bakal lebih lapang dan melegakan. Kiamat pun akhir-akhir ini semakin hangat dibicarakan, apakah kiamat lokal atau kiamat kubra. Baru saja kita menerima informasi tentang meleburnya es di kutub utara sebesar Jakarta, yang akan menenggelamkan pulau-pulau besar di dunia dalam periode seratus tahun lagi.

Atau kabar membesarnya sebuah bintang yang akan menjadi matahari dan spekulasi sains bahwa akan ada dua matahari. Jika ada dua matahari dan yang satunya terbit di barat, bukankah ini tanda yang sering diajarkan sejak kecil bahwa inilah gejala kiamat kubra, terbitnya matahari dari Barat.

Dari situlah, gagasan ini bisa memandu kita untuk lebih memikirkan kalkulasi matematis agar supaya rahmat surga Allah SWT bisa kita raih. Adapun Ilmu yang dibutuhkan untuk pengembangan gagasan ini bisa mencakup Ilmu Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, dan Ilmu Sejarah. Tentu saja yang tidak kalah pentingnya adalah ilmu statistik dan matermatika. Khusus dua ilmu yang terakhir, dibutuhkan kemampuan lebih dari matermatika dasar, dan tentunya dibutuhkan pakar yang bukan seperti saya yang dari dulu memiliki nilai matematika yang selalu rendah.

Dibenak saya, pahala dan dosa selalu bisa dikuantifikasi. Ketika berniat untuk melakukan kebaikan dinilai 1 dan ketika telah melaksanakannya dinilai 10. Sebaliknya ketika berniat melaksanakan dosa dinilai 0 tetapi ketika melaksanakannya baru dinilai 1. Meskipun nilai pahala lebih besar dari dosa, tetapi bisa saja peluang membuat dosa lebih besar dari pahala dengan alasan bahwa pahala kadang berat, dan dosa cenderung mengasyikkan. Kedua, ada Iblis yang selalu membujuk kita untuk berbuat dosa, sementara tidak diciptakan makhluk yang khusus ditugaskan membujuk kita untuk selalu berbuat pahala.

Secara sederhana, hitungan matematis akan dimulai dari upaya menghitung seberapa peluang Anda berniat kebaikan dan berbuat baik dalam sehari, dibanding dengan perbuatan buruk anda dalam sehari. Perhitungan matematis pahala lebih jauh akan membedakan pahala ibadah individual dan pahala ibadah sosial. Ini untuk mengukur dimana kecenderungan keberagamaan kita. Demikian pula dosa, kita bagi rekapitulasi perbuatan dosa besar dan kecil.

Di sinilah dibutuhkan matematika yang lebih kompleks. Misalnya bagaimana kalau sekali melakukan ibadah mahadah secara jamaah. Juga mendapatkan pahala dengan ratusan ribu angkanya, misalnya Anda pernah melakukan haji atau umrah.

Dasarnya, satu kali shalat di masjidil haram, sama dengan seratus ribu pahala di tempat yang lain. Bagaimana kalau shalat itu dilakukan di bulan ramadhan dan shalatnya dilakukan secara berjamaah di masjid haram? Bayangkan kalau dalam situasi seperti itu anda melakukan shalat berkali-kali dalam satu jam. Siapa bisa menghitungnya rata-rata pahala dalam sehari.

Mungkin ada yang menyanggah bahwa bukankah pahala itu tidak semua jelas disebutkan dalam Qur’an dan Hadits. Benar bahwa hanya beberapa pahala dan dosa yang disebut, tetapi pemikiran saya disinilah keberanian umat untuk berijtihad menentukan nilai pahala dan dosa dari setiap perbuatan, berdasarkan dari analogi dan penggolongan pahala dan dosa yang sudah disajikan Qur’an dan Hadits.

Variabel Pengganggu
Yang tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam gagasan ini adalah variabel pengganggu dari angka-angka ini yang bisa berdampak positif atau negatif yaitu berupa prilaku manusia yang memang sebagiannya sudah disinggung dalam kitab suci dan hadits Rasulullah. Misalnya sebuah pahala tiba-tiba menjadi sia-sia karena anda memiliki sifat riya atau mau dipuji.  Sebaliknya, dosanya dihapus karena anda melakukan taubat nasuha, dan sejumlah variabel lainnya, seperti ikhlas tidaknya melakukan suatu perbuatan.

Apa yang diharapkan dari gagasan ini adalah sebuah taksiran berupa angka-angka pahala. Dalam sehari berapa pahala dan dikalikan dengan umur yang sudah Anda jalani, dikalikan dengan umur anda bisa capai dari kualitas hidup Anda miliki yang bercampur dengan takdir.

Dari situ, Anda bisa memperkirakan bakal dibawa kemana oleh Allah SWT. Gagasan ini bila terwujud sekaligus bisa menjadi pengontrol anda bahwa dalam satu hari, anda berwujud sosok Muslim seperti apa. Lebih jauh, gagasan ini bisa mencari lebih jauh tentang kisaran interval nilai sehingga seseorang itu ditempatkan di berbagai level surga demikian pula sebaliknya.

Ini adalah wacana yang mungkin masih butuh penalaran lebih jauh. Tapi ini adalah kontribusi bahwa ajaran Qur'an itu dibumikan. Di benak saya sekarang, bagaimana para pakar keislaman yang saya sebutkan di atas berkumpul bersama menyamakan persepsi tentang semua nilai pahala dan dosa setiap aktifitas. Lalu mereka berijtihad menentukan kisaran pahala atau dosa yang belum jelas disebutkan dalam kitab suci dan hadits. Setelah itu, mengundang ahli matematika untuk membuat formula atau rumus yang bisa dioperasikan sebagai buku hitungan amalan sehari-hari.