Setelah lama kuikuti jejak dan gema,
aku bertanya dalam sunyi dan suara:
Apa gerangan alasan mereka
menentang Kang Jalal, begitu keras menyapa?
Jawab mereka hanya dua,
namun terasa mengunci makna:
Pertama—kata mereka lantang:
“Sulawesi Selatan adalah negeri khusus Ahlussunnah wal Jamaah,
tak boleh mazhab lain menjejak langkah.”
Kedua—mereka menggugat penuh prasangka:
“Jalaluddin Rakhmat tak layak diterima di UIN Alauddin,
karena ini kampus rakyat, dibiayai pajak negeri,
dan rakyat Sulsel semua berpaham seragam:
Ahlussunnah wal Jamaah yang murni.”
Aku tersentak…
karena kala itu, akulah direktur pascasarjana,
yang menerima Kang Jalal dengan tangan terbuka,
di saat UIN Sunan Kalijaga pun tengah berlomba
ingin menyambutnya sebagai putra ilmunya.
Lalu kuangkat suara dengan tenang:
“Inikah pertama kalinya Sulsel diklaim sempit sebagai milik mazhab tertentu?
Bukankah negeri ini bagian dari Indonesia yang plural dan terbuka,
yang memeluk semua agama sah,
apalagi hanya berbeda dalam ijtihad dan madzhab saja?”
Dan sungguh, ironis rasanya—
karena justru Ustaz Said yang bersuara lantang
berasal dari Muhammadiyah yang bijak dan tenang.
Ketika ia mengaku Ahlussunnah wal Jamaah,
almarhum Prof. Minhajuddin angkat bicara,
"Jika ingin jujur, Muhammadiyah bukan Ahlussunnah wal Jamaah secara mazhab;
lebih tepat jika hanya disebut Ahlussunnah.”
Sementara Ketua Wilayah Muhammadiyah kini,
Prof. Ambo Asse yang kita hormati,
menjawab jujur dan sederhana:
“Muhammadiyah, setahu saya, tidak bermazhab secara formal adanya.”
Saya sendiri dari lingkungan Ahlissunnah wal Jamaah,
Namun terbuka pada berbagai paham berbeda.
Lalu kutanggapi tuduhan kedua:
“Bukankah semua lembaga pendidikan di republik tercinta
wajib membuka pintunya tanpa diskriminasi agama,
gender, suku, apalagi mazhab dalam beragama?”
Saat itu, aku masih sering hadir
dalam rapat-rapat Kementerian Pendidikan Tinggi,
dan selalu disampaikan tanpa ragu-ragu:
“Tak boleh ada diskriminasi di pintu masuk perguruan tinggi,
baik karena keyakinan, asal, atau ideologi.”
Pernah pula, saat kujadi Pembantu Rektor Satu,
datang mahasiswa Kristen mendaftar dengan penuh harap.
Ia diterima,
karena bersedia mematuhi aturan kampus,
termasuk belajar membaca Al-Qur’an
tanpa harus diminta pindah iman.
Kami rawat dia sebagai manusia pembelajar,
kutanyakan kabarnya secara berkala,
agar ia merasa aman, damai, dan dihargai.
Dan ketika muncul keraguan,
kami ajukan pertanyaan resmi
ke Kementerian Agama Republik ini.
Jawaban mereka:
"Langkah UIN Alauddin sudah tepat,
dan patut dijadikan teladan yang kuat."
Maka kuakhiri renungan ini
dengan satu harapan sederhana:
Janganlah kita menutup pintu ilmu
dengan kunci fanatisme sempit dan prasangka.
Bukalah hati, rangkullah sesama,
karena perbedaan bukan bencana,
tapi tanda bahwa Allah Maha Bijaksana.
Wassalam,
Kompleks GFM, 6 Juli 2025