Gambar MENGAPA TAK HADIR DI HARI WAFATMU?: UNTUKU H. FADLI LURAN


Di jalan sunyi sejarah yang panjang,
kadang kabar duka tak sampai terang,
tertutup oleh riuh tugas dan ruang,
di waktu yang sama, namun tempat berbilang.

Ketika kutatap lembar biografi,
tulisan AGH Muhammad Ahmad menyapa hati.
Baru kusadari, di 1 Maret '92 itu,
kau telah pergi, tanpa sempat kuketahui dulu.

Saat itu aku tengah menapak harapan,
kursus bahasa di Erasmus House jadi tumpuan,
di Kedutaan Belanda, Jakarta,
menuju riset ke Leiden, impian lama.

Setahun penuh di negeri jauh kutempuh,
dari 9 Agustus '93 hingga Agustus tahun berikut,
banyak berita tanah air yang tak kutahu,
termasuk kabar duka yang menusuk kalbu.

Wafatnya Sultan Takdir, Natsir, dan dirimu,
mereka yang kucinta, yang kupuja selalu.
Namun layar jarak mengaburkan pandang,
hingga berita pun luput dalam riuh gelombang.

Kutitip rindu pada IMMIM yang dulu,
yang sempat goyah sepeninggalmu.
Kepemimpinan sempat cari bentuk,
bergilir nama: Nur Abdurrahman, Sanusi Baco,
hingga AGH Muhammad Ahmad yang teguh.

Tahun '77, kembali kutapaki tanah Makassar,
pasca S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah yang besar.
IMMIM jadi pelabuhan perjuanganku,
AGH Muhammad Ahmad menempatkanku di Majlis Da’wah itu.

Kami gelar diskusi tiap bulan,
meneruskan pengajian Aqsha yang jadi panutan.
Hingga akhirnya DPP IMMIM bersatu suara,
memberi amanah padaku, memikul cita-cita.

Namun maafkan aku, sahabat dan guru,
di hari kepergianmu aku tak mampu
menyambutmu pulang ke haribaan Ilahi,
karena dunia telah menyeret langkahku pergi.

Kini, dalam diam kutulis kenangan,
sebagai doa, sebagai penghormatan.
Namamu abadi dalam perjuangan,
meski tubuhmu telah pulang ke keabadian.

Wassalam,
Kompleks GFM, 14 Mei 2025