Di jalan sunyi sejarah yang panjang, kadang kabar duka tak datang terang, tersekat riuh tugas dan ruang, di waktu yang sama, di tempat berbilang.
Kutatap lembar biografi, terpaut oleh kata sang AGH yang suci. Baru kusadari di Maret yang pilu— kau telah pergi, tanpa kutahu.
Saat engkau dijemput Ilahi, aku di Jakarta, mengukir mimpi. Belajar bahasa di Erasmus House yang damai, demi riset ke Leiden, kutempuh langkah panjang dan payah.
Setahun penuh di negeri Belanda, dari 9 Agustus '93 hingga Agustus yang sama. Berita tanah air jauh dari jangkau, banyak yang luput, tak sempat kutahu.
Berpulangnya Sultan Takdir, Natsir, juga dirimu, tiga nama agung dalam hidupku. Namun layar jarak menutup pandang, gelombang dunia menenggelamkan kenangan.
Kutitip rindu pada IMMIM tercinta, yang sempat goyah saat engkau tiada. Pemimpin berganti dalam gelisah, Nur Abdurrahman, Sanusi Baco, hingga AGH Muhammad Ahmad memegang arah.
Tahun '77, kutapaki kembali bumi Makassar, usai S3 dari IAIN Syarif Hidayatullah yang besar. IMMIM jadi dermaga juang yang kurindukan, Majlis Da’wah tempat aku kau tempatkan.
Diskusi kami gelar setiap bulan, meneruskan semangat dari Aqsha yang bertahan. Hingga DPP IMMIM bersatu suara, amanah diberikan padaku dengan sukacita.
Namun maafkan aku, guru dan sahabat mulia, di hari kepergianmu tak hadir diriku menyapa. Langkahku dibawa ke medan dunia, hingga tak sempat melepasmu ke pangkuan-Nya.
Kini kutulis bait kenangan, sebagai doa dan penghormatan. Namamu kekal dalam perjuangan, meski ragamu telah pulang ke keabadian.
Wassalam, Kompleks GFM, 14 Juni 2025