Ketika di bangku sekolah dahulu, para siswa sangat akrab dengan sebuah ungkapan yang sering kali diulang-ulang dan diperdengarkan antara lain “di atas langit masih ada langit”, terutama pada saat latihan dan lomba pidato. Khusus di lingkungan pesantren, ungkapan seperti ini sering kali digunakan ustaz sebagai nasihat agar para santri senantiasa bersikap rendah hati dan tidak membanggakan diri atas kelebihan apa pun yang dimiliki.
Sikap rendah hati ini juga diharapkan terlaksana dalam pergaulan hidup di setiap jenjang atau level masyarakat. Sehingga tidak ada seorang pun yang senantiasa meremehkan karena merasa lebih berkuasa, lebih berilmu, lebih kaya, dan lebih berpengaruh dari pada orang lain. Ibarat sisir yang berfungsi merapikan rambut, tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya bilamana ada jeruji dari sisir itu yang menonjol dari yang lain.
Merasa memiliki kelebihan dari pada orang lain sangat berpotensi melahirkan kesombongan. Boleh jadi dalam hal pengaruh atau banyaknya pengikut, ilmu, harta, dan mungkin juga karena keturunan. Padahal Rasulullah berpesan “siapa saja yang ada kesombongan di hatinya meskipun sebesar debu, maka niscaya haram baginya bau surga”.
Abu Dzar salah seorang sahabat Nabi bertanya kepada Rasul “apakah termasuk sombong bila saya ingin gantungan kunci dan sandalku indah?”, Rasul menjawab: tidak. Sombong itu adalah ketika engkau mengetahui kebenaran, kemudian engkau tinggalkan kebenaran itu. Engkau merasa melebihi orang lain kemudian meremehkannya.
Seseorang yang tidak mau mendengar dan menerima kebenaran hanya karena berasal dari orang yang lebih rendah tingkat pendidikan dari pada dirinya, maka orang yang tidak mau menerima kebenaran itu sombong namanya. Bila seseorang tidak mau menerima pandangan keagamaan orang lain, karena tidak sekelompok dengannya atau beranggapan hanya kelompoknya saja yang selamat, sedang kelompok lain sesat itu juga kesombongan.
Jika Anda berlaku sewenang-wenang kepada seseorang karena Anda merasa lebih berpengaruh dari pada dia, atau Anda merasa lebih pintar dari padanya, atau Anda meremehkan orang lain karena tidak memiliki apa-apa, maka Anda telah bersikap sombong. Salman Al-Farisi mengingatkan untuk berhati-hati terhadap sesuatu yang dapat membuat kebaikan menjadi sia-sia, yaitu bersikap sombong.
Iblis dilaknat oleh Allah bukan karena tidak beribadah kepada-Nya, enam ribu tahun lamanya iblis beribadah namun dilaknat oleh Tuhan karena kesombongan. Ketika Tuhan memerintahkan untuk sujud kepada Adam, iblis menolak ia sombong dan takabur. Bahkan dengan lantang iblis berucap dalam Alquran “Aku lebih baik dari pada dia, Engkau ciptakan aku dari api, Engkau ciptakan dia dari tanah” (QS. Al-A’raf/7: 11).
Kalau Anda ahli ibadah, lalu Anda merasa sebagai makhluk yang paling saleh di muka bumi ini. Anda sombong dengan salat malam Anda. Anda bangga dengan puasa sunat Anda. Anda tinggi hati dengan haji dan umrah Anda yang berulang kali, kemudian Anda merasa puas dengan ibadah Anda dan lupa dengan akhlak Anda di tengah-tengah masyarakat. Anda telah sombong dengan semua ibadah yang telah Anda lakukan.
Takabur yang paling berbahaya adalah takabur kepada Allah dan Rasul-Nya. Seseorang takabur kepada Allah, bila orang tersebut dengan senang dan tenang melakukan kemaksiatan kepada-Nya, meremehkan perintah-Nya, menyepelekan larangan-Nya, atau tidak takut akan kemurkaan-Nya. Takabur kepada Rasul, kalau seseorang meremehkan sunahnya, merendahkan derajatnya, serta tidak membaca selawat dan salam kepadanya.
Ajaran Islam mengajarkan untuk segera beristigfar, mohon ampun kepada Allah, bertobatlah sebelum Anda digabungkan dengan iblis laknatullah. Marilah kita berlindung kepada Allah dari sikap sombong dan takabur macam apa pun, mari kita merendahkan diri kita kepada Penguasa langit dan bumi semoga ampunan Allah menyertai setiap kesalahan dan kealpaan yang pernah kita lakukan karena keangkuhan. (*)
Alat AksesVisi