Di sepanjang jalan poros nasional yang melintasi Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, setidaknya terdapat  sebuah masjid megah yang menjadi ikon keislaman di daerah tersebut. Masjid yang dimaksudkan disini tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi destinasi bagi para jamaah dari berbagai wilayah yang datang untuk berdoa, memperdalam ilmu agama, atau sekadar mencari ketenangan batin. 

Keindahan arsitekturnya serta nilai historis yang dikandungnya menjadikan masjid ini sebagai pusat spiritual yang memiliki daya tarik tersendiri. Masjid tersebut dikenal dengan nama Masjid Imam Lapeo. Sebagai representasi nyata dari nilai-nilai keislaman, Masjid Imam Lapeo tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga menjadi pusat pembentukan identitas sosial, budaya, dan spiritual masyarakat. Dari generasi ke generasi, masjid ini tetap menjadi pusat aktivitas keagamaan yang menjaga kelestarian tradisi Islam di Tanah Mandar.

Lebih dari sekadar bangunan bersejarah, Masjid Imam Lapeo merupakan simbol perjuangan dakwah yang terus memberikan pengaruh bagi kehidupan umat. Di tempat ini, umat Muslim berkumpul untuk beribadah, menimba ilmu, dan mempererat persaudaraan. Keberadaannya menyimpan nilai historis dan spiritual yang mendalam. Masjid ini bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Polewali Mandar, tetapi juga masyarakat Mandar secara keseluruhan serta bagian penting dalam perjalanan peradaban Islam di Nusantara.

Sejak menjadi bagian dari keluarga Somba Majene pada tahun 2003, saya kerap melewati Masjid Imam Lapeo dalam perjalanan dari Makassar menuju kampung ibu mertua di Somba, dan sebaliknya. Meskipun telah berkali-kali melewatinya, saya baru dua kali berkesempatan singgah untuk melaksanakan salat di masjid ini.

Pertama, sekitar tahun 2006, setelah menghadiri pelantikan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Majene bersama almarhum KH. Baharuddin Pagim, Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan. Kedua, kemarin siang dalam perjalanan bersama keluarga untuk berlebaran di Somba, tepat saat waktu Duhur tiba.

Masjid Imam Lapeo selalu ramai oleh jamaah yang datang untuk melaksanakan salat, berziarah, atau sekadar berdonasi melalui celengan yang tersedia. Keramaian ini bahkan tak jarang menyebabkan kemacetan ringan di sekitarnya. Biasanya, saya tidak sempat singgah karena perjalanan kami jarang bertepatan dengan waktu salat. Namun, kali ini, kesempatan yang ada membuat saya lebih memperhatikan keberadaan masjid ini.

Ketika saya membagikan foto bersama istri di media sosial, beberapa teman menunjukkan ketertarikan terhadap masjid ini. Beberapa komentar menyebutkan bahwa Imam Lapeo, KH. Muhammad Thahir, adalah sosok ulama besar yang memiliki pengaruh kuat di Sulawesi Barat. Seorang kolega bahkan menginformasikan bahwa suaminya akan menjadi khatib Idul Fitri di masjid ini. Ketertarikan teman-teman saya mendorong saya untuk mencari informasi lebih lanjut tentang sejarah dan peran masjid ini dalam masyarakat.

Masjid Nurut Taubah ini, yang lebih dikenal sebagai Masjid Imam Lapeo sebagaimana telah disebutkan pada bagian awal artikel ini, dibangun oleh KH. Muhammad Thahir pada tahun 1902. Awalnya, masjid ini hanyalah sebuah langgar kecil sebelum berkembang menjadi pusat dakwah Islam yang berpengaruh di Polewali Mandar. Nama "Nurut Taubah," yang berarti "Cahaya Taubat," mencerminkan perannya dalam mengubah masyarakat dari kepercayaan animisme menuju ajaran Islam.

Masjid ini berlokasi di Desa Lapeo, Kecamatan Campalagian, Kabupaten Polewali Mandar, Provinsi Sulawesi Barat. Jarak dari Kota Mamuju sekitar 220 kilometer ke arah selatan (sekitar 3–4 jam perjalanan darat), sementara dari Kota Makassar sekitar 260 kilometer ke utara (sekitar 6–7 jam perjalanan). Letaknya yang strategis menjadikannya tujuan utama bagi umat Islam yang ingin beribadah maupun berziarah.

Bagi saya, ada keunikan tersendiri dari masjid ini yang jarang ditemukan di tempat lain. Biasanya, tempat wudu di masjid menggunakan kran, tetapi di Masjid Imam Lapeo, selain kran, juga tersedia bak besar berisi air jernih yang diambil dengan timba. Airnya selalu tampak bersih dan segar, mencerminkan bagaimana kebersihan benar-benar dijaga. Cara berwudu seperti ini mengingatkan pada tradisi lama sebelum sistem perpipaan modern banyak digunakan. Selain memberikan pengalaman berbeda bagi jamaah, keberadaan bak ini juga menunjukkan bagaimana tradisi dan kearifan lokal tetap dipertahankan di masjid ini.

Menurut penelitian Nuhung (2023) dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, KH. Muhammad Thahir Imam Lapeo dikenal sebagai seorang waliyullah, sufi, dan ulama Islam yang memiliki ilmu mendalam serta kepedulian tinggi terhadap masyarakat. Nama aslinya adalah Junaihin Namli, kemudian diubah menjadi Muhammad Thahir atas saran Habib Sheikh Al-Allama Al-Habib Alwi Bin Abdullah Bin Sahlal Jumallullail. Beliau lahir di Pambusuang pada tahun 1839 (atau 1838 menurut sumber lain), dari pasangan Muhammad (Kanne Caca) dan Ikaji (Siti Rajial). 

Ayahnya merupakan seorang penghafal Al-Qur'an sekaligus guru, petani, dan nelayan. Dari garis keturunan ayah, beliau berasal dari keluarga penyebar Islam di akhir abad ke-17, sementara dari pihak ibu, ia memiliki darah bangsawan dari Mara’dia Tietie di Lita’na.

KH. Muhammad Thahir tidak hanya berdakwah di Lapeo, tetapi juga di wilayah lain seperti Mamuju dan Tappalang. Di Tappalang, ia diangkat sebagai Mara’dia Syara' (Kadi), sehingga menjalankan dua peran sekaligus sebagai imam dan hakim agama. Beliau dikenal sebagai sosok dermawan yang membantu masyarakat saat musim kelaparan dengan meminjam beras dari pedagang dan membayarnya menggunakan emas pribadinya.

Imam Lapeo diketahui  sebagai ulama yang tidak hanya berilmu tinggi, tetapi juga memiliki kepedulian besar terhadap umat. Sikapnya yang rendah hati dan perjuangannya dalam menyebarkan Islam menjadikannya panutan dalam kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat Mandar.

Orang-orang yang tertarik kepada masjid ini tidak hanya  kareana fisiknya, tetapi juga pada sejarah, spiritualitas, serta pengaruhnya terhadap masyarakat. Sebagai pusat penyebaran Islam di Mandar, Masjid Nurut Taubah berperan besar dalam mengislamkan banyak masyarakat. Imam Lapeo tidak hanya membangun masjid, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai Islam yang masih bertahan hingga kini.  

Masjid ini memberikan ruang bagi umat untuk mendalami ajaran Islam melalui kajian dan pendidikan agama. Setiap hari, masjid ini selalu ramai dengan jamaah yang melaksanakan salat, membaca Al-Qur’an, dan berzikir. Keheningan dan kesejukan dalam masjid menciptakan suasana yang menenangkan, membuat banyak jamaah merasa lebih khusyuk dalam beribadah.

Salah satu daya tarik utama masjid ini adalah arsitekturnya yang khas. Menara yang menjulang tinggi mencerminkan pengaruh masjid-masjid di Istanbul, Turki, tempat di mana Imam Lapeo pernah menuntut ilmu.   Di dalam kompleks Masjid Nurut Taubah terdapat makam KH. Muhammad Thahir beserta anaknya. Banyak umat Islam, terutama dari wilayah Mandar dan daerah yang berhampiran dengannya, datang berziarah untuk mengenang perjuangannya saat mendakwahkan Islam ke tengah-tengah masyarakat. Ziarah ini bukan sekadar bentuk penghormatan, tetapi juga refleksi spiritual bagi para peziarah.

Kalam & Rahmatullah (2025) dalam penelitian mereka yang berjudul Islamic Education Teachings of KH Muhammad Tahir (Imam Lapeo) to the Millennial Generation menunjukkan bahwa ajaran Imam Lapeo berhasil mengurangi perilaku negatif di masyarakat, seperti konsumsi alkohol, perjudian, dan sabung ayam. 

Keberadaan masjid dan pesantren yang didirikannya juga menjadi pusat pendidikan Islam yang berfokus pada kelas tahfidz, memberikan akses bagi generasi muda untuk lebih mendalami Islam. Penelitian ini menegaskan bahwa ajaran Imam Lapeo memiliki peran besar dalam membentuk karakter dan moral generasi milenial. Warisan pendidikan Islam ini diharapkan tetap dilanjutkan di tengah tantangan modernisasi agar nilai-nilai Islam terus hidup dalam masyarakat.

Masjid Nurut Taubah telah menjadi bagian penting dari sejarah dan perkembangan Islam di Polewali Mandar. Keberkahannya bukan hanya berasal dari keindahan arsitektur atau peninggalan sejarahnya, tetapi juga dari nilai-nilai spiritual yang diwariskan oleh Imam Lapeo. Hingga saat ini, masjid ini tetap menjadi simbol keislaman yang terus berkembang, membawa cahaya taubat bagi siapa saja yang datang dengan niat beribadah dan mencari ketenangan spiritual. 

Dengan segala keistimewaannya, Masjid Nurut Taubah bukan samata  menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat keberkahan bagi masyarakat. Melalui dakwah, pendidikan, dan atmosfer spiritualnya, masjid ini tetap menjadi salah satu tempat yang amat  dihormati dan dicintai oleh umat Islam di Tanah Mandar. Ini pula yang menjadi alasan Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menjadikan masjid ini sebagai tempat wisata religi.Wallahu’alam.

Somba Majene, Akhir Ramadan 1447 H

Artikel ini telah tayang di suaramuhammadiyah.id dengan judul: Menelusuri Masjid Imam Lapeo, Simbol Keislaman dan Warisan Spritual di Tanah Mandar, https://suaramuhammadiyah.id/read/menelusuri-masjid-imam-lapeo-simbol-keislaman-dan-warisan-spritual-di-tanah-mandar