Gambar MENDAYUNG KENANGAN DI NEGERI KINCIR ANGIN


Di kota tua yang tenang, beralaskan sejarah,
Kutuntun sepeda, bukan demi gaya, tapi karena ibadah.
Setiap pagi, menyusuri Leiden yang dingin,
Membawa rindu dan nasi dari Restoran Padang nan rutin.

Mereka tamuku—tamu negeri yang jauh,
Yang menjaga halal, walau tinggal di hotel megah dan mewah.
Aku kayuh ontel, bukan sebab tak mampu,
Tapi karena Belanda mengajarku:
Simpel itu luhur, jujur itu unggul.

Di sini, profesor pun tak gengsi mengayuh roda,
Tak ada peluh, karena udara sejuk dan tanahnya rata.
Sepeda tak butuh parkir berbayar, cukup dikunci,
Jika tidak, ia dianggap sampah yang harus dibuang pergi.

Aku tak dikenal sebagai aktivis kampus kala itu,
Lebih betah di IMMIM dan halaqah Aqsha penuh ilmu.
Mereka—temanku—larut dalam hiruk organisasi,
Sementara aku menjauh saat kubaca luka dari benturan ambisi.

Namun di negeri asing ini, akrab itu tumbuh,
Dari layanan kecil yang menyentuh.
Dari tawa sederhana yang tak dibuat-buat,
Dari makan bersama, dan keikhlasan yang kuat.

Hari Minggu pun tiba, mereka ajakku bertamasya,
Ke Brussels yang klasik, menembus Eropa dengan kereta.
Tapi Belanda mengajarku makna disiplin,
Detik yang terlambat adalah pintu yang tertutup rapat dan dingin.

Kami harus menunggu, satu jam yang menggigil,
Di stasiun, menahan beku yang memekik lirih.
Dan di Brussels, saat perut ingin dilunakkan rasa,
Kami masuk restoran Tunisia—berharap hangat dan ramah saudara.

Namun nasi yang sedikit, ditukar dengan tagihan mengagetkan,
Dua ratus Golden untuk lima orang—rasanya berlebihan.
Tak seorang pun bicara, semua diam tertunduk,
Tertipu rasa sendiri, oleh ekspektasi yang tak terlukis cukup.

Di kereta pulang, barulah gelak tawa meledak,
“Memang ada orang memanfaatkan kesempatan sempit,” ujar Pak Amir dengan bijak.
Sejak itu, peristiwa Brussels jadi kisah turun-temurun,
Dikenang dengan senyum, dibagi tiap kali bertemu di Tanah Air yang rukun.

Begitulah sepeda, nasi Padang, dan Tunisia,
Menjadi bab dari buku kenangan yang tak sia-sia.
Dan aku bersyukur, karena di negeri yang jauh nan asing,
Aku bisa menjadi bagian dari cerita yang tetap menghangatkan pagi.


---

Wasalam,
Kompleks GFM, 17 Juni 2025