Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Menanti Pemimpin yang Kuat dan Amanah
06 Februari 2009
H.A. Qadir Gassing
Oleh: A Qadir Gassing, Pembantu Rektor Bidang Akademik Dalam sebuah seminar kepemimpinan, seorang anak muda energik bertanya dengan santun, apa syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin umat, baik calon legislatif maupun calon eksekutif. Menurutnya, ada beberapa calon legislatif, yang gambarnya terpajang di sudut-sudut perempatan jalan, yang belum dikenal kapasitas, kapabilitas dan dedikasinya. Padahal, mereka adalah calon-calon pemimpin (kalau terpilih) yang akan sangat mewarnai percaturan pengelolaan bangsa ini. Bagaimana jadinya kalau kita menyerahkan urusan negara kepada orang yang tidak kompeten? Sebagai pemateri hukum Islam, pertama-tama saya teringat ayat-ayat awal surat al-Muddatsir (QS 74: 1-7), berupa instruksi kepada Nabi Muhammad saw yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin umat: 1) Bangkit dan berilah peringatan, maksudnya bahwa calon pemimpin harus mampu memberi peringatan. Tentu saja peringatan itu dilakukan setelah dirinya mengamalkan peringatan itu terlebih dahulu. Jangan pintarnya hanya memberi peringatan kepada orang lain, dia keluarkan dirinya. 2) Tuhanmu agungkanlah, maksudnya bahwa calon pemimpin itu harus jelas agamanya, dan dalam kesehariannya mengamalkan ajaran agamanya. Yang agamanya samar-samar tidak bersyarat menjadi pemimpin. 3) Pakaianmu bersihkanlah, maksudnya calon pemimpin atau caleg harus memiliki visi misi kebersihan, kebersihan hati, kebersihan pikiran, kebersihan badan, kebersihan pakaian, kebersihan rumah dan kebersihan lingkungan hidup. Bukan hanya kebersihan fisik yang kasat mata, tetapi juga meliputi kebersihan yang tidak kasat mata, kebersihan batin; 4) Dan terhadap dosa jauhilah, artinya seorang calon pemimpin harus terjauh dari dosa-dosa kecil. Jadi kalau ada calon pemimpin yang sering berbuat maksiat atau sering mendatangi tempat maksiat, maka hilang syaratnya menjadi pemimpin; 5) Jangan bekerja karena mengharap imbalan yang lebih besar, artinya dalam bekerja jangan orientasinya imbalan, tetapi bekerjalah karena bekerja itu kewajiban. Apa jadinya dunia ini kalau semua orang berhenti bekerja (hanya karena menunggu imbalan); 6) Dalam menjalankan perintah Tuhan pasti banyak tantangan, maka bersabarlah. Bahwa pemimpin, dalam melaksanakan amanah kepemimpinannya pasti tidak selamanya mulus, tetapi akan banyak tantangan, hambatan, cobaan dan godaannya. Memilih Pejabat Ibnu Taimiyah, dalam bukunya Al-Siyasat al-Syar'iyah fi Ishlah al-Ra'iy wa al-Ra'iyah membahas tentang pelaksanaan amanat negara pada bab wilayat (jabatan-jabatan dalam pemerintahan dan metode pengangkatannya). Bab ini meliputi pembahasan: 1) Mengangkat yang ashlah (paling layak dan sesuai); 2) Memilih yang terbaik kemudian yang di bawahnya; 3) Sedikitnya orang yang memiliki sifat quwwah dan amanah sekaligus; 4) Metodologi untuk mengetahui yang layak dalam pengangkatan. Berikut ini akan dinukil hal-hal penting berkenaan dengan tema kajian kita kali ini. Pertama, salah satu sabab nuzul dari Q.S. al-Nisa', 4: 58-59 disebutkan, bahwa ketika Rasulullah saw menaklukkan kota Mekah dan menerima kunci Kakbah dari Bani Syaibah, maka kunci tersebut hendak diminta oleh Abbas ibn Abdul Muththalib agar dia memegang dua tugas sekaligus, yakni memberi minum jemaah haji dan menjadi pelayan Kakbah. Ayat ini mengisyaratkan/meminta agar Rasulullah saw tetap mempercayakan kunci itu kepada Bani Syaibah. Dalam ayat ini Allah memerintahkan untuk menyerahkan amanah kepada ahlinya, yaitu mengangkat orang yang paling kompeten dan layak menempati jabatan tertentu. Kalau kita mengangkat orang yang kurang layak, padahal ada yang lebih layak, maka kita digolongkan orang yang mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan kaum muslimin. Kedua, dalam sebuah hadits disebutkan, bahwa suatu kaum datang menemui Nabi saw untuk meminta jabatan, maka beliau bersabda yang terjemahnya; �Sesungguhnya kami tidak akan mengangkat seorang yang meminta jabatan dalam perkara kami ini� (HR Bukhari). Rasulullah saw bersabda kepada Abd al-Rahman bin Samurrah: �Wahai Abdurrahman, janganlah sekali-kali kamu meminta jabatan. Maka jika kamu memegang jabatan itu tanpa kamu minta, kamu akan diberi pertolongan untuk melaksanakannya. Namun jika jabatan itu diberikan kepadamu karena engkau minta, maka dirimu akan terbebani karenanya� (HR Bukhari Muslim). Dalam kaitan ini Ibn Taimiyah berkomentar, bahwa barangsiapa mengalihkan suatu jabatan dari seseorang yang sebenarnya lebih layak dan lebih tepat untuk mendudukinya kepada orang lain karena faktor ikatan kekeluargaan, loyalitas atau persahabatan, atau kesamaan negara, mazhab, suku bangsa seperti Persi, Turki, dan Romawi; atau karena adanya uang pelicin (suap), ataupun kepentingan-kepentingan tertentu, atau sebab-sebab yang lain, merasa iri terhadap orang yang lebih berhak dan layak menduduki posisi tersebut, kesemuanya itu merupakan bentuk pengkhianatan kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum mukminin. Ketiga, untuk menempati sebuah posisi (jabatan) tertentu, hendaknya memenuhi (minimal) dua kriteria, yaitu quwwah (otoritas) dan amanat (jujur dan dapat dipercaya). Dasarnya, QS al-Qashash, 28: 26. Terjemahannya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya�. (Peristiwa Nabi Musa as yang kemudian diambil mantu oleh Nabi Syuaib as). Dalam kenyataannya, persyaratan al-qawiy dan al-amiin tidak terlalu mudah, dan karenanya tidak banyak orang yang memiliki kedua sifat ini sekaligus. Ada orang yang memiliki quwwah, tetapi tidak amanah. Sebaliknya, ada yang amanah, tetapi lemah. Pertanyaannya, mana yang didahulukan? Jawaban Imam Ahmad atas pertanyaan dua figur komandan perang, di mana yang satu kuat namun pendosa, yang lain saleh tetapi lemah. Komandan yang kuat namun pendosa, kata Imam Ahmad, maka kekuatannya itu untuk (menguntungkan) kaum muslimin. Sedang kesukaannya untuk berbuat dosa hanyalah berdampak bagi dirinya sendiri. Sementara komandan yang saleh namun lemah, maka kesalehannya itu hanya berindikasi bagi dirinya sendiri, sedang kelemahannya akan berdampak luas bagi kaum muslimin. Karenanya, hendaklah berperang bersama komandan yang kuat meskipun dia pendosa. Kisah Teladan Dalam sebuah kisah disebutkan bahwa seorang pemuda desa, yang tinggal nun jauh di balik gunung, bermimpi suatu saat bisa jadi khalifah. Sejak kecil ia sering mendengar betapa enaknya kehidupan seorang khalifah. Tinggal di istana megah, dengan biaya negara. Pakaiannya diuruskan, makannya diaturkan, kendaraannya kuda terbaik, keamanannya dijaga dengan ketat, dan seluruh fasilitas untuk mengenakkan hidupnya disediakan. Pokoknya, seluruh urusan kehidupannya telah diurus oleh negara. Jadi, tidak perlu lagi berpikir lain selain mengurus negara atau mengurus rakyatnya. Ketika ia beranjak dewasa, bersiaplah ia menuju ke ibu kota, pusat pemerintahan, di Madinah. Tujuannya, ingin menemui Khalifah. Pada waktu itu, khalifah yang sedang memerintah adalah Umar Ibn al-Khattab ra. Maka mulailah ia berjalan menantang kerasnya padang pasir, siang dan malam, dan ketika merasa sudah dekat, mulailah ia bertanya kepada orang yang ditemui. Pertanyaan pertama, (kepada lelaki tua) di mana tempat tinggal Khalifah, saya ingin bertemu dengannya? Pak tua itu menjawab masih jauh. Pemuda desa tadi kemudian melanjutkan lagi perjalanannya, dan untuk kedua kalinya ia bertanya kepada seorang gembala: di mana tinggal Khalifah, saya ingin bertemu. Gembala itu menjawab, tidak jauh lagi, sekitar setengah jam perjalanan dari sini. Pemuda desa itu melanjutkan perjalanan, dan ketika ia melihat seseorang yang baru saja bangun dari tidurnya di bawah pohon kurma, ia mendekati orang itu lalu bertanya, di mana tinggal sang Khalifah. Yang ditanya balik bertanya, gerangan apa kiranya keperluan Anda ketemu dengan Khalifah. Pemuda desa itu menjawab: enak amat jadi khalifah, segala-galanya diuruskan, kalau begitu saya juga ingin jadi Khalifah. Yang ditanya lalu menjawab, sayalah Umar sang Khalifah yang kamu cari itu. Apakah benar Anda mau jadi khalifah? Ikuti aku. Lalu pemuda itu dibawa ke sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu ada sebuah dipan (tempat tidur) yang di atasnya digantung beberapa buah/bilah pedang yang tajam-tajam, yang sewaktu-waktu bisa jatuh, kalau ditiup angin, kemudian mulai dibuka pintu. Begitu angin bertiup kencang masuk ke ruangan itu, mulailah jatuh pedang itu satu persatu. Pedang pertama jatuh dekat kakinya. Pedang kedua dekat kepalanya. Pedang ketiga nyaris menyayat daun telinganya. Lalu pemuda desa itu berteriak ketakutan: ya Khalifah, hentikan, saya sangat takut, jangan-jangan pedang itu mengenai tubuhku. Umar lalu mengumpulkan orang-orang yang ada di sekitar situ lalu berpidato: demikianlah perasaan saya sebagai khalifah, setiap hari bahkan setiap saat saya selalu khawatir, takut, jangan-jangan saya tidak bisa berlaku adil terhadap rakyatku, atau jangan-jangan saya lebih mementingkan dunia dari pada mengurus rakyatku, atau mungkin ada rakyatku yang tinggal jauh di sana, sakit karena lapar atau mungkin juga mati kelaparan, dan saya tidak tahu. Padahal itu semua adalah tanggung jawab saya sebagai khalifah. Pemuda itu lalu menyela Umar ra, Kalau begitu, alangkah beratnya jadi khalifah, lalu pemuda desa itu mengurungkan niatnya. Jadi, ada tiga kekhawatiran Umar sebagai khalifah, yaitu: khawatir tidak bisa berlaku adil; khawatir lebih cinta dunia dari akhirat dan melupakan rakyatnya; dan khawatir jangan sampai ada rakyatnya yang telantar atau kelaparan dan khalifah tidak tahu. Wa Allahu a'lam bi al-shawab.