Gambar MENANAMKAN BUDAYA BACA BAGI ANAK-ANAK SD DI AUSTRALIA


Sungguh gembira tak terkira membaca jawaban Adinda Prof. Dr. M. Adlin Sila dengan mengisahkan pengalamannya selama studi di Australia dan sekaligus menjadi pengetahuan baru bagi penulis. Kisah Adinda sengaja saya arsipkan baik-baik sebagai sebuah pengalaman baru. Adinda juga mengisahkan perbedaan yang mencolok dalam budaya baca antara anak-anak SD di Australia dan Indonesia, terutama dalam hal pembentukan kebiasaan budaya baca anak sejak usia dini. Berikut, beberapa poin penting yang dapat diambil dari pengalaman Prof. Adlin tersebut:

1. Program Literasi Sejak Dini
Di Australia, budaya membaca dibangun sejak masa kanak-kanak melalui program yang melibatkan sekolah, orang tua, dan anak. Anak-anak diwajibkan membaca buku setiap minggu, kemudian menceritakan isi buku kepada orang tua, dan melaporkannya ke guru. Program ini tidak hanya meningkatkan kemampuan literasi, tetapi juga melatih anak untuk berpikir kritis dan berkomunikasi.

2. Peran Orang Tua
Orang tua memiliki peran aktif dalam program ini, yaitu mendengarkan anak-anak mereka menceritakan isi buku yang telah dibaca dan memberikan paraf sebagai tanda pengawasan. Hal ini menciptakan ikatan positif antara orang tua dan anak dalam kegiatan membaca.

3. Akses Mudah ke Buku
Buku-buku tersedia secara melimpah dan gratis di berbagai tempat, termasuk perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, dan bahkan di mall atau pasar. Fasilitas ini memastikan bahwa buku dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa kendala biaya.

4. Budaya Membaca yang Melekat
Dengan adanya kemudahan akses dan pembiasaan sejak dini, membaca menjadi bagian dari rutinitas dan gaya hidup anak-anak di Australia. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana budaya baca masih tergolong rendah, sebagian besar disebabkan oleh keterbatasan akses buku dan kurangnya pembiasaan membaca.

Pelajaran yang Bisa Dipetik untuk Indonesia

Melibatkan Sekolah dan Keluarga: Program literasi yang melibatkan peran aktif sekolah dan orang tua dapat meningkatkan minat baca anak-anak. Sistem laporan seperti di Australia dapat diadaptasi ke konteks Indonesia.

Meningkatkan Akses Buku: Pemerintah dan swasta dapat bekerja sama untuk menyediakan buku gratis di tempat umum seperti mall, pasar, dan terminal.

Mengintegrasikan Teknologi: Mengingat tingginya penetrasi teknologi di Indonesia, aplikasi membaca digital dengan sistem pelaporan bisa menjadi alternatif.

Membangun Kebiasaan Sejak Dini: Program literasi harus dimulai sejak usia dini agar membaca menjadi bagian dari gaya hidup anak-anak.

Pengalaman ini menunjukkan bahwa membangun budaya membaca membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak, serta komitmen jangka panjang. Jika diterapkan dengan baik, Indonesia dapat memperbaiki tingkat literasi dan budaya bacanya.

Pernah satu saat saya memberikan seminar dan mengisahkan penelitian disertasi teman, Hj. Nabilah Lubis di tiga benua tentang Syekk Yusuk al Makassary, yaitu:
1. Di Eropa di Leiden University,
2. Di Afrika di Cap Town, dan
3. Di Asia, di Banten dan Makassar.
Hasilnya, Syek Yusuf al Makassary meninggalkan warisan 23 buku. Saya tidak tahu kemana perhatian Kepala UIN Alauddin Makassar saat itu. Sebab, jika ia serius, cekatan, dan peka sebagai kepala perpustakaan, buku Syeh Yusuf itu langsung diusahakan dan didatangkan menjadi bahan penelitian mahasiswa. Sekedar tambahkan bahwa masalah yang diteliti oleh Haj. Nabila Lubis (sekarang sudah Prof. Dr.) dalam  disertasinya berjudul adalah Kualitas Bahasa Arab yang Digunakan Syekh Yusuf al Makassary dalam Bukunya.

Wasalam,
Kompleks GFM, 23 Desember 2024