Pengalaman dalam perjalanan hidup saya mendapat satu prinsip penting: "keterbukaan terhadap perbedaan adalah jalan untuk memperkaya khazanah wawasan dan memperkuat persaudaraan sesama umat manusia. Prinsip ini telah saya perpegangi sejak memulai studi di PPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1986. Prof. Dr. Harun Nasution punya kebijakan dengan menempatkan dosen yang berpaham sisialis, seperti Prof. Dr. Takdir Alisyabana sebagai kelompok pengajar di PPS Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sampai kami sebagai mahasiswa pada suatu saat ramai-ramai datang menghadap padanya untuk memprotes. Beliau hanya menjawab singkat, "kebijakan itu dimaksudkan agar kalian bisa mengetahui cara berpikirnya," kata beliau.
Di sana juga ditanamkan oleh guru besar yang berpengalaman itu bahwa sepanjang seseorang berpegang teguh pada Alqur'an dan hadis sebagai pedoman utama, maka perbedaan mazhab, aliran, atau organisasi tidak dapat menjadi alasan untuk saling menafikan satu sama lain, apalagi mengafirkan. Perbedaan dalam Islam, seperti yang disampaikan oleh Syekh Yusuf Al-Qardawi perbedaan adalah upaya fastabiqul. Perbedaan adalah sunnatullah, yang dilarang dalam Islam jika terjadi konflik sesama umat Islam. Bahkan beliau menambahkan jika ada seorang muslim berpandangan bahwa kita sebaiknya sama saja dalam semua hal, jangan ada perbedaan, maka beliau berkata,: لم يكن وقوعه (itu tidak mungkin terwujud dalam realitas), sebab bertentangan dengan sunnatullah.
Namun, realitas umat menunjukkan bahwa kita sering terjebak dalam sekat-sekat yang diciptakan sendiri, seperti perbedaan mazhab, aliran, dan organisasi. Klaim kebenaran sepihak membuat kita sulit menerima pandangan orang yang berbeda, meskipun pandangan tersebut memiliki manfaat dan relevansi. Saya baru mendapatkan pesan bahwa "Ciri seseorang sebagai demokratis sejati, bila sanggup mendengar perkataan yang tidak disukainya. "Saya pernah pernah punya pengalam dalam sebuah seminar di Litbang Kemenag RI Sulawesi Selatan ketika mengutip pendapat Dr. Firanda Andirja, Lc, M.A., seorang bangsa Indonesia, yang ditugaskan mengajarkan Islam dalam bahasa Indonesia, sehingga menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua di Arab Saudi. Beliau adalah ilmuwan alumni Universitas Madinah. Teguran itu justru hanya karena beliau dianggap berasal dari paham Wahabi. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya sebagian kita untuk membuka diri terhadap perbedaan di luar sekte yang dianutnya. Tidak semua paham Wahabi salah dan tidak relevan, sebagaimana paham Ahli Sunnah tidak semua relevan.
Padahal, seperti yang disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab, "Semakin luas wawasan seseorang, semakin toleransi pula terhadap perbedaan." Beliau bahkan mempertanyakan, mengapa kita sering mengutip tokoh-tokoh non-Muslim seperti Plato, Aristoteles, dan Archimedes, dengan alasan relevan tanpa memasalahkan?, tetapi justru mempermasalahkan pendapat sesama Muslim hanya karena perbedaan mazhab.
Sekalipun aliran teologi Jabariah kelihatan kontradiktif dengan aliran teologi Mutazila, tetapi kedua aliran ini tetap masih bahagian dari Islam karena mendasar pemikirannya pada Alquran dan hadis. Bagi ulama yang wisdom seperti Buya Hamka bisa mengkompromikan kedua pendapat ini, seperti dalam salah satu tulisan pada episode sebelumnya. Memang menurut pemikiran manusia yang terbatas kelihatan bertentangan tetapi menurut Allah swt. Yang Maha Arif dan Bijasana belum tentu.
Keterbukaan dalam beragama tidak hanya relevan di rana akademik, tetapi juga dalam kehidupan sosial muslim bahkan bangsa. Saya melihat perubahan besar di kampung halaman saya. Jika dahulu tahun 1960-an satu paham mendominasi, jika ada tidak semazhab atau seoraganisasi berarti mereka dianggap salah. Kini berbagai pemikiran mulai berkembang seiring dengan kembalinya generasi muda yang menuntut ilmu di kota. Dahulu paham yang berbeda sekte sekalipun sama-sama berpegang pada Alquran dan hadis, dianggap sesat oleh sebagian masyarakat, sejalan dengan perkembangan zaman, kini telah diterima sebagai teman dalam mencari kebenaran. "Ibarat kata ahli hikmah berbeda berarti teman menemukan kebenaran." Perubahan ini mengingatkan kita pelajaran dalam ilmu budaya, "tidak ada yang tetap di dunia ini kecuali perubahan itu sendiri."
Akhirnya, saya bersyukur kepada Allah swt. atas segala nikmat yang telah diberikan. Perjalanan hidup saya, dari seorang anak nelayan di kampung hingga memiliki kesempatan belajar ke mancanegara, adalah bukti nyata kasih sayang-Nya, sebagai hamba, saya hanya bisa memanjatkan rasa syukur atas segala anugerah Ilahi ini, sambil terus berusaha membuka diri terhadap berbagai pemikiran dan perbedaan yang ada di sekitar saya. Sekali pun berbeda paham intern dan ekstern keagamaan senuanya saya berinteraksi. Walau demikian, paham keagamaan saya tetap seperti, hubungan vertikal pada Allah. Dalam QS ar-Rahman ayat 26-27: Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Semoga kita semua bisa terus belajar, memperkaya khazanah wawasan, dan menjadikan perbedaan sebagai رحمة للعالمين untuk memperkuat persatuan umat.
Wassalam, Kompleks GFM, 27 Januari 2025
---
PERISTIWA TAK TERLUPAKAN DALAM PERJALANAN HIDUP Oleh Ahmad M. Sewang
Salah satu peristiwa yang tak terlupakan dalam perjalanan hidup saya adalah pernyataan yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Sultan Takdir Alisyahbana (STA) di dalam kelas. Beliau berkata, "Saya juga pernah salat waktu kecil. Lagi pula, salat itu adalah rekayasa Nabi Muhammad SAW. Apa salahnya jika kita melakukan rekayasa pula?"
Ada dua hal penting yang dapat dicatat dari pernyataan tersebut:
1. Beliau dengan jujur mengakui bahwa saat ini, di usianya yang sudah tua, ia tidak lagi melaksanakan salat. Tetapi ia tidak salat seperti yang diajarkan Islam tetapi ia salat dalam bentuk rekayasa beliau sendiri.
2. Ia menganggap bahwa salat adalah hasil rekayasa Nabi Muhammad SAW, sehingga menurutnya, manusia juga memiliki kebebasan untuk membuat rekayasa serupa, seperti “hening cipta.”
Pernyataan itu membuat kami, para mahasiswa, bingung sekaligus terkejut. Namun, seorang teman mengingatkan bahwa keesokan harinya Prof. Dr. Quraish Shihab dijadwalkan mengajar. Kami pun memutuskan untuk menanyakan pandangan beliau terkait pernyataan tersebut.
Saat ditanya, Prof. Quraish Shihab menjawab dengan lugas dan bijaksana: "Jika ingin mengetahui kebiasaan seorang suami, misalnya, apakah ia suka minum kopi di pagi hari, maka tanyakanlah kepada orang yang paling dekat dengannya, yaitu istrinya. Begitu pula, jika ingin mengetahui perintah salat dan bagaimana kaefiatnya? Tanyakanlah kepada yang paling dekat dengan Nabi Muhammad SAW, yaitu Allah SWT. Dialah yang memerintahkan dan mengatur salat. Perintah salat telah tertulis di dalam Al-Qur'an dan dijelaskan secara rinci oleh Nabi Muhammad SAW. Informasi ini sampai kepada kita melalui jalur mutawatir yang terjamin kebenarannya."
Prof. Quraish Shihab menegaskan bahwa tata cara salat yang kita laksanakan hari ini berasal langsung dari Nabi Muhammad SAW, yang didapatkan melalui wahyu Allah SWT. Salat adalah ibadah yang menjadi pembeda utama antara seorang Muslim dan non-Muslim. Selain itu, salat memiliki keistimewaan karena merupakan satu-satunya kewajiban yang diterima Nabi Muhammad SAW langsung di Sidratul Muntaha, tanpa perantara, pada peristiwa Isra Mikraj.
Oleh karena itu, salat tidak boleh ditambah atau dikurangi dari bentuk aslinya. Perubahan dalam tata cara salat akan menjadi bid’ah yang dilarang oleh agama. Salat juga memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam Islam karena dapat mencegah seseorang dari perbuatan buruk, asalkan dilaksanakan dengan khusyuk dan sungguh-sungguh.
Hal ini disampaikan dengan sangat baik dalam ceramah di Masjid Istiqlal pada peringatan Isra Mikraj 27 Rajab tiga hari lalu. Salat tidak hanya ibadah wajib, tetapi juga sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT serta penjaga moral dan etika umat Islam.
Wallahu a’lam. Kompleks GFM, 30 Januari 2025