Gambar ”MEMBELI KUCING DALAM KARUNG: Resiko Tergesa-gesa dalam Menilai dan Menentukan Arah”

Pernahkah kita berhenti di tepi malam, menenangkan dada, lalu bertanya, adakah keputusan-keputusanku selama ini lahir dari kejernihan atau sekadar dorongan yang menyeret? 


Ketika kabar datang bagai angin dingin di kulit tapi tak jelas asalnya, apakah aku memeriksa arah, atau justru membiarkan diri tertiup entah ke mana? 


Saat peluang berkilau di etalase waktu, apakah aku menilai “nilai”, atau hanyut mengejar kilau? 


Dan di antara riuh opini, promosi, serta narasi yang berburu atensi, apakah aku pencari kebenaran, atau hanya penikmat pembenaran?


Kita diajari pepatah: “jangan membeli kucing dalam karung.” Bukan karena kucingnya tercela, tetapi karena karungnya menutup hakikat. 


Dalam hidup, banyak karung menyaru, bungkus yang manis, angka yang dipoles, testimoni yang diatur, kabar yang disamarkan. 


Islam, sejak awal, mengasuh kita dengan basirah, mata batin yang jernih, agar tidak gampang terkecoh, teliti sebelum bertindak, dan akurat memandang persoalan.


Allah SWT. menegakkan etika verifikasi dan kehati-hatian:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka telitilah (kebenarannya).” (QS. Al-Ḥujurāt: 6)

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak punya ilmu tentangnya.” (QS. Al-Isrā’: 36)


الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ

“(Ialah) orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya.” (QS. Az-Zumar: 18)


Rasulullah SAW. menautkan adab tadabbur dengan ritme hidup yang pelan namun pasti:

التَّأَنِّي مِنَ اللَّهِ، وَالْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ

“Sikap tenang dan tidak tergesa itu dari Allah; sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan.” (Hadis ḥasan)


كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

“Cukuplah seseorang dianggap berdusta bila ia menceritakan setiap apa yang ia dengar.” (HR. Muslim, Muqaddimah)


لَا يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

“Seorang mukmin tidak (selayaknya) tersengat dari lubang yang sama dua kali.” (Muttafaq ‘Alaih)


Sahabat dan ulama menyempurnakan kompasnya. Umar ibn al-Khaṭṭāb RA. bertanya pada nurani:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

“Hisablah (evaluasilah) dirimu sebelum engkau dihisab.”


Ali ibn Abi Ṭālib ra. menancapkan patok kebenaran:

اعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلَهُ

“Kenalilah kebenaran, niscaya engkau mengenal siapa ahlinya.”


Imam Asy-Syafi’iy Rahimahullah mengajari adab nalar:

رأيي صوابٌ يحتملُ الخطأ، ورأيُ غيري خطأٌ يحتملُ الصواب

“Pendapatku benar namun mungkin salah; pendapat orang lain salah namun mungkin benar.”


Dan Al-Ghazālī menyalakan pelita:

التَّفَكُّرُ مِفْتَاحُ الأَنْوَارِ، وَمَبْدَأُ الِاسْتِبْصَارِ

“Tafakkur adalah kunci cahaya, permulaan dari kejernihan pandang.”


Apa itu “Kucing dalam Karung” dalam Etika Islam?


Dalam bahasa iman, “kucing dalam karung” adalah tindakan menerima, membeli, memihak, atau memutuskan tanpa tabayyun (pengecekan) dan ta’anni (ketenangan). 


Ia bukan sekadar kelalaian administratif, ia cacat moral, sebab ia mengabaikan amanah kebenaran. 


Islam menuntun kita agar niat baik dikawinkan dengan cara yang benar, bukti sebelum simpulan, proses sebelum putusan, isi sebelum bungkus.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Wahai orang-orang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan ucapkanlah perkataan yang tepat (lurus).” (QS. Al-Aḥzāb: 70)


Ketepatan kata lahir dari ketepatan lihat, ketepatan lihat berakar pada hati yang takut keliru di hadapan Allah.


Mengapa Kita Tergelincir? (Penyebab yang Sering Tak Kita Sadari)


Ada hari-hari ketika keinginan berlari lebih cepat dari akal. 


Ego merindukan tepuk tangan instan, budaya viral memuja kecepatan di atas kebenaran, sistem mendorong loyalitas tanpa mutu, pendidikan mengukur angka, bukan akhlak. 


Di ruang digital, algoritma memberi “karung” yang sesuai selera, kita dibuai oleh confirmation bias, menyukai yang cocok, menolak yang benar. Kita pun tergesa menyimpulkan, lalu menyesal setelahnya.


Al-Qur’an menyingkap akar yang sering tersembunyi:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ

“Wahai orang-orang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)


وَمَا لَهُمْ بِهِ مِنْ عِلْمٍ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ

“Mereka tidak punya ilmu tentang itu; mereka hanya mengikuti dugaan.” (QS. An-Najm: 28)


Ketergesaan, prasangka, dan dugaan, tiga benang yang menenun karung tempat kita tersesat.


Bagaimana Ia Tercermin? (Ciri-Ciri yang Halus namun Nyata)


Ia tampak saat kita lekas menyebar kabar yang menyenangkan hati sendiri, saat kita menetapkan vonis sebelum mendengar seluruh sisi, saat kita lebih suka kemasan daripada substansi, saat kita anti-kritik namun hobi mengkritik, saat kita percaya reputasi tanpa menuntut verifikasi, saat kita mengaku “demi umat” namun memutuskan “demi diriku”. 


Dalam momen seperti ini, lidah berlari, tangan membagikan, sementara hati belum sempat bertanya.

مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ

“Termasuk baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmiżī)


Meninggalkan yang tak bermanfaat adalah rem yang menyelamatkan.


Ia mencegah kita membeli karung, apalagi menelan isinya mentah-mentah.


Jalan Keluar: Solusi yang Lembut namun Tegas


Pertama, kembalikan ritme batin ke keheningan yang sadar. Ta’anni, pelan bukan berarti lambat, teliti bukan berarti ragu. 


Pelan adalah keberanian untuk menunda nikmat sesaat demi keselamatan jangka panjang.


Kedua, jadikan tabayyun budaya, bukan sekadar slogan. Setiap kabar diuji, tiap dokumen ditelusuri, tiap klaim dituntut bukti. Allah SWT. telah meletakkan kerangka kerja:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Naḥl: 43)


وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (QS. Āli ‘Imrān: 159)


Ketiga, kokohkan keadilan sebagai asas menimbang, bahkan saat emosi mengajak memihak:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ

“Wahai orang-orang beriman! Jadilah penegak keadilan, sebagai saksi karena Allah.” (QS. An-Nisā’: 135)


وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Janganlah kebencian suatu kaum mendorong kalian berlaku tidak adil. Berlaku adillah; itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Mā’idah: 8)


Keempat, rawat musyawarah dan amanah profesional, dengarkan ahli, serahkan tugas pada yang cakap, dan jangan malu menarik langkah bila data berkata “henti”. Nabi SAW. bersabda:

إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ

“Sesungguhnya kelembutan, bila ada pada sesuatu, niscaya akan menghiasinya.” (HR. Muslim)


Kelembutan di sini adalah sabar menimbang, halus menolak, dan berani berkata “belum” saat informasi kurang.


Kelima, simpan ruang sujud dalam setiap keputusan. Setelah verifikasi dan musyawarah, mohon bimbingan dengan istikharah, agar yang tampak manis tak berujung getir.


اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيرُكَ بِعِلْمِكَ...

“Ya Allah, aku memohon pilihan terbaik kepada-Mu dengan ilmu-Mu…” (HR. Bukhārī)


Istikharah bukan mengganti kerja akal, ia membersihkan niat, menenteramkan pilihan.


Cermin untuk Realitas Kita: Dari Personal ke Komunal


Mengapa bangsa sering tersandung pada lubang yang sama? 


Karena kita gemar bergegas pada yang tampak, malas menyelam ke yang nyata. 


Kebijakan kadang lahir dari hasrat citra, bukan peta data. Diskursus publik sering memanjakan sensasi, bukan substansi. 


Kita mendahulukan kepentingan personal, lalu meminjam syiar komunal sebagai pembenaran. 


Padahal kemuliaan bersama hanya mungkin bila pribadi-pribadi beradab; teliti, adil, mau mendengar, dan rela dibetulkan.

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

“Tolong-menolonglah dalam kebajikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Mā’idah: 2


Tolong-menolong tidak tumbuh dari tergesa, ia lahir dari saling percaya yang dibangun oleh kebiasaan memeriksa, bukan mencurigai, mengklarifikasi, bukan menghakimi.


Adab Menyingkap Karung


Pada akhirnya, “kucing dalam karung” adalah peringatan agar kita tidak menggadaikan masa depan pada bungkus yang rapuh. 


Islam menuntun kita membangun ekologi kehati-hatian, ta’anni yang tenang, tabayyun yang teliti, musyawarah yang tulus, keadilan yang konsisten, ilmu yang rendah hati, dan doa yang berserah. 


Dengan itu, kita tak lagi menjadi korban narasi, melainkan kita menjadi penjaga makna. Kita tidak sekadar selamat dari kesalahan, kita menjadi bagian dari solusi.

رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” (QS. Ṭāhā: 114)


اللَّهُمَّ اهْدِنِي وَسَدِّدْنِي

“Ya Allah, tunjukilah aku dan tepatkanlah (keputusanku).” (HR. Muslim)


Doa Penutup


اللَّهُمَّ ارْزُقْنَا بَصِيرَةً تَمِيزُ بَيْنَ الظَّاهِرِ وَالْحَقِيقَةِ، وَقُلُوبًا تَخَافُ أَنْ تَقُولَ مَا لَا تَعْلَمُ، وَعُقُولًا تَتَثَبَّتُ قَبْلَ أَنْ تَحْكُمَ.

اللَّهُمَّ عَلِّمْنَا التَّبَيُّنَ وَالتَّأَنِّي، وَاكْفِنَا شَرَّ الْعَجَلَةِ وَالظَّنِّ، وَارْزُقْنَا قَوْلًا سَدِيدًا وَحُكْمًا رَشِيدًا.

اللَّهُمَّ اجْعَلْ قَرَارَاتِنَا لِوَجْهِكَ، وَانْفَعْ بِهَا عِبَادَكَ، وَاحْفَظْ بِلَادَنَا وَأَهْلَنَا مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ وَخَطَإٍ، إِنَّكَ وَلِيُّ ذَلِكَ وَالْقَادِرُ عَلَيْه


“Ya Allah, karuniakan kepada kami basirah yang dapat membedakan antara tampilan dan hakikat, hati yang takut berkata tanpa ilmu, dan akal yang meneliti sebelum memutuskan. Ya Allah, ajarkan kami tabayyun dan ketenangan, lindungi kami dari bahaya tergesa dan prasangka, dan anugerahi kami kata-kata yang tepat serta keputusan yang bijak. Ya Allah, jadikan keputusan kami demi ridha-Mu, bermanfaat bagi hamba-Mu, dan lindungilah negeri serta keluarga kami dari segala fitnah dan kesalahan. Engkaulah Pelindung dan Maha Kuasa atas segala sesuatu.”


#Wallahu A’lam Bis-Sawab