Ada sebuah peristiwa penting yang saya alami Subuh tadi di salah satu masjid kawasan elit Kabupaten Maros. Kebetulan kami menginap di rumah lagoku. Dimana ada dua anak muda tergesa-gesa ingin keluar; satu melintas tepat di depan saya yang sedang duduk, sementara satunya memilih memutar lewat belakang. Saya tahu bahwa anak muda kedua ini, tidak mau berjalan di depan saya. Perbedaan sikap keduanya, boleh jadi sebagai sesuatu yang mencerminkan kontras dalam kesadaran etika dan adab. Sesuatu yang selama ini dijunjung tinggi dalam Islam kita, budaya timur, dan sudah lazim kehidupan bermasyarakat dalam keseharian.
Sayangnya, pada hari ini nilai-nilai luhur ini kian tergerus, salah satunya oleh arus media massa dan digital yang begitu deras bahkan tak terkendali. Tayangan hiburan yang menomorsatukan kecepatan dan sensasi seringkali mengaburkan pentingnya tata krama, sopan santun, serta penghargaan terhadap ruang sakral dan sosial. Budaya instan dan individualisme yang diputar-putar oleh media telah memengaruhi cara pandang generasi muda terhadap etika.
Peristiwa kecil di masjid tadi seolah menjadi cermin zaman: masih ada yang menjaga nilai, tapi tak sedikit yang kehilangan arah. Tak tahu makna etika. Tidak menganggap etika sebagai sesuatu yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. Ini menjadi pengingat bagi kita semua—bahwa penguatan karakter dan ideologi bangsa harus dimulai dari hal-hal sederhana, termasuk adab di rumah ibadah.
Kisah ini mengingatkan tentang beberapa teori komunikasi yang pada semester ini saya ampuh sebanyak dua kelas pada mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar. Di antaranya adalah teori Kultivasi (Cultivation Theory) – George Gerbner. Teori ini menjelasakan paparan media, terutama televisi dan media digital dalam jangka panjang, dapat membentuk persepsi khalayak tentang realitas sosial. Manakala seseorang terus-menerus mengonsumsi tayangan yang minim atau abai atas nilai adab, etika, atau penuh dengan perilaku instan dan individualistik, mereka bisa menganggapnya sebagai hal yang normal dalam kehidupan sehari-hari.
Media massa memiliki peran strategis dalam membentuk cara berpikir dan bertindak masyarakat. Sebagai saluran utama informasi, hiburan, dan budaya populer, media tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membentuk nilai dan norma sosial melalui simbol, narasi, dan representasinya.
Melalui berbagai platform—seperti televisi, radio, surat kabar, hingga media digital—media memiliki kontribusi dalam mengonstruksi realitas sosial. Narasi-narasi yang dibangun media sering kali dianggap mencerminkan kenyataan, padahal sesungguhnya merupakan hasil seleksi dan pembingkaian. Figur publik, bahasa, serta gaya hidup yang ditampilkan menjadi acuan utama dalam memahami dunia sosial. Dalam bahasanya Prof. Anwar Arifin, dosen saya ketika masih kuliah di Universitas Hasanuddin tahun 1990an, dimana ketika nilai-nilai tertentu diulang terus-menerus, ia akan tertanam dalam kesadaran kolektif dan mempengaruhi perilaku masyarakat.
Media juga memainkan peranan ideologis. Pesan yang disampaikan tentunya membawa kepentingan, nilai, dan sudut pandang tertentu. hal ini membuat media dapat memperkuat status quo atau justru menjadi sarana perubahan sosial. Oleh karena itu, kesadaran kritis terhadap isi media menjadi sangat penting agar masyarakat, khususnya generasi muda, tidak menjadi konsumen pasif tetapi mampu bersikap reflektif dan selektif.
Dalam konteks Indonesia saat ini, media turut berperan dalam pergeseran nilai-nilai budaya, terutama di kalangan generasi muda. Hidup di era digital membuat mereka sangat terpapar oleh konten global—dari musik, film, hingga media sosial. Gaya hidup modern yang ditampilkan media sering kali menekankan pada individualisme, konsumtivisme, dan kebebasan ekspresi bebas nilai. Sesuatu yang bertentatangan dengan nilai-nilai yang seharusnya dipelihara dan diwariskan; kesopanan, gotong royong, dan penghormatan terhadap otoritas adat dan keluarga.
Media sosial, sebagai bentuk baru media massa, memungkinkan generasi muda menjadi produsen sekaligus konsumen konten. Ini membuka ruang kreativitas, namun juga menimbulkan risiko munculnya konten yang tidak etis. Fenomena kejar-viral tanpa mempertimbangkan nilai moral menunjukkan adanya degradasi nilai dalam ruang publik.
Contoh konkret dari menurunnya sensitivitas terhadap etika sosial dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari: anak muda yang tidak lagi menghormati orang tua, mahasiswa yang mengganggu ketenangan lingkungan, atau kebiasaan membuang sampah sembarangan. Fenomena ini menunjukkan lemahnya internalisasi nilai dan kontrol sosial dalam masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah dominasi pesan-pesan media yang lebih mengedepankan kebebasan individu dan kepuasan pribadi dibanding tanggung jawab sosial.
Dalam teori hegemoni Antonio Gramsci, media menjadi sarana dominasi budaya yang halus, di mana nilai-nilai kelompok dominan ditanamkan sehingga diterima masyarakat sebagai kebenaran umum. Jika tidak diimbangi dengan literasi media, generasi muda akan semakin jauh dari akar budaya dan norma sosial yang menjadi pilar kehidupan bermasyarakat. Media, alih-alih menjadi alat edukatif, justru dapat menjadi agen pengikis nilai-nilai luhur.
Kita baru saja melewati bulan suci Ramadan. Dimana Ramadan mestinya menjadi momentum penting untuk membentuk kepekaan nurani, akhlak, dan pengendalian diri. Ramadan melatih umat untuk menjaga lisan, pandangan, serta perilaku, dan nilai-nilai ini sejatinya dapat menjadi benteng menghadapi pengaruh negatif media. Islam tidak mengharamkan media secara zat, tetapi memperingatkan tentang bahaya konten yang merusak moral masyarakat.
Setelah menjalani Ramadan, seorang Muslim diharapkan memiliki kemampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk. Dalam konteks ini, literasi media menjadi bagian dari ketakwaan. Seorang Muslim yang bertakwa akan menyaring konten media dengan cermat dan menyesuaikannya dengan ajaran Islam, termasuk nilai kebebasan yang tetap berada dalam kerangka etika dan tanggung jawab sosial***.