Gambar Membangun Generasi Inklusif

Pembaca yang budiman, tulisan ini anggaplah sebagai “oleh-oleh” pemikiran dari Rakornas Implementasi Pendidikan Pancasila di Madrasah/Sekolah/sederajat yang digagas oleh BPIP di Hotel JS Luwansa Jakarta (30 - 31 Juli 2025).

Sebagai Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Gorontalo, saya bersyukur menjadi peserta, di samping silaturrahmi, juga menjadi titik miqat strategis -Rapat Koordinasi Nasional Implementasi Pendidikan Pancasila di madrasah/sekolah- yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)  dihadiri jajaran pemangku kebijakan nasional: Kepala BPIP Prof. Yudian,  Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Prof Abdul Mu’ti, mewakili Menteri Agama Dirjen Pendidikan Islam Prof. Suyitno, para Dirjen Bimas lintas agama, serta perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri. Pertemuan ini bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan momen strategis untuk meneguhkan kembali komitmen kolektif dalam membentuk generasi Indonesia yang inklusif yakni generasi yang mampu “menyatukan diri” dalam keragaman bangsa dengan spirit NKRI.

Urgensitas Praktek Nilai-Nilai Pancasila

Pancasila bukan teks usang yang hanya dikutip dalam tulisan dan pidato; ia adalah pondasi hidup berbangsa dan bernegara, identitas kolektif yang merangkum pengalaman panjang masyarakat Indonesia: berketuhanan, berkemanusiaan, persatuan, berdemokrasi, dan keadilan sosial. Dalam konteks global yang makin cair, di mana arus informasi, perbedaan ide, dan tekanan identitas mudah dimanfaatkan untuk fragmentasi, membangun fondasi kebangsaan yang kokoh melalui penanaman nilai-nilai Pancasila menjadi keniscayaan.

Bagi saya, lembaga pendidikan madrasah dan sekolah merupakan mediator kultural dalam pembentukan karakter, berperan sentral dalam mencetak generasi yang unggul dan sempurna secara kognitif, afektif, dan psikomotorik. Nilai-Nilai Pancasila yang diinternalisasi dalam praktek hidup nyata telah dibuktikan oleh para pendiri bangsa bukan hanya menjadi warga negara yang taat secara formal, melainkan mampu menjadi perekat persatuan dan  kerukunan, pelaku inklusi, dan pelopor kesejahteraan bersama. Urgensitas inilah yang menurut Dirjen Pendis  Prof. Suyitno sangat sejalan-semakna dengan “Kurikulum Cinta” yang ditawarkan oleh Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar, yang kemudian Prof. Suyitno memaparkan “Pancacinta” yakni cinta Tuhan, cinta ilmu, cinta lingkungan, cinta kemanusiaan, dan cinta tanah air.

Inklusivitas sebagai Wujud Nyata Pancasila

Inklusif bukan sekadar label toleransi pasif; ia adalah aksi proaktif menciptakan ruang di mana seluruh warga dengan perbedaan latar belakang agama, suku, budaya, gender, status sosial, dan kemampuan. Merasakan pengakuan, keadilan, dan kesempatan yang setara untuk berkontribusi nyata. Inklusivitas adalah manifestasi nyata nilai “persatuan” dan “kemanusiaan yang adil dan beradab” dalam Pancasila.

Generasi inklusif adalah generasi yang:

Mampu berdialog lintas perbedaan tanpa mengorbankan identitas, melainkan saling memperkaya.

Menempatkan keberagaman sebagai modal sosial, bukan ancaman.

Memiliki empati kolektif: memahami bahwa keadilan sosial tidak tercapai jika sebagian dilupakan.

Berani menegakkan kebenaran dan keadilan dengan tetap mempertahankan adab dan harmoni.

Strategi Implementasi di Madrasah dan Sekolah

1. Integrasi Kurikulum Nilai Pancasila Secara Kontekstual:

Pendidikan Pancasila tidak boleh hidup terpisah dalam mata pelajaran formal semata. Nilai-nilainya harus dihimpun dalam seluruh aktivitas belajar: pelajaran agama, bahasa, IPS, ekstra-kurikuler, hingga kehidupan keseharian sekolah/madrasah, misalnya pelajaran bahasa Inggris/Arab tapi isinya tentang Pancasila.

2. Penguatan Pendidikan Lintas Iman:

Karena Indonesia dibangun atas pluralitas agama dan budaya, program-program yang mempertemukan siswa dari latar belakang berbeda dalam dialog terstruktur, kolaborasi karya nyata, atau pengenalan empatik terhadap tradisi satu sama lain, membentuk kecerdasan sosial dan sensitivitas inklusif.

3. Guru sebagai Agen Inklusi:

Guru dan pembina adalah multiplikator; investasi pada kapasitas mereka dalam memahami, menginternalisasi, dan mengajarkan nilai inklusif secara tidak menghakimi sangat penting. Ini mencakup literasi keberagaman, pengelolaan konflik, metodologi pembelajaran partisipatif, dan keteladanan dalam sikap.

4. Pengembangan Ekosistem Madrasah sebagai Miniatur Indonesia

Kebijakan internal harus mencerminkan prinsip inklusivitas dan keindonesiaan yang utuh dan holistik, mencari titik temu tanpa menghilangkan kekhasan secara kultural.

5. Kegiatan Kaderisasi Nilai Pancasila Berbasis Komunitas:

Membentuk kelompok-kelompok pelajar penggerak nilai-nilai Pancasila yang menjadi duta inklusi, mereka melakukan advokasi, mentoring antar siswa, serta menjadi penghubung antara madrasah/sekolah dan masyarakat luas.

Peran Sinergitas & Kolaborasi

Pendidikan inklusif dan ber-Pancasila tidak bisa dibebankan kepada satu institusi saja. Sinergi antara BPIP, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Agama, serta Kementerian Dalam Negeri adalah kunci,  supaya arah, sumber daya, dan implementasi berjalan terkoordinasi. Beberapa langkah penting:

  • Kebijakan Bersama: Standar nasional pelaksanaan pendidikan nilai Pancasila yang memperhatikan keragaman lokal tanpa kehilangan konsistensi nasional.
  • Dukungan Regulatif dan Anggaran: Keberpihakan anggaran untuk pelatihan, bahan ajar kontekstual, dan fasilitas inklusif.
  • Fasilitasi Platform Kolaboratif: Forum rutin antar Dirjen lintas agama, instansi pendidikan, dan pemerintah daerah untuk berbagi best practice, evaluasi, dan inovasi.
  • Skema Penghargaan dan Pengakuan: Mengapresiasi madrasah/sekolah dan pendidik yang berhasil menumbuhkan budaya inklusif berbasis Pancasila secara nyata dan berkelanjutan.

Tantangan dan Upaya Mengatasinya

Beberapa tantangan yang acap muncul dalam membangun generasi inklusif berbasis Pancasila antara lain: fragmentasi informasi (mis/disinformasi), ketimpangan akses pendidikan berkualitas, dan  resistensi budaya terhadap perubahan. Solusinya:

  • Literasi Kritis dan Digital: Membekali generasi muda dengan kemampuan menyaring informasi, berpikir reflektif, dan tidak mudah terprovokasi.
  • Keteladanan Kepemimpinan: Pemimpin madrasah/sekolah dan tokoh agama/budaya menunjukkan sikap inklusif secara konsisten.
  • Pendekatan Kultural Lokal: Mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan kearifan lokal (local wisdom) sehingga pesan menjadi lebih diterima dan melekat.
  • Monitoring Partisipatif: Melibatkan siswa, orang tua, dan masyarakat dalam mengevaluasi sejauh mana inklusivitas dan nilai Pancasila hidup dalam keseharian pendidikan.

Gorontalo, 3 Agustus 2025