Saya bukanlah pembaca buku. Tapi, saya sangat menyukai dua tokoh ini, Ibn Arabi dan Maulana Rumi. Jangan heran, jika saya kerap mengutip keduanya. Meski keduanya adalah tokoh sufi kenamaan, tapi membaca bukunya, punya nuansa rasa yang berbeda.
Berikut peunturan seorang petualang perempuan Indonesia, Najmar dalam buku Finding Rumi, tentang kedua tokoh ini:
Saya suka pada kedua tokoh ini karena keduanya begitu menarik. Karya-karya Maulana umumnya berbentuk puisi. Mastnawi adalah karya master piece-nya yang terdiri dari enam jilid. Saya hanya membaca potongan-potongannya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Puisi-puisi Maulana begitu menyentuh dan memberi pencerahan.
Sebaliknya karya-karya Ibn Arabi umumnya berbentuk prosa atau penjelasan-penjelasan. Karyanya yang dianggap master piece berjudul Fushus Al-Hikam dan Futuhat Al-Makkiyah. Fushus Al-Hikam atau versi bahasa Inggrisnya "The Bezel of Wisdom". menjelaskan tentang hikmah-hikmah yang dibawa oleh para nabi mulai dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad.
Dari karya-karya ini terlihat perbedaan keduanya. Ibn Arabi berbicara pada akal sedangkan Maulana Rumi berbicara pada hati. Puisi adalah bahasa hati yang tak butuh banyak kata untuk membuatnya mengerti. Sedangkan Ibn Arabi berbicara pada akal sehingga butuh jutaan kata agar bisa memahamkan akal. Sehingga wajar jika karyanya begitu melimpah.
Maka memahami Rumi tidak bisa hanya dengan akal, Ia harus dipahami dengan hati lebih dulu, baru akal akan mengerti. Peran Ibn Arabi sebaliknya, Ia berusaha menuntun akal pada pemahaman yang lebih dalam yang kemudian hanya bisa dipahami melalui hati. Maka Ibn Arabi akan lebih mudah dipahami oleh orang-orang rasional yang lebih dominan mengolah pikir. Sedangkan Rumi akan mudah dipahami oleh orang-orang yang mengolah rasa yang hatinya telah menyala. Inilah beda keduanya. Kutub pengetahuan dan kutub cinta. Kutub akal dan kutub hati. Olah pikir dan olah hati.