Medsos (Media sosial) telah menjadi fenomena global yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam masyarakat modern yang sangat bergantung pada teknologi.
Di satu sisi, media sosial menawarkan akses informasi yang cepat dan berlimpah, namun di sisi lain, ia juga menyajikan tantangan besar dalam membentuk nilai dan karakter generasi muda hususnya generasi Z saat ini.
Pendidikan nilai dan karakter, yang seharusnya menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat, kini harus menghadapi persaingan dengan pengaruh media sosial yang kerap kali bersifat destruktif dan merusak tatanan.
Fenomena ini menuntut kajian yang lebih mendalam dan analitis untuk memahami dampaknya secara filosofis, sosial, dan spiritual, serta bagaimana Islam dengan berbagai perangkatnya dapat menjadi solusi atas tantangan yang hadir setiap saat itu.
1. Arus Informasi: Paradoks Kemajuan atau Dekadensi?
Laju informasi di media sosial bersifat masif, dinamis, dan cenderung tidak terkendali. Sebagai teknologi yang menjanjikan kemajuan pengetahuan, media sosial justru sering kali menjadi ladang mis informasi penyebaran informasi yang keliru.
Kondisi ini menimbulkan krisis epistemologis dalam masyarakat, di mana batas antara kebenaran dan kepalsuan menjadi kabur.
Dari sudut pandangan Islam, pencarian dan penyebaran kebenaran merupakan bagian penting dari adab ilmiah. Al-Qur'an menegaskan pentingnya memverifikasi informasi atau berita yang datang :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujurat: 6)
Informasi yang disampaikan ayat ini, Allah SWT. memperingatkan umat Muslim untuk melakukan tabayyun (verifikasi) sebelum menyebarkan informasi. Media sosial, dengan kecepatan dan skalanya, menciptakan tantangan bagi prinsip ini. Masyarakat sering kali terjebak dalam fenomena "klik cepat" tanpa terlebih dahulu melakukan verifikasi, yang kemudian berakibat pada penyebaran fitnah, hoaks, dan kerusakan sosial serta benturan horizontal yang kadang sangat ekstrim.
2. Pembentukan Karakter di Era Digital: Kehilangan Identitas Moral?
Melalui media sosial telah meredefinisi cara individu membentuk identitasnya. Banyak remaja dan generasi muda yang lebih memperhatikan citra diri mereka di dunia maya daripada bagaimana mereka dikenal dalam kehidupan nyata.
Konsep 'self-presentation' di media sosial telah menciptakan kecenderungan narsisme dan superficialitas.
Identitas moral yang sebelumnya didasarkan pada nilai-nilai tradisional, agama, dan kebudayaan, kini terancam digantikan oleh budaya popular yang sering kali bersifat konsumtif dan hedonistik.
Agama dalam hal ini Islam menekankan pentingnya menjaga identitas moral dan akhlak yang mulia. Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Ahmad)
Melalui media sosial dalam konteks ini, dapat dilihat sebagai medan ujian bagi pembentukan karakter. Meskipun media sosial menawarkan kesempatan untuk membangun identitas, sering kali identitas yang dibangun tersebut bersifat palsu, dangkal, dan jauh dari akhlak yang diajarkan Islam.
Akhlak yang baik tidak hanya sebatas apa yang ditampilkan secara lahiriah, tetapi merupakan refleksi dari ketulusan hati dan tindakan nyata dalam kehidupan.
3. Moralitas Digital: Krisis Empati dan Polusi Emosional
Fakta dilapangan menunjukkkan bahwa media sosial, dalam banyak hal, telah mengubah cara individu berinteraksi satu sama lain. Salah satu konsekuensi negatif dari media sosial adalah munculnya "polusi emosional" di mana ujaran kebencian, perundungan (cyberbullying), dan ketidakpedulian sosial menjadi hal yang biasa.
Algoritma media sosial yang sering kali mendorong konten yang kontroversial dan emosional justru memperburuk situasi ini dan merubah keadaan menjadi lebih rentan terhadap berbagai ketimpangan dan penyimpangan.
Dari aspek pandangan Islam, hubungan sosial dan empati adalah pondasi utama dari kehidupan bermasyarakat yang harmonis. Allah SWT berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا "Dan berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai." (QS. Ali Imran: 103)
Hadis Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya solidaritas sosial:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى "Perumpamaan kaum mukminin dalam kasih sayang, cinta kasih, dan simpati di antara mereka adalah seperti satu tubuh, ketika satu anggota tubuh mengeluh, seluruh tubuh ikut merasakan sakit dengan tidak bisa tidur dan demam." (HR. Muslim)
Fakta dilapangan menunjukkan bahwa di media sosial, nilai empati ini sering terkikis oleh sifat interaksi yang serba cepat dan dangkal. Fenomena komentar tanpa pertimbangan, penghinaan yang tidak manusiawi, serta kecenderungan menyebarkan konten tanpa memperhatikan dampaknya terhadap perasaan orang lain menunjukkan krisis empati yang parah di era digital dan perkembangan informasi yang sedemikian pesat ini.
4. Hedonisme Digital dan Eksploitasi Materialisme
Medsos (Media sosial) sering kali menjadi tempat promosi gaya hidup hedonistik yang berfokus pada konsumsi materi, popularitas, dan prestise sosial. Selebriti, influencer, dan iklan digital memperlihatkan gaya hidup yang glamor dan mewah, yang kemudian menjadi tolok ukur kesuksesan di mata generasi muda. Ini menciptakan krisis nilai, di mana keberhasilan dinilai dari apa yang dimiliki dan ditampilkan secara material, bukan dari kualitas moral dan kontribusi sosial dalam kehidupan.
Menurut pandangan Islam, kekayaan materi bukanlah tujuan akhir. Rasulullah SAW bersabda:
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ "Kekayaan itu bukanlah banyaknya harta benda, tetapi kekayaan adalah kaya jiwa." (HR. Bukhari dan Muslim)
Gaya hidup Hedonisme digital menimbulkan kerusakan spiritual yang serius, di mana manusia lebih mpada penampilan luar dan kenikmatan duniawi, yang sebenarnya sementara dan dangkal. Pengajaran Islam tentang zuhud (kesederhanaan) dan pengendalian diri sangat relevan dalam menghadapi tantangan ini. Ajaran Islam menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat ditemukan dalam kenikmatan materi, tetapi dalam kedekatan dengan Allah dan interaksi secara spiritual..
5. Kehilangan Interaksi Nyata dan Terputusnya Silaturahmi
Menjadi hal yang irinis memang dari media sosial adalah meskipun ia disebut sebagai media "sosial", banyak penggunanya justru mengalami isolasi sosial yang lebih besar. Interaksi virtual sering kali menggantikan interaksi nyata, dan hubungan yang terjalin di dunia maya sering kali bersifat dangkal dan sementara.
Hal Ini berlawanan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya silaturahmi dan membangun hubungan yang kuat dengan sesama manusia.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ "Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung tali silaturahmi." (HR. Bukhari dan Muslim)
Sabda Rasulullah SAW. ini menekankan bahwa keberkahan hidup terletak pada kualitas hubungan antar manusia. Media sosial, yang sering kali hanya mempertemukan orang secara virtual, tidak dapat menggantikan kekuatan silaturahmi dan interaksi nyata yang sarat makna.
Kesimpulan
Dalam menghadapi tantangan yang dihadirkan oleh media sosial dalam pendidikan nilai dan karakter, solusi yang ditawarkan oleh Islam sangat relevan.
Islam menekankan pentingnya menjaga integritas moral, membangun karakter yang kuat, serta berinteraksi secara penuh empati dan kasih sayang. Pendidikan nilai yang berakar pada ajaran nilai Islam.
SEMOGA BERMANFAAT Munawir Kamaluddin