Gambar “Masjid Favorit di Kampung” (6)

Masih ada puluhan menit sebelum waktu magrib tiba. Tapi puluhan mobil telah terparkir di ruas-ruas jalan dan lapangan sepak bola di pusat kecamatan. Penumpangnya datang dari sejumlah tempat di Wajo, Sulawesi Selatan dan kabupaten sekitar: Sidrap, Soppeng dan Bone. 

Puluhan kilometer mereka tempuh khusus untuk bersalat tarawih di Masjid Darussalam, masjid raya di Kecamatan Belawa, Kab. Wajo, yang berjarak sekitar 40 kilometer di barat daya kota Sengkang. Menurut seorang jamaah yang nampak sudah berusia lanjut, terkadang mobil yang datang dari luar Belawa mencapai seratusan lebih, khususnya pada malam pertengahan Ramadan.

Suasana di atas terlihat pada dekade 1970-an hingga 1990-an. Sejak memasuki milenium baru, pengunjung luar kecamatan nampak semakin jarang karena sejumlah faktor. Di masa itu Darussalam mungkin satu-satunya masjid di Sulsel yang rutin dikunjungi begitu banyak orang dari tempat-tempat yang jauh hanya untuk bersalat tarawih. 

Warga setempat bahkan sering membanggakan masjid mereka sebagai masjid terindah di Sulsel, tentu untuk ukuran masa itu. Sekilas, arsitekturnya memang tampak unik di antara masjid lain di provinsi ini. Kesan indah dan elegan, walau jauh dari megah, terlihat dari lima kubah dan dua menaranya. Sepintas, ada kemiripan arsitektural dengan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.

Namun, keindahan masjid bukan alasan utama para pengunjung datang ke kecamatan yang cukup terpencil ini. Warga menyebut beberapa faktor lain. Pertama, kepercayaan tentang pemerolehan barekka’ (istilah bahasa Bugis untuk berkah atau berkat) bagi pengunjung masjid yang didirikan dan pernah dibina oleh tiga sosok ulama besar di Wajo itu: Anregurutta (AG=Kiyai) H. Maratan, AGH. Muhammad Yunus Maratan, dan AGH. Abdul Malik Muhammad.

Keberkahan tersebut sering dikaitkan dengan seorang sosok wali Sufi bernama Syeikh Sagena atau Tosagena. Konon, salah satu sudut fondasi masjid berasal dari batu penanda tempat kelahiran sang wali. Wali yang lahir di Belawa tapi tumbuh dewasa dan wafat di Mekah ini konon memiliki maqam spiritual yang tinggi. Selain itu, pengunjung percaya, air kolam tempat berwudu di masjid itu pun punya khasiat serupa air Zamzam.

Faktor lainnya, kehadiran selama hampir tiga dekade sosok ulama karismatik sebagai pembina utama masjid tersebut, AGH Abdul Malik Muhammad (1922-2000). Sejak muda, Anregurutta Malik sudah mendedikasikan hidupnya sebagai guru agama, dai dan qadhi di Belawa. Setiap Ramadan, beliau mengisi sebagian besar jadwal ceramah tarawih dan pasca-salat subuh di Masjid Darussalam. 

Ceramah AGH. Abdul Malik terkenal menghibur dan dapat dipahami jemaah lintas generasi dan semua tingkat pendidikan. Seringkali ceramahnya berupa kisah bersambung, termasuk yang romantis. Agar tak ketinggalan episode, jemaah harus datang setiap malam. Pada waktu itu belum ada media perekam digital, apalagi Youtube. 

Jauh sebelum kemunculan dai kondang seperti KH Zainuddin MZ, AG Malik sudah terkenal di kawasan kabupaten sekitaran Belawa seperti Bone, Soppeng dan Wajo (Bosowa). Beliau bahkan terkenal juga di sejumlah wilayah perantauan orang-orang Bugis seperti di Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Kalimantan Timur, Kalimatan Utara (sekarang), dan Negara Bagian Sabah (Malaysia).

Paling tidak sejak dua dekade terakhir, masjid-masjid dengan bangunan dan ornamen mewah dan megah semakin banyak berdiri di setiap ibukota kabupaten. Sebagian masjid itu merupakan hasil renovasi total atas bangunan masjid raya lama yang kemudian dinamai “masjid agung”. 

Masjid lainnya merupakan bangunan baru yang lebih besar dari masjid raya lama, yang kemudian diberi nama masjid agung. Ada banyak kota kabupaten yang memiliki paling kurang dua masjid besar, yang satu masjid raya dan yang lainnya masjid agung.

Namun demikian, fenomena atau trend pembangunan banyak masjid besar dan megah ini memunculkan banyak pertanyaan. Apakah masjid-masjid tersebut selalu didatangi cukup banyak jemaah di setiap salat lima waktu? Apakah jemaah masjid-masjid besar ini juga datang dari tempat-tempat yang jauh (seperti Masjid Darussalan Belawa)? 

Juga pertanyaan, adakah seorang ulama karismatik dan dedikatif yang oleh masyarakat diidentikkan atau diasosiasikan dengan setiap masjid itu? Artinya, ketika orang ingat masjid tersebut, maka teringat pula nama besar kiyai yang mendedikasikan hidupnya mengurus, berdakwah dan mengajar di masjid tersebut. Atau, apakah jemaah selau bisa merasakan semacam nuansa, aura atau berkah spiritual tertentu ketika, misalnya, bersalat tarawih di masjid-masjid besar dan megah itu? []

-------------
[Sumber, Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #6, h. 31-33].