Oleh: Barsihannor (Dosen Pemikiran Islam UIN Alauddin Makassar) Akhir-akhir ini, terminologi jihad mulai bergaung kembali menyusul agresi militer Israel ke jalur Gaza Palestina sejak 28 Desember 2008 lalu. Di saat masyarakat dunia merayakan tahun baru dengan hiasan kembang api di udara, Israel �merayakan" tahun barunya dengan kembang api di jalur Gaza. Hingga tulisan ini diturunkan, meski sudah mulai ada tanda-tanda kesepahaman gencatan senjata (casefire), namun tragedi kemanusiaan ini sudah mencatat lebih dari seribu orang warga sipil tewas, termasuk anak-anak dan lebih dari lima ribu lainnya luka-luka akibat keganasan serangan Israel. Kondisi ini menimbulkan simpati dari berbagai negara terlebih lagi negara yang mayoritas berpenduduk muslim. Seruan jihad bergema di mana-mana. Di sejumlah tempat, Ormas Islam melakukan tablig Akbar dan menggalang dana. Front Pembela Islam (FPI) membuka posko pendaftaran jihad bagi siapa saja yang ingin berjuang ke Palestina. Sejumlah Banser di Jawa Timur melakukan latihan semi militer sebagai bentuk persiapan jihad mereka ke Palestina, Garda Bangsa di Jawa Timur memfokuskan pelatihan Tenaga Dalam, sementara Keraton Kesultanan Palembang berencana mengirim 1.300 relawan jihad untuk membantu Palestina. Banyak masyarakat muslim memahami dan mengidentikkan term jihad dengan perang melawan kaum kafir. Karena itu, tidak aneh ketika seseorang melakukan serangkaian pengeboman sebagai aksi teror kepada orang yang mereka anggap musuh Allah, menganggap aksinya sebagai sebuah jihad. Term jihad ternyata mengalami sebuah distorsi yang cukup parah akibat kegagalan memahami makna hakiki jihad, bahkan melupakan konteks sejarah, hukum, syarat dan etika jihad. Konsekuensinya, makna agung jihad ternodai dengan aksi-aksi terorisme. Efeknya, muncul stigma di sana-sini bahwa agama Islam identik dengan terorisme, dan ini merupakan celah yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak senang dengan Islam untuk merusak citra Islam. Makna dan Motivasi Jihad Term jihad dapat dijumpai di dalam Alquran maupun hadis. Alquran sebagai pedoman utama telah menyebut jihad sebanyak 41 kali dan memberikan penafsiran yang selalu berbeda dalam setiap ruang dan waktu. Ibn Rusyd menyatakan bahwa jihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk mencapai rida Allah (Ibn Rusyd: Muqaddiman:259). Al-Barusawi memberikan makna jihad sebagai upaya menghilangkan sifat egoisme untuk menciptakan kedamaian (al-Barusawi: Ruh al-Bayan:388). Al-Fairuzabadi berpendapat bahwa jihad merupakan pengorbanan dengan segala kemampuan baik dengan tenaga maupun dengan perkataan (al-Fairuzabadi: Qamus al-Muhit: 296). Dari sejumlah pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa jihad merupakan perjuangan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala potensi dan kemampuan yang dimiliki untuk mencapai tujuan, khususnya dalam memperjuangkan kebenaran, kebaikan dan keluhuran. Mungkin sebagian orang bertanya kenapa umat Islam sangat tertarik dengan jihad? Doktrin agama ternyata telah memberikan pengaruh yang kuat terhadap pola pikir masyarakat yang berangan-angan ingin mengecap kenikmatan surgawi. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad saw pernah menyatakan bahwa orang yang berjihad di jalan Allah (salah satu di antaranya berperang melawan orang kafir) balasannya adalah surga tanpa melalui proses hisab. (HR Bukhari-Muslim). Di dalam hadis lain Nabi bersabda: "Demi Zat yang jiwaku dalam genggamanNya, aku ingin terbunuh di jalan Allah, lalu aku dihidupkan kembali, lalu aku terbunuh lagi, kemudian dihidupkan lagi lalu aku terbunuh lagi."(HR Bukhari). Keinginan Nabi untuk berulang kali terbunuh dalam peperangan, lalu ingin dihidupkan kembali menunjukkan bahwa orang-orang yang berjihad di jalan Allah sungguh akan mendapatkan kenikmatan dan balasan surga dari Tuhan. Atas dasar pemahaman doktrin seperti ini, masyarakat termotivasi untuk mendapatkan surga secara instant, meski terkadang tanpa harus melakukan rutinitas ritual agama dan kesalehan sosial yang menjadi kewajibannya sebagai hamba Tuhan. Lalu betulkan bahwa jihad itu harus selalu identik dengan perang? Ternyata tidak, hanya saja mayoritas masyarakat memang secara massif telah mengidentikkan jihad dengan perang, sebab makna jihad selalu merujuk kepada nostalgia masa lalu. Sayyed Tantawi di Mesir menyatakan bahwa jihad tidak harus dengan perang, tetapi jihad mestinya dapat menjadi sebuah gerakan yang dapat membangun umat Islam dalam realitas kekinian dan kedisinian yang multikompleks. Standar kejayaan umat Islam bukanlah karena kekuatan perangnya, melainkan karena ketinggian peradaban dan kebudayannya (Zuhairi M, Alquran: 426). Atas dasar inilah, seorang perempuan Mesir, Khazandarah mewakafkan hartanya untuk membangun asrama mahasiswa putri untuk belajar di Universitas al-Azhar Cairo, yang oleh Syekh Muhammad al-Gazali dianggap sebagai jihad yang perlu diteladani. Oleh karena itu, jihad dapat dikelompokkan kepada empat bagian. Pertama, jihad bi al-Qalb yaitu berperang melawan hawa nafsu yang mengajak kepada kemaksiatan. Kedua, jihad bi al-lisan yaitu mengajak manusia untuk melakukan perintah Tuhan dan mencegah segala bentuk kemunkaran (termasuk di dalamnya menyuarakan aspirasi dan kepentingan masyarakat banyak di depan penguasan yang zalim). Ketiga, jihad bi al-yad yaitu upaya sungguh-sungguh untuk menegakkan keadilan dan kebenaran melalui kekuasaan/wewenang yang dimiliki dengan tetap menjaga koridor etika jihad. Keempat jihad difa�i yaitu jihad yang dilakukan lantaran ingin mempertahankan agama atau negara. Jihad, Ijtihad dan Mujahadah Tidak dapat dibantah bahwa term jihad sebenarnya seakar kata dengan term ijtihad dan mujahadah. Ketiga istilah ini terambil dari akar kata Juhd yang bermakna "kesungguhan, kesukaran atau kemampuan" (Majma, al-Mu�jam al-Wasit: 142). Kesamaan akar kata dari ketiga istilah ini memberi konsekuensi bahwa jihad sesungguhnya tidak terlepas dari ijtihad dan mujahadah. Ketiganya harus bersinergi dalam implementasinya di lapangan jika ingin mendapatkan nilai hakiki sebuah jihad. Dengan kata lain, jihad tanpa ijtihad dapat berujung kepada sebuah "kekonyolan". Jihad dengan ijtihad tetapi tidak menyertakan mujahadah dapat berbuah tragedi kemanusiaan. Orang tidak seharusnya pergi begitu saja untuk berjuang ke medan perang tanpa harus mempertimbangkan secara ijtihadi kondisi dan potensi yang dimilikinya. Sejarah telah membuktikan di saat seorang sahabat Nabi yang hanya bermodalkan semangat keberagamaan (khammasah diniyah) ingin ikut berperang, namun belum memiki kematangan, kemampuan dan strategi perang, Nabi pun melarangnya ikut dan menyuruhnya melakukan jihad yang lain yaitu berbakti kepada kedua orang tuanya yang masih hidup (HR Imam Turmuzi: 1879) Menyikapi keinginan sebagian masyarakat Indonesia yang ingin berjihad ke Palestina, diperlukan sebuah ijtihad yang bertujuan mencermati, mempertimbangkan dan menganalisis kemampuan, kesiapan dan pengenalan medan perang dalam perang modern. Sudahkah semua itu terpenuhi? Ini memerlukan sebuah ijtihad. Jika tidak, kepergian sebagian masyarakat tersebut dapat berujung kepada kematian. Lalu betulkah pula jika mereka terbunuh di Palestina, kematiannya dianggap syahid? Tentu semuanya tergantung kepada niat dan muatan substantif dari peristiwa tersebut. Jihad juga harus tetap memperhatikan aspek mujahadah yaitu sebuah dimensi spiritualitas yang menjunjung tinggi hak dan nilai-nilai universal kemanusiaan. Jihad dilakukan bukan atas dasar kebencian yang penuh dengan emosi, tetapi jihad dilakukan atas dasar untuk mencapai ridha Tuhan. Sayyidina Ali pernah mengurungkan aksinya untuk membunuh musuhnya di saat duel (satu lawan satu) dalam sebuah peperangan hanya karena lawannya meludahi wajahnya di saat dia ingin menghunjamkan pedang ke dada musuhnya. Sang musuh bingung dan bertanya kenapa Ali membatalkan niat untuk membunuhnya? Ali menjawab bahwa tujuannya berperang hanya semata-mata karena Allah (perang di jalan Allah), tetapi di saat ludah mengenai wajahnya, dadanya bergemuruh, hatinya panas dan emosi memuncak. Akhirnya Ali membatalkan niatnya untuk membunuh, sebab jika dia lakukan, perbuatannya bukan lagi jihad fi sabilillah, tetapi membunuh atas dasar dendam, kemarahan dan emosi. Panglima perang Salahuddin al-Ayyubi pernah menunda peperangan menyerang musuh hanya disebabkan di atas tendanya ada seekor merpati yang sedang bertelor. Dia perintahkan kepada prajuritnya untuk menunda penyerangan hingga merpati tersebut menetas, sebab ia khawatir akan mengganggu kelangsungan kehidupan anak-anak burung merpati tersebut. Cerita sejarah di atas menunjukkan kepada kita, bahwa sebuah jihad hakiki harus disertai proses ijtihad dan nilai-nilai mujahadah yang mengedepankan pertimbangan logis dan terukur serta semangat keadilan, humanisme dan kearifan. Olehnya itu, dalam konteks keindonesiaan, jihad berupa bantuan kemanusiaan seperti dana dan medis lebih tepat untuk membantu perjuangan Palestina. Live Palestine!