Gambar ”Lupa Kalau Sedang Ikhlas” (18)

Di satu grup WhatsApp (GWA), pernah terjadi perdebatan alot tentang makna kata 'ikhlas'. Debat itu dipantik oleh sentilan seorang anggota grup. Perbuatan baik, katanya, kalau selalu dipublikasikan secara lisan dan tulisan, misalnya lewat media sosial, bisa berakibat hampa pahala. Sebab, menurutnya, ia bisa berubah menjadi perbuatan riya’ (melo yaseng) karena berharap pujian manusia, bukan keridaan Allah. 

Dia rupanya sedang menyindir rentetan postingan beberapa anggota di GWA yang sama. Dalam postingannya, anggota yang dimaksud selalu menampilkan foto-foto kegiatannya di satu lembaga di mana para anggota GWA itu juga bekerja.

Dalam teks-teks agama, keikhlasan disebut sebagai syarat diterimanya suatu amalan oleh Allah. Ia juga menjadi buah dan intisari iman. Bahkan disebutkan, keikhlasan adalah tujuan akhir dan puncak pencapaian perjalanan keberagamaan seorang manusia.
Ribuan jilid kitab akhlak dan tasawuf telah mengulas tuntas konsep penting dalam agama ini. 

Sufi termasyhur, Abul Qasim al-Qusyairi (987-1073) mengatakan, “Ikhlas adalah membersihkan amalan dari komentar manusia.” (Bagaimana dengan berharap komentar di medsos?) hehe. Secara bahasa, ikhlas berarti bersih dari kotoran. Secara istilah, ia bermakna memurnikan niat dari kotoran yang merusak suatu amal.

Dalam ilmu tasawuf, seorang yang benar-benar ikhlas itu lupa jika dia sedang ikhlas dalam perbuatan baiknya. Karena sudah keseringan dilakukan, maka perbuatan-perbuatan baik yang dilakoninya sudah menjadi kebiasaan, bersifat spontan dan otomatis, bahkan akhirnya menjadi karakternya.

Jangankan peduli mempublikasikan aktivitasnya demi mendapatkan apresiasi dan selebrasi sosial, dia bahkan tidak lagi sempat mengingat kebaikan yang telah dilakukannya. Lebih-lebih, mengiringinya dengan ucapan, ”Saya ikhlas lho!”, atau ”Dengan ikhlas saya….”

Dalam ungkapan verbal "Saya ikhlas" itu pun sesungguhnya masih terbersit satu harapan untuk dipuji oleh orang lain sebagai orang ikhlas. Dengan kata lain, masih menyelinap kesadaran tentang waktu, wujud, dan tujuan suatu perbuatan. Dapat dikatakan bahwa keikhlasan yang sesungguhnya justru ditandai dengan ketidaksadaran tentang amal-amal baik dan bahkan tentang diri sendiri. 

Dengan kata lain, seorang ikhlas tidak lagi memerlukan umpan dan imbal balik dari apa yang sudah diberikannya. Dia sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dia tidak lagi butuh pujian dari orang lain atas perbuatan-perbuatan baik yang dilakukannya. Singkatnya, dia sudah lupa kalau dia ikhlas. Dia sudah mengikhlaskan keikhlasannya. Kesadarannya tentang keikhlasannya sudah luluh dan punah (fanā’).

Dengan analogi lain, keikhlasan sejati ditandai dengan ketidaksadaran akan kuantitas dan durasi pelaksanaan suatu ibadah. Anda, misalnya, tidak lagi mengingat dengan jelas sudah berapa malam Anda melakukan salat tarawih atau salat tajahud. Atau sudah berapa juz Al-Qur'an yang telah Anda baca selama Ramadan. Atau bahkan sudah berapa kali tamat membacanya hingga hari ini. Begitu juga jumlah nominal dari sedekah yang telah Anda berikan. (Atau berapa orang yang sudah me-"like" postingan di FB hahaha).

Mengapa Anda bisa melupakan semua itu? Salah satunya, karena Anda melakukan semua itu memang di setiap waktu selama bertahun-tahun. Artinya, sudah bersifat spontan atau intutitif dan menjadi ritinitas atau habitus Anda. Dengan kata lain, nilai dan efek kebaikan dari semua tindakan itu telah terinternalisasi dalam diri Anda, sudah menjadi bagian dari (kebutuhan) diri sendiri.

Sebagai sekadar analogi, apa Anda masih bisa ingat berapa kali Anda mandi, menyisir rambut, juga --maaf-- buang air besar, atau lari pagi dalam seminggu? Susah mengingatnya bukan? Mengapa? Ya, karena semua itu sudah bertahun-tahun Anda lakukan. Semua itu sudah menjadi kebiasaan personal Anda. Tidak peduli ada yang melihat atau memerintahkannya, Anda terus melakukannya. Selain karena kebiasaan, Anda juga sudah merasakan manfaat melakukan semua itu.

Di atas sudah disebutkan, keikhlasan (semata berharap keridaan Allah) menjadi syarat diterimanya suatu ibadah. Faktanya, sekalipun suatu ibadah dilakukan secara tidak sempurna karena ketiadaan/kesalahan pemahaman tentangnya, atau kelupaan atas beberapa syarat dan rukunnya, asalkan dilakukan dengan ikhlas, ia tetap dapat diterima.

Sebaliknya, sekalipun seluruh syarat, rukun dan cara sebuah ibadah telah dipenuhi dengan sempurna, jika niatnya tidak ikhlas, misalnya demi reputasi dan prestise sosial, atau demi kepentingan pragmatis dan jangka pendek (pencitraan politik, keuntungan ekonomi dan sebagainya), maka ibadah itu tidak akan diperhitungkan.

Dengan kata lain, keberterimaan ibadah oleh Allah lebih ditentukan oleh niat atau esensinya, bukan giat atau performansinya. Semua amalan yang dilakukan tanpa keikhlasan akan menjadi tak bernilai sama sekali, kecuali sekadar mencapai tujuan-tujuan lain yang ditargetkan sejak semula. Sabda Nabi saw. “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya”. 

Dalam perpektif demikian, keikhlasan suatu amal tidak dapat diukur berdasarkan sekadar faktor keterbukaan atau kerahasiaan informasi tentang pelaksanaan suatu amalan. Bagi seorang yang ikhlas, tidak ada perbedaan antara beramal secara terang-terangan dengan diam-diam. 

Dalam kedua cara itu, dia tetap ikhlas. Sebab, dia melakukannya tidak lagi berdasar kesadaran tentang hal-hal eksternal (misalnya karena pujian). Dia melakukan semua itu karena secara intrinsik sudah menjadi karakter dan identitas personalnya.

Matahari akan terus bersinar tanpa peduli apakah makhluk di tata surya memerlukan sinarnya atau tidak. Demikian juga, seorang yang ikhlas akan terus beramal baik, tidak peduli apakah ada yang memuji atau mencelanya. Derajat pujian dan celaan atas perbuatan baiknya sama sekali tidak mempengaruhi mentalitasnya. Dia akan tetap "mabbutantaru mapallaong deceng" (buta dan tuli dalam melakukan kebaikan).

Orang ikhlas bagai matahari. Puncak dan kesempurnaan penciptaannya adalah saat ia menjadi sekadar sarana ('abd, hamba, pelayan) bagi Allah dalam menyebarkan rahmat-Nya kepada para makhluk-Nya, walau ia sendiri harus berada dalam situasi gejolak kepanasan dan keterbakaran abadi. 

Hanya yang sudah ”fanā' fī nafsihī” yang dapat menjadi orang-orang mukhlis, lalu mukhlas. Wa Allah wa a'lam! []