Ada kalanya kita berjalan begitu jauh hingga lupa dari mana kita berasal. Tenggelam dalam gemerlap dunia, terbuai oleh nikmat yang sesaat, hingga tanpa sadar kita telah melepaskan akar yang dulu mengikat kita pada hakikat sejati kehidupan.
Lupa daratan. Sebuah ungkapan yang lebih dari sekadar kehilangan arah, ia adalah kehilangan makna, kehilangan pijakan, kehilangan diri sendiri.
Tidakkah kita pernah bertanya, apa yang sebenarnya hilang ketika kita terlampau sibuk mengejar dunia? Apakah kita hanya tersesat dalam fatamorgana, ataukah kita tengah mengabaikan panggilan hati yang sejati?
Allah mengingatkan kita dalam firman-Nya: “الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّـهِ ۚ أَلَا بِذِكْرِ اللَّـهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ"
“Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram." (QS. Ar-Ra’d: 28)
Namun, berapa banyak dari kita yang lebih sibuk mengejar dunia daripada mencari ketenteraman? Berapa kali kita merasa cukup dengan kesenangan sesaat, lalu melupakan apa yang sebenarnya kita cari?
Allah memperingatkan kita agar tidak terpedaya oleh gemerlap yang menipu: “فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُم بِاللَّهِ الْغَرُورُ"
“Janganlah sekali-kali kehidupan dunia ini memperdayakanmu, dan jangan pula diperdayakan oleh tipu daya tentang Allah." (QS. Al-Fatir: 5)
Hidup ini sesungguhnya bukan sekadar mengejar apa yang tampak, tetapi tentang memahami apa yang tersirat. Tentang bagaimana kita menyeimbangkan perjalanan antara dunia yang sementara dan akhirat yang kekal.
Rasulullah SAW. bersabda: “لَا تُؤْمِنُوا لِمَنْ يَحْيَا لِلدُّنْيَا فَإِنَّ دُنْيَا قَدْ فَانَتْ وَمَا سَاءَ اللَّهُ سَائِلَ السَّاعَةِ"
“Janganlah kamu percaya kepada orang yang hanya hidup untuk dunia, karena dunia itu sudah akan hilang, dan barang siapa yang meminta sesuatu yang melanggar batasnya, maka dia adalah orang yang merugi." (HR. Ahmad)
Tidakkah kita melihat bagaimana dunia ini adalah fatamorgana? Bahwa apa yang kita kejar dengan begitu gigih hanya akan memudar seiring waktu?
Imam Al-Ghazali pernah berkata: “من عاش على الدنيا فقد غفل عن الآخرة"
“Barang siapa yang hidup untuk dunia, maka ia telah lalai dari akhirat."
Maka, bagaimana kita bisa kembali? Bagaimana kita bisa menemukan pijakan yang telah kita tinggalkan? Jawabannya tidak terletak pada dunia yang kita kejar, tetapi pada kesadaran bahwa kita berasal dari Allah, dan kepada-Nya kita akan kembali.
“وَفِي السَّمَاءِ رَزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ"
“Dan di langit itu ada rezekimu dan apa yang dijanjikan kepada kalian." (QS. Adh-Dhariyat: 22)
Mungkin kita terlalu sibuk mengais dunia, tetapi rezeki itu bukanlah soal seberapa keras kita mengejar, melainkan seberapa besar kita bertawakal kepada-Nya.
Saat kita tenggelam dalam lautan dunia, tidakkah kita ingin kembali ke daratan? Tidakkah kita merindukan pijakan yang kokoh, kesejukan hati yang sebenarnya?
"إِنَّ اللَّـهَ مَعَ الصَّابِرِينَ" “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)
Dengan kesabaran, kita akan menemukan jalan kembali. Dengan kesadaran, kita akan melihat bahwa dunia ini hanyalah persinggahan. Dan dengan keimanan, kita akan mengerti bahwa lupa daratan bukanlah akhir, melainkan panggilan untuk kembali.
Marilah kita berhenti sejenak. Merenung. Mengingat.
Sudahkah kita benar-benar kembali?
Ketika Manusia Lupa Daratan: Sebuah Renungan Ruhani
Pernahkah engkau berdiri sendiri dalam gelap malam, lalu bertanya dalam hati: siapa aku ini sebenarnya? Untuk apa aku diciptakan? Kenapa hidup terasa kosong padahal harta sudah dikumpulkan, gelar sudah diraih, dan pujian manusia tak pernah berhenti mengalir?
Mengapa saat segala yang kita kejar berhasil diraih, justru hati terasa semakin jauh dari ketenteraman? Apakah mungkin karena kita lupa daratan, lupa hakikat diri, lupa arah pulang, dan lupa bahwa dunia bukan tujuan?
Allah menyindir manusia dengan firman yang menohok: يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ "Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu (membuatmu lalai) dari Tuhanmu Yang Maha Pemurah?" (QS. Al-Infithar: 6)
Apakah karena pangkat? Karena saldo rekening yang terus bertambah? Ataukah karena kesenangan yang memabukkan dan membuat kita merasa tidak perlu lagi mendekat kepada Allah?
Apakah kita tidak sadar bahwa detik demi detik, ajal sedang menyusutkan jatah hidup kita?
Ibnul Qayyim rahimahullah menulis dengan jujur: "من علامة موت القلب: عدم الحزن على ما فاتك من الطاعات، وعدم الندم على ما فعلت من السيئات" "Tanda hati yang mati adalah tidak merasa sedih saat tertinggal dari amal kebaikan, dan tidak menyesal setelah melakukan dosa."
Apakah kita sedang menuju pada kondisi itu? Saat hati tak lagi tersentuh oleh ayat Allah, saat telinga tak lagi peka terhadap suara adzan, dan saat hati mulai tenang dalam kelalaian.
Fenomena Lupa Daratan dalam Kehidupan Modern
Lupa daratan bukan hanya berarti sombong karena kekayaan atau kekuasaan. Ia lebih dalam dari itu. Ia adalah saat manusia tak lagi mengingat bahwa dirinya hamba. Bahwa apa yang ia miliki hanyalah titipan. Bahwa bumi yang ia pijak dan napas yang ia hirup semuanya milik Allah.
Allah mengingatkan kita dengan keras: أَفَرَأَيْتَ إِن مَّتَّعْنَاهُمْ سِنِينَ، ثُمَّ جَاءَهُم مَّا كَانُوا يُوعَدُونَ، مَا أَغْنَىٰ عَنْهُم مَّا كَانُوا يُمَتَّعُونَ "Maka bagaimana pendapatmu jika Kami biarkan mereka bersenang-senang beberapa tahun, kemudian datang kepada mereka azab yang telah dijanjikan kepada mereka, niscaya tidak berguna bagi mereka apa yang mereka selalu menikmatinya itu." (QS. Asy-Syu’ara: 205-207)
Apakah kita sadar bahwa kenikmatan dunia hanya diberikan sebagai ujian, bukan sebagai bukti kecintaan Allah?
Rasulullah SAW.bersabda: "إذا رأيتَ اللهَ يُعطِي العبدَ مِنَ الدنيا على معاصيهِ ما يُحبُّ، فإنما هو استدراجٌ" "Jika kamu melihat Allah memberikan dunia kepada seorang hamba padahal ia dalam kemaksiatan, maka itu adalah istidraj (penguluran untuk disiksa)." (HR. Ahmad)
Lalu mengapa kita bangga dengan rumah megah, kendaraan mewah, dan prestise sosial jika semua itu bisa jadi hanya jerat untuk menjauhkan kita dari Allah? Apakah kita lupa bahwa Fir’aun dan Qarun pun kaya?
Pertanyaan-Pertanyaan untuk Jiwa yang Kadang Tertidur
Di saat kita sibuk mengejar dunia, apakah kita pernah bertanya: “Apakah aku sedang menuju surga atau neraka?”
Saat tangan kita sibuk menggenggam gadget dan mencari like, apakah kita sempat bertanya: “Apakah Allah ridha denganku hari ini?”
Ketika tubuh sehat dan rezeki lancar, apakah kita bersyukur atau justru semakin lalai?
Ketika seseorang mengingatkan kita untuk kembali kepada Allah, mengapa kita marah? Bukankah nasihat itu tanda cinta?
Ibnu Athaillah berkata: "لا تُصاحب من لا يُنهضُك حالُه، ولا يدُلُّك على الله مقالُه" "Jangan bersahabat dengan orang yang tidak membangkitkan semangatmu menuju Allah dengan keadaannya, dan tidak menunjukkan jalan menuju Allah dengan ucapannya."
Saat Kesombongan Menutupi Pandangan Ruhani
Orang yang lupa daratan biasanya membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih rendah secara materi, lalu merasa hebat. Padahal Allah sudah mengingatkan: فَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ "Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang bertakwa." (QS. An-Najm: 32)
Bukankah kita semua hanyalah debu di atas hamparan langit yang luas? Maka mengapa kita begitu pongah dan takabur terhadap manusia lain?
Rasulullah SAW. bersabda: "لا يدخلُ الجنةَ من كان في قلبِه مثقالُ ذرةٍ من كبرٍ" "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada seberat biji zarrah kesombongan." (HR. Muslim)
Waktunya Kembali: Jangan Sampai Terlambat
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Bangun. Sadar. Kembali. Sebelum ajal menjemput dalam keadaan lalai. أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ "Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk khusyuk hati mereka dalam mengingat Allah?" (QS. Al-Hadid: 16)
Apakah kita harus menunggu musibah, kehilangan, atau kematian orang terdekat baru sadar bahwa dunia ini bukan tempat tinggal, melainkan tempat meninggal?
Sufyan ats-Tsauri berkata: “الدنيا ظلمة، والآخرة نور، فالسائر من ظلمة إلى نور" "Dunia itu gelap, akhirat itu cahaya, maka pejalan sejati adalah yang bergerak dari kegelapan menuju cahaya."
PENUTUP: Jalan Pulang Itu Selalu Terbuka
Wahai jiwa yang sedang mencari cahaya, ingatlah: Allah tidak pernah menutup pintu kembali. Tidak peduli sejauh apa kamu melangkah, sehitam apa dosamu, jika engkau bersujud hari ini dengan air mata penyesalan, maka Allah akan menyambutmu lebih dari orang tua yang menemukan anak hilangnya. قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِن رَّحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا "Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya." (QS. Az-Zumar: 53)
Masihkah kita ingin menunda taubat? Masihkah kita ingin hidup dalam kabut kelalaian yang membuat hati membatu?
Jangan tunggu besok, karena kita tidak dijamin akan sampai pada esok. Mari kembali. Mari pulang. Karena kampung halaman kita sesungguhnya adalah SURGA# Wallahu A’lam Bishawab.