Apakah bumi yang kita pijak sedang menangis, ataukah ia sedang menegur manusia yang lupa diri?
Apakah bencana yang datang bertubi-tubi hanyalah siklus alam biasa, atau isyarat bahwa ada yang keliru dalam cara kita hidup?
Dan di penghujung tahun 2025 ini, apakah kita sekadar menghitung kerugian material, atau mulai menghitung dosa ekologis yang selama ini kita anggap sepele?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengusik nurani, sebab apa yang kita sebut sebagai bencana sering kali hanyalah akibat, bukan sebab.
Banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, krisis air bersih, dan perubahan iklim bukan peristiwa yang turun dari langit tanpa hubungan dengan perilaku manusia.
Ia adalah respon alam terhadap kerakusan, kelalaian, dan ketidakadilan ekologis yang dibiarkan mengendap terlalu lama.
Al-Qur’an sejak awal telah mengingatkan bahwa kerusakan bukanlah takdir buta, melainkan buah dari tangan manusia sendiri:
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia.”
(QS. Ar-Rum: 41)
Ayat ini bukan sekadar kritik moral, tetapi diagnosis peradaban. Kerusakan ekologis adalah tanda bahwa manusia telah keluar dari keseimbangan fitrahnya sebagai khalifah di bumi.
Alam tidak rusak sendirinya, ia dirusak oleh sistem hidup yang menjadikan eksploitasi sebagai kebiasaan, dan keserakahan sebagai legitimasi.
Di sinilah Islam hadir bukan hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai agama ishlah (agama pemulihan). Karena Kata Islam sendiri bermakna as-silm (kedamaian), as-salamah (keselamatan), dan al-ishlah (perbaikan).
Maka Islam pasca-bencana bukan sekadar doa penghibur, melainkan proyek peradaban untuk merehabilitasi bumi dan jiwa manusia sekaligus.
Allah menegaskan misi ini dalam firman-Nya:
وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah Allah memperbaikinya.”
(QS. Al-A‘raf: 56).
Ayat ini mengandung pesan yang sangat tajam: bumi telah diciptakan dalam keadaan seimbang, tetapi manusialah yang merusaknya. Maka kewajiban manusia bukan hanya menghindari kerusakan baru, tetapi mengembalikan bumi pada keseimbangannya.
Inilah esensi ishlah ekologis.
Namun ishlah tidak mungkin lahir tanpa muhasabah.
Bencana dalam perspektif Islam bukan hanya ujian, tetapi juga peringatan dan peluang evaluasi diri. Rasulullah SAW. bersabda:
مَا نَزَلَ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رُفِعَ إِلَّا بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah suatu musibah turun kecuali karena dosa, dan tidaklah ia diangkat kecuali dengan tobat.”
(HR. Al-Baihaqi).
Dosa yang dimaksud bukan hanya dosa personal seperti lalai shalat atau maksiat individu, tetapi juga dosa kolektif: menebang hutan tanpa kendali, mencemari sungai, mengabaikan tata ruang, meminggirkan masyarakat adat, dan membiarkan ketidakadilan ekologis demi pertumbuhan ekonomi semu.Inilah yang dapat kita sebut sebagai dosa ekologis.
Para sahabat Nabi memahami hubungan erat antara moral manusia dan kondisi alam. Umar bin Khattab RA. pernah berkata:
“إني لأخشى أن تُمنع الأمطار بذنوب العباد.”
“Aku khawatir hujan ditahan karena dosa-dosa manusia.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa krisis ekologis bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga persoalan etika dan spiritual. Alam merespons perilaku manusia, sebagaimana tubuh merespons penyakit.
Para ulama klasik pun telah menegaskan prinsip keseimbangan ini. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kerusakan lahir ketika manusia dikuasai hawa nafsu dan kehilangan rasa tanggung jawab sebagai khalifah.
Sementara Ibn Katsir ketika menafsirkan QS. Ar-Rum: 41 menegaskan bahwa Allah memperlihatkan kerusakan agar manusia kembali kepada jalan yang benar, bukan sekadar menyesali akibatnya.
Maka Islam pasca-bencana harus dimaknai sebagai tiga gerakan besar ishlah.
Pertama, ishlah spiritual, yaitu tobat kolektif, memperbaiki hubungan dengan Allah, membersihkan kesombongan, dan mengakui bahwa manusia bukan penguasa mutlak bumi.
Kedua, ishlah sosial, yakni membangun solidaritas, keadilan distribusi bantuan, dan keberpihakan pada kelompok paling rentan yang selalu menjadi korban pertama bencana.
Ketiga, ishlah ekologis, yaitu perubahan cara pandang dan kebijakan: dari eksploitasi menuju konservasi, dari dominasi menuju harmoni.
Rasulullah SAW. memberikan teladan luar biasa dalam menjaga lingkungan, bahkan dalam kondisi genting:
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang dari kalian ada bibit tanaman, maka jika ia mampu menanamnya, tanamlah.”(HR. Ahmad).
Hadits ini menegaskan bahwa pemulihan ekologis adalah ibadah, bahkan ketika dunia seakan berakhir. Menanam, menjaga, merawat, dan memperbaiki alam adalah ekspresi iman, bukan sekadar agenda aktivisme.
Di penghujung tahun 2025 ini, darurat ekologis seharusnya tidak hanya melahirkan laporan kerusakan dan angka korban, tetapi juga kesadaran baru.
Bahwa bumi tidak sedang memusuhi manusia, manusialah yang terlalu lama memusuhinya. Bahwa bencana bukan akhir cerita, melainkan titik balik untuk ishlah.
Jika setelah bencana kita hanya membangun kembali bangunan, tetapi tidak memperbaiki cara hidup, maka kita sedang menyiapkan bencana berikutnya.
Namun jika kita menjadikan bencana sebagai momentum tobat ekologis, evaluasi kebijakan, dan perubahan perilaku, maka dari reruntuhan bisa lahir peradaban yang lebih beradab.
Islam hadir bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk memulihkan. Bukan untuk menghukum, tetapi untuk menyadarkan. Dan di tengah darurat ekologis ini, Islam mengajak kita kembali menjadi manusia (hamba Allah) yang rendah hati, khalifah yang bertanggung jawab, dan penjaga bumi yang penuh kasih.
Sebab keselamatan masa depan tidak ditentukan oleh seberapa cepat kita membangun kembali kota, tetapi oleh seberapa sungguh-sungguh kita memperbaiki diri dan memperbaiki bumi.
#Wallahu A’lam Bish-Shawab
Alat AksesVisi