Kita hidup dalam arus deras zaman yang tak lagi mengenal jeda.
Gawai di tangan bukan sekadar alat komunikasi, melainkan rumah kedua yang mendefinisikan cara berpikir, bergaul, bahkan beriman.
Dunia digital kini menjelma menjadi samudera luas. Di sana ada kapal-kapal iman yang berlayar menuju pulau kebahagiaan, tetapi ada pula jiwa-jiwa yang karam dalam badai fitnah.
Pertanyaannya, di kapal manakah kita berlayar? Apakah kita sedang menuju cahaya, atau tanpa sadar sedang dihanyutkan oleh gelombang kegelapan?
Realitasnya tak bisa kita pungkiri. Betapa banyak anak muda yang menjadikan viralitas lebih berharga daripada moralitas.
Mereka rela mempertaruhkan keselamatan demi sebuah tantangan ekstrem yang direkam lalu ditonton jutaan mata asing.
Betapa mudah berita bohong menyelinap di antara jari, menjalar dari layar ke layar, memecah persaudaraan, bahkan menyalakan api kebencian.
Dan betapa banyak hati yang diam-diam terluka oleh cyberbullying, hingga ada jiwa yang merasa hidupnya tak lagi berarti.
Al-Qur’an sudah jauh hari memperingatkan kita:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila datang kepada kalian berita dari orang fasik, maka tabayyunlah (periksalah dengan teliti), agar kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum karena kebodohan, yang akhirnya menjadikan kalian menyesal atas perbuatan itu.” (QS. al-Ḥujurāt [49]: 6).
Inilah kompas moral digital. Sebuah perintah ilahi agar kita tidak menjadi hamba jempol yang terburu-buru “klik” dan “share”, melainkan manusia berakal sehat yang berhenti sejenak, memverifikasi, lalu menimbang dengan hati nurani.
Krisis Digital: Antara Viralitas dan Kehilangan Jiwa
Namun mari kita bertanya lebih dalam: apakah dunia digital benar-benar mendekatkan kita pada kebenaran, atau justru menjauhkan kita dari kebijaksanaan?
Apakah layar kecil yang kita genggam setiap hari adalah lentera yang menerangi, atau bara yang membakar tanpa kita sadari?
Rasulullah SAW. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang itu dianggap berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim).
Jika dahulu dusta beredar dari mulut ke mulut, kini ia berlari dari layar ke layar dengan kecepatan cahaya.
Jika dahulu fitnah membutuhkan kata-kata yang dirangkai, kini cukup dengan sentuhan jempol.
Maka pertanyaan yang harus kita renungkan adalah: apakah kita rela menjadikan dunia digital sebagai kuburan akhlak, tempat di mana nilai kebenaran dikalahkan oleh kecepatan, dan kesopanan dikalahkan oleh popularitas?
Atau justru kita berani menjadikannya sebagai taman dakwah, ruang belajar, dan ladang pahala?
ICT sebagai Islamic Character Transmission
Jawabannya kembali pada bagaimana kita memaknai teknologi.
Hari ini, tantangan terbesar kita bukan sekadar menguasai teknologi, melainkan bagaimana menjinakkannya dengan akhlak Qur’ani.
ICT yang selama ini kita kenal sebagai Information and Communication Technology harus kita redefinisi menjadi Islamic Character Transmission, yakni teknologi yang mentransmisikan nilai iman, akhlak, dan kebijaksanaan Nabi SAW.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah pernah menegaskan:
إِنَّ الدِّينَ كُلَّهُ خُلُقٌ، فَمَنْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الْخُلُقِ فَقَدْ زَادَ عَلَيْكَ فِي الدِّينِ
“Sesungguhnya agama itu seluruhnya adalah akhlak. Maka siapa yang lebih tinggi akhlaknya darimu, maka lebih tinggi pula agamanya darimu.” (Madarij as-Salikin).
Apakah generasi kita ingin dikenal sebagai generasi yang cerdas digital tetapi miskin moral?
Ataukah sebagai generasi yang lihai bermedia namun juga mampu menjaga iffah (kehormatan), amanah (tanggung jawab), dan rahmah (kasih sayang)?
Pendidikan Karakter Digital: Jalan Solusi
Solusi sejatinya sudah ada di depan mata, yaitu pendidikan karakter digital yang memadukan keterampilan teknologi dengan kedalaman iman.
Bayangkan jika sekolah dan pesantren tidak hanya mengajarkan cara membuat konten, tetapi juga cara menjaga kehormatan diri di balik konten itu.
Jika universitas tidak hanya mengajarkan cara mengoperasikan AI, tetapi juga bagaimana menahan diri dari godaan menggunakan AI untuk plagiarisme atau manipulasi.
Bukankah Rasulullah SAW. sendiri menegaskan tujuan risalahnya?
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Maka dunia digital pun harus kita jadikan sebagai arena penyempurnaan akhlak, bukan kuburan moral.
Kurikulum Etika Digital Islami: Sebuah Rancangan Praktis
Agar gagasan ini tidak hanya berhenti sebagai wacana, mari kita bayangkan sebuah kurikulum etika digital Islami yang bisa menjadi pijakan nyata di sekolah, pesantren, maupun universitas.
Kurikulum ini dimulai dari dasar spiritualitas digital, di mana siswa diajak menelaah ayat dan hadits tentang tabayyun, amanah, iffah, serta melakukan muhasabah jejak digital dirinya sendiri.
Dari sini mereka berlanjut pada literasi digital Islami, belajar mengenali hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah dalam cahaya Al-Qur’an, lalu mempraktikkan tabayyun dengan simulasi nyata.
Setelah itu, mereka masuk ke tahap akhlak bermedia sosial. Di sinilah pelajar belajar berkomunikasi Islami di WhatsApp, TikTok, atau Instagram, sekaligus berkreasi membuat konten dakwah kreatif yang tetap menjaga kehormatan.
Tidak berhenti di sana, kurikulum ini juga memasukkan etika AI, membahas bahaya deepfake, manipulasi data, hingga plagiarisme, agar generasi muda benar-benar kritis dan bijak.
Sebagai penguat, mereka diajak melalui gamifikasi akhlak digital, permainan, simulasi, dan studi kasus di mana mereka harus menentukan sikap Islami ketika berhadapan dengan hoaks atau konten destruktif.
Hingga akhirnya, mereka diberi ruang untuk proyek dakwah digital, membuat konten yang bernilai akhlak, lalu menutupnya dengan refleksi dan muhasabah, “Apakah jejak digital saya mencerminkan iman saya?”
Dengan kerangka semacam ini, pendidikan digital tidak lagi berhenti pada keterampilan, tetapi menjadi proses pembentukan jiwa yang menyatu dengan iman.
Solusi Reflektif: Jalan Pulang ke Akhlak
Akhirnya, kita harus jujur bertanya kepada diri sendiri, apakah jempol kita selama ini lebih banyak menebar pahala atau dosa?
Apakah akun kita menjadi jalan hidayah atau justru lorong gelap yang menjerumuskan? Apakah kita memanfaatkan teknologi sebagai kendaraan menuju surga, atau sebagai jalan pintas menuju neraka?
Umar bin Khattab RA pernah berkata:
تَفَقَّهُوا قَبْلَ أَنْ تُسَوَّدُوا
“Belajarlah ilmu (dan akhlak) sebelum kalian menjadi pemimpin.” (HR. al-Bukhari).
Generasi milenial dan Gen Z kelak akan menjadi pemimpin bangsa. Mereka yang hari ini bercakap di TikTok, esok bisa saja duduk di kursi parlemen.
Mereka yang hari ini membuat konten di Instagram, esok bisa jadi penggerak peradaban.
Maka, apakah kita ingin mereka tumbuh sebagai pemimpin yang cerdas tetapi tanpa akhlak, atau pemimpin yang menyalakan cahaya iman dalam ruang digital?
Semoga dunia digital tidak menjadi jurang fitnah, melainkan taman akhlak, tidak menjadi tembok pemisah, melainkan jembatan ukhuwah.
Dan semoga dari layar kecil di tangan kita lahir cahaya besar yang menerangi sejarah umat manusia.
Pertanyaan untuk Introspeksi
Apakah kita sudah sungguh-sungguh mendidik generasi agar cerdas digital sekaligus berakhlak Islami?
Apakah sekolah, pesantren, dan universitas kita hanya mencetak insan teknologis, atau juga insan bermoral?
Dan apakah kita sendiri, sebagai orang tua, guru, dosen, dan pemimpin, sudah menjadi teladan digital yang menebar cahaya, ataukah justru ikut menambah gelapnya ruang maya?
# Wallahu A’lam Bis-Sawab