Di tanah rantau yang jauh dari rumah,
angin Belanda meniupkan dingin dan kisah.
Namun tak semua yang berbeda itu resah—
karena di sana, aku menjumpai cahaya di luar ibadah.
Seorang pendeta, bukan seiman,
tapi sejiwa dalam niat dan jalan.
Namanya Slob—seorang wanita yang penuh welas asih,
menawariku tumpangan ke Rotterdam,
bukan untuk beribadah di gereja,
tapi mengikuti pengajian Prof. Arkoun—yang universal dan ramah.
“Biar saya yang antar dan sediakan karcis,” katanya lembut,
dan untuk menyingkirkan prasangka yang mudah muncul,
kuajak juga Dr. Nurnaningsih, sahabat sejalan dari Makassar,
maka kami bertiga pun berangkat—
menembus malam pukul tujuh yang hening
dengan satu tujuan: menggali makna Islam dari pelabuhan pemikiran yang dalam.
Tiba di aula, hatiku terguncang tak biasa:
yang hadir mayoritas… umat Nasrani.
Namun tak ada ketegangan,
karena Arkoun berbicara tentang Islam
dengan cara yang bisa dipahami semua insan.
Ia tidak menghakimi,
tidak menggelari yang lain dengan bid’ah atau kafir.
Ia bicara tentang cinta, akal, dan iman,
dalam kemasan yang menjangkau hati setiap insan.
Sesampainya di apartemen, aku tak bisa lelap,
merenungi kebaikan Pendeta Slob yang ikhlas.
Lalu kubuka mushaf dengan hati yang lapang,
dan kutemukan ayat agung nan menenangkan:
> "Sesungguhnya orang-orang beriman, Yahudi, Nasrani, dan Shabiin,
barang siapa beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh—
mereka berhak atas pahala Tuhan mereka,
tak ada ketakutan atas mereka, tak pula kesedihan menimpa."
(QS. al-Baqarah: 62)
Ayat ini selalu dikutip Kang Jalal
dalam majelis pluralnya yang penuh kasih sayang.
Aku pun membuka Tafsir Jalalain:
ayat itu tentang masa Rasul, katanya.
Namun aku mafhum…
perubahan zaman dan tempat membawa tafsir baru yang maknawi.
Dulu, memberi ucapan Natal dianggap dosa,
kini, banyak ulama membolehkannya—
karena kita kini satu kantor,
satu meja kerja, bahkan satu keluarga.
> "Hukum berubah seiring zaman dan ruang,"
demikian kaidah fikih yang menyinari langkah orang berakal.
Di tanah air, aku diundang ke Sorong untuk halal bihalal,
ternyata lebih banyak yang hadir: umat Nasrani lokal.
Tapi kupakai saja model pengajian Prof. Arkoun—
yang pernah kualami di Rotterdam,
karena kebenaran, jika bijak disampaikan,
akan sampai ke hati, tak peduli apa pun agamanya.
Aku mengenal Pendeta Slob saat meneliti
di Henry Krimer Institut atas rekomendasi van Dijk—
sejarawan DI/TII yang membuka pintu Gowa bagiku,
membawaku pada sumber-sumber Barat abad 16-17
yang mengisahkan jejak Islam di masa lalu.
Di sana pula kutemui pendeta dari tanah air:
Dr. Sumartana dari Jogja,
dan Dr. Zakariah Ngelow dari STTK Makassar.
Merekalah yang menggagas diskusi
tentang perkembangan Kristen di Belanda
dengan kawan-kawan INIS Fellow yang haus makna.
Kepada Zakariah, kubisikkan satu harapan:
Agar ada yang meneliti kristenisasi di Sulawesi Selatan,
karena sejatinya Kristen mayorits karena mereka lebih dahulu datang dan diterima,
namun justru Islamlah yang berkembang kemudian.
Mengapa demikian?
Biarlah sejarah menjawab dengan ilmiah dan kejujuran.
Karena sejatinya,
yang berbeda bukan untuk dijauhi,
tapi untuk dikenali.
Yang seiman bukan untuk dicurigai,
melainkan untuk didekap dan disatukan hati.
Beberapa tahun kemudian setiba di tanah air,
kusampaikan rasa syukurku
dalam surat penuh harap,
dan sang pendeta membalas,
bukan dengan dalil panjang,
melainkan satu kalimat lapang:
"Saya senang bisa menemani Bapak
dalam perjalanan karier di Leiden," tulisnya dalam WhatsUp.
Kalimat singkat itu,
tetap tinggal di ruang benakku,
seperti pelita yang tak pernah padam oleh malam,
karena persahabatan sejati
tak lahir dari kesamaan syahadat,
melainkan dari ketulusan
yang tak memandang langit tempat sujud.
Betapa indah,
jika perbedaan tak jadi jurang,
melainkan jendela saling memahami,
seperti kami malam itu—
yang berbeda iman,
namun satu dalam kebaikan dan pencarian.
Semoga pengalaman ini jadi cahaya,
bahwa persahabatan bisa tumbuh
meski tak seiman dalam syahadat,
asalkan tulus dalam cinta sesama makhluk Tuhan.
Kompleks GFM, 14 Juli 2025
Dengan sejuknya kenangan dan hangatnya lintas iman.