Latar Sejarah:
Akhir tahun 1981, Ketua Umum DPP IMMIM, H. Fadeli Luran, mempercayakan saya untuk menyelenggarakan sebuah panel diskusi. Dalam mempersiapkannya, saya berkonsultasi kepada senior, sahabat, sekaligus guru saya, almarhum Husni Djamaluddin. Beliaulah mengusulkan tema yang unik untuk saat itu: "Mubalig Profesional." Sekaligus, kami meminta beliau menjadi pembicara utama.
Sebelum acara, saya mendatangi beliau untuk menanyakan makna “mubalig profesional” yang diusulkan itu. Dengan lugas, Husni menjelaskan bahwa yang penting diperjelas adalah kata profesional. Ia memberi contoh: seorang petinju profesional bukan hanya berlatih keras, tetapi mendedikasikan hidupnya untuk tinju, memiliki keahlian yang diakui, dan mendapat bayaran besar setiap kali bertanding. Bahkan, pada masa kini, petinju professional, kelas dunia, seperti Tyson Fury menerima bayaran hingga Rp 1,6 triliun sekali tanding.
Dalam acara panel diskusi Husni melempar pertanyaan reflektif, “Adakah mubalig yang sekali berceramah mendapat bayaran Rp 1,6 triliun?” Ia sendiri menjawab, “Sebagai panitia Masjid Aqsha, saya tahu persis berapa honor mubalig dalam setiap khutbah Jumat? Jika dikalikan empat dalam sebulan pun, masih jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.” Dari situ ia menyimpulkan, “Kalau sesuatu itu mustahil, mengapa kita membicarakannya? Mari kita bicara hal yang mungkin: bahwa mubalig profesional dalam penampilan, tetapi tetap amatiran dalam bayaran.”
Bagi Husni, semua aspek kehidupan berubah, termasuk umat sebagai objek dakwah. Maka mubalig sebagai subjek dakwah pun harus membaca perubahan zaman. Seorang mubalig masa kini, katanya, tak cukup hanya menguasai ayat-ayat Qur’aniyah, tetapi juga harus mampu membaca ayat-ayat Kauniyah — tanda-tanda kebesaran Allah dalam fenomena sosial dan perkembangan zaman.
“Umat sekarang berbeda dengan sepuluh tahun lalu,” ujarnya. “Dulu, materi sederhana cukup untuk memperkuat iman. Kini, dengan media sosial, mereka bisa bertanya langsung soal agama ke ‘Kiai Google’.”
IMMIM pun merespons dengan membuat kualifikasi mubalig dan klasifikasi masjid, agar mubalig bisa ditempatkan sesuai karakter jamaah. Husni menekankan, jamaah sekarang membutuhkan bukan hanya penguatan iman, tapi juga wawasan luas. Seorang mubalig, menurutnya, ibarat pelayan restoran yang menyajikan beragam menu halal agar jamaah bisa memilih sesuai kebutuhan dan selera.
Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, bahwa “umat sekarang sudah bergerak dari satu mazhab ke multi mazhab.” Artinya, mubalig harus lebih cerdas dari jamaahnya. “Kalau mubalig justru lebih rendah ilmunya, sebaiknya turun dari mimbar dan duduk bersama jamaah untuk mendengar khutbah,” kata Husni.
Ia menambahkan, “Jamaah sekarang mencari ibadah plus. Mereka memilih masjid bukan hanya untuk salat, tapi juga untuk mendapatkan santapan ruhani dari mubalig yang berkualitas.”
Husni menutup pesannya dengan dua poin utama bagi mubalig:
1. Selalu memberi nilai tambah dalam setiap ceramah.
2. Menyesuaikan materi dakwah dengan tingkat pengetahuan jamaah, agar membumi dan relevan.
“Mubalig,” katanya, “tidak boleh asyik dengan dirinya sendiri. Fokusnya harus kepada umat.”
Panel diskusi akhir 1981 itu dihadiri banyak tokoh IMMIM, termasuk H. Fadeli Luran. Kini, semua yang hadir sudah kembali ke haribaan Allah, termasuk Husni Djamaluddin — kecuali K.H. Drs. Muhammad Ahmad yang tahun ini menerima penghargaan Syakhul Mubalighin dari DPP IMMIM. Saya teringat kata-kata Husni di suatu pemakaman sahabat, “Akhirnya kita semua akan kembali, tinggal masalah waktu saja.”
Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ganjaran terbaik bagi mereka.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
MUBALLIG PROFESSIONAL
(Refleksi untuk Umat dan Zaman)
Bukan soal bayaran semahal intan,
bukan pula mimbar bertabur kemewahan,
tapi tentang niat yang murni,
ilmu yang terasah,
dan tutur yang menyejukkan hati.
Mubalig profesional,
ialah ia yang berdiri di mimbar
dengan penampilan terjaga,
pengetahuan luas,
dan hati yang tulus,
meski pulang hanya berbekal senyum
dan doa jamaahnya.
Mubalig profesional adalah
Mubalig professional dalam penampilan, sekalipun amatiran dalam bayaran
Wassalam
Kompleks GFM, 16 Agustus