Gambar LATAR SEJARAH


Puisi ini berangkat dari satu nasihat yang diberikan almarhum Husni Djamaluddin di tengah Pengajian Aqsha. Nasihat itu sederhana, namun sarat makna: berbicaralah tentang masa lalu kepada orang tua, dan tentang masa depan kepada anak muda. Prinsip ini menjadi pedoman Prof. Ahmad setiap kali berbicara di depan khalayak. Nasihat tersebut menjadi salah satu warisan pemikiran yang beliau pegang teguh hingga kini, dan dianggap sebagai mutiara hidup dari seorang guru, sahabat, sekaligus tokoh intelektual yang dihormati.


MUTIARA HIDUP DARI SEORANG GURU


Pernah, di tengah jamaah yang hening,

beliau berbisik lembut:


"Jika engkau berbicara dengan orang tua,

bicaralah tentang masa lalu,

sebab merekalah pemiliknya.

Jika engkau berbicara dengan anak muda,

bicaralah tentang masa depan,

sebab itulah milik mereka."


Sejak itu, setiap kali undangan datang,

pertanyaan pertamaku selalu:

"Siapa yang akan hadir?

Orang tua atau anak muda?"

Agar kata-kata yang lahir

menemukan rumahnya di hati pendengar.


Itulah salah satu mutiara

yang kutemukan dalam perjalanan bersamanya—

warisan dari seorang guru, sahabat,

dan pemimpin intelektual

yang kupanggil dengan hormat:

Bang Husni Djamaluddin.


**LATAR SEJARAH


Puisi: "Imajinasi Husni tentang Kerusakan Masyarakat"**


Puisi ini didasari oleh sebuah kisah subuh yang diceritakan almarhum Husni Djamaluddin—sebagai moderator dalam pengajian Aqsha—di mana ia menyampaikan imajinasinya mengenai rendahnya tingkat kepercayaan di masyarakat kita.


Berlatar waktu di awal pagi, dalam sesi tanya jawab, beliau menggambarkan bagaimana kebaikan bisa disalahtafsirkan. Artinya, niat mulia menjadi sasaran prasangka. Cerita itu dilukiskan melalui kisah seorang anak yatim yang menulis surat kepada Allah SWT, meminta bantuan sepuluh ribu rupiah untuk sekolah — dan bagaimana petugas kantor pos hingga polisi merespons dengan hati, membelanjakan dana yang hanya setengah dari jumlah yang diminta, hingga muncullah balasan surat yang menohok hati: “jangan lagi lewat polisi, karena bantuan itu sudah dipotong setengahnya.”


Husni menggunakan kisah sederhana itu untuk menunjukkan betapa kuatnya prasangka yang merajalela—bahkan terhadap niat baik. Dalam konteks pengajian Aqsha, kisah ini menjadi cerminan betapa pentingnya membina kelapangan hati dan menjaga keutuhan niat di tengah dinamika sosial.


Pengajian yang diselenggarakan oleh tokoh-tokoh profesional dan akademisi—dr. M. N. Anwar, SKM (Ketua), Prof. Dr. Amiruddin Aliah, Prof. Dr. Halim Mubin, serta diikuti oleh saya selaku Sekretaris Harian—berdiri atas komitmen terhadap niat suci dan keterbukaan nilai. Di sinilah, kisah itu perlu diabadikan bukan sekadar sebagai bahan renungan moral, melainkan sebagai pengingat: bahwa di balik tawa ringan, tersimpan pelajaran mendalam soal kepercayaan, kelapangan hati, dan cara masyarakat kita.


Wassalam,

Kompleks GFM, 9 Agustus 2025