Pada hari Sabtu, 11 September 2021 lalu, DPP IMMIM melaksanakan diskusi daring dengan menampilkan tema, "Larangan Menista Agama lain." Judul ini sengaja diangkat setelah melihat fenomena di media elektronik dan media sosial tambah semarak penistaan pada agama lain. Terutama bagi orang-orang yang baru saja pindah agama. Mungkin dimaksudkan untuk menunjukan identitasnya yang baru. Padahal dalam agama Islam, Allah sendiri melarang memaki sesembahan agama lain, larangan ini sangat penting pada masyarakat plural seperti di Indonesia. Karena itu, pemerintah telah membuat regulasi tentang hubungan intern dan ekstern antara umat beragama. Sebab jika dibiarkan, maka yang akan timbul adalah kekacauan.
Kali ini dua orang pakar akan ditambilkan sebagai nara sumber, 1. Prof. Dr. Ghalib M, M.A. seorang ahli di bidang ilmu tafsir yang sekarang sedang menjabat Direktur PPs UIN Alauddin Makassar. 2. Prof.Dr.H.Laode Husen, SH, MH, pakar hukum yang sedang menjabat Fakultas Hukum UMI dan beliau jźuga mantan Kanpolnas.
Tidaklah diperbolehkan mengukur agama orang lain dengan agama sendiri di depan publik atau mengukur agama yang sedang dianut sendiri dengan agama orang lain untuk menghindari terjadinya perselisihan satu sama lain. Benar apa yang disampaikan Rekor UIN Alauddin Makassar, Prof. Hamdan Juhannis, Ph.D. dalam sambutannya pada acara ini bahwa dalam negara plural sebaiknya yang dikemukakan adalah ajaran universal pada setiap agama, sedang ajaran partikuler pada setiap agama yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dengan agama lain hanya ditemukan dalam ruangan khusus yang dihadiri para penganut agama itu sendiri, seperti di masjid, di gereja, dan di ruangan khusus lainnya bukan untuk konsumsi publik. Hal itu demi memelihara hubungan baik antara umat beragama
Islam sendiri menganjurkan berbuat baik pada penganut agama lain sepanjang mereka tidak memusuhi dan tidak mengusir dari negerinya bahkan dalam ayat lain dilarang menista sesembahan agama dan kepercayaan lain, seperti ditegaskan dalam QS al-Anam, 108 sebagai berikut: وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. Menurut tafsir ibn Kasir bahwa sesembahan yang dimaksud di sini adalah berhala kafir Quraisy. Sedang asbabun nuzul ayat ini, menurut Abdurrazak ditujukan pada sebagaian orang Islam masa itu yang memaki sesembahan mereka, maka turunlah ayat ini untuk menyatakan pelarangan
Jika sudah terjadi penistaan terhadap agama tertentu, siapa pun dan agama apa pun, menurut yang saya pahami, maka proseslah, tanpa pandang bulu. Itulah yang dicontohkan Nabi, ketika ada seseorang meminta pada beliau agar hukuman diringankan terhadap siterdakwah karena ia termasuk golongan bangsawan wanita dari suku Makhzumiyah. Nabi menegaskan, "Andai Fatimah putri Muhammad mencuri, saya sendiri akan potong tangannya." لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا Wassalan, Makassar, 13 September 2021