Tersiar kabar dua hari lalu, kabar yang menggembirakan sekaligus menggetarkan, Jokowi hendak menuntut yang dituduh menebar fitnah— empat nama, katanya, akan dilaporkan.
Fitnah, bila telah nyata kebenarannya namun dusta tetap dikabarkan, itulah luka pada nurani, dan ilmu membedakan mana asli dan palsu, bukan sekadar alat politik sehari-hari.
Sebagian rakyat bersorak senang, mereka menanti teka-teki ijazah segera terang. Jika dibuka di ruang pengadilan, kebenaran akan muncul, tak bisa ditahan.
Lemari kas yang diam sekian lama, akan dipaksa bicara. Jika benar, pendukungnya bersuka ria, jika palsu, dukanya bisa mengguncang semesta.
Namun, mengapa harus sampai ke meja hakim? Bukankah lebih elegan jika terbuka tanpa tekanan? Tunjukkan ijazah dengan lapang dada— murah, cepat, dan tanpa korban jiwa.
Sebab, yang dipenjara adalah rakyatmu juga, mereka yang mengangkatmu dengan harapan dan cinta. Belajarlah dari Abu Bakar sang bijak, yang selesai perang berkata pada Rasulullah: “Ampunilah mereka— mereka tetap saudaramu, bagian dari keluargamu juga.”
Negarawan berpikir dengan hati, bukan dengan amarah atau gengsi. Seperti Mandela yang memilih jalan kasih, bukan balas dendam yang menyisakan perih.
Jalan terbaik adalah pengampunan, dan kejujuran sebagai penyembuh kebingungan. Itulah seni memimpin: berani terbuka, dan tak menjadikan rakyat sebagai tumbal dusta.
Terima kasih untukmu, sahabat pembimbing, yang menuntunku mengeja kata dan menajamkan makna. Puisi ini kutulis dengan syukur dan harap, agar kebenaran selalu diberi tempat.
Wasalam, Kompleks GPM, 28 April 2025