Gambar ”Kontestasi & Pengambilalihan Takmir Masjid” (16)

Sejak beberapa dekade terakhir, di Indonesia, takmir atau kepengurusan masjid telah menjadi salah satu arena kontestasi dan pintu masuk berbagai ideologi keagamaan ke tengah-tengah masyarakat. Di masa lalu, masjid-masjid pada umumnya dapat diidentifikasi hanya dengan dua jenis afiliasi dan praktik keislaman: tradisional dan reformis (misalnya, kalau bukan masjid NU, atau Aswaja secara umum, ya mungkin itu masjid binaan Muhammadiyah).

Dulu, dengan mudah dikenali, di masjid yang satu jemaahnya berdoa qunut, punya dua azan Jum’at, salat tarawih dua puluh rakaat, basmalah dibaca dengan nyaring, dan seterusnya. Sementara di masjid lainnya, jemaah tidak membaca doa qunut, hanya ada satu azan Jum’at, salat tarawih hanya sejumlah delapan rakaat, basmalah dibaca senyap, dan seterusnya.

Kini, lebih banyak lagi variasi praktik ritual yang dapat ditemukan di masjid-masjid. Hal itu tampaknya seiring dengan semakin banyaknya organisasi keagamaan baru yang seakan berkompetisi menanamkan pengaruhnya kepada umat lewat masjid atau musala. Dalam kasus-kasus tertentu, sejumlah masjid pada awalnya dikelola oleh ormas Islam tradisional atau reformis. Belakangan, anggota takmirnya sudah didominasi oleh anggota ormas-ormas yang baru muncul. 

Sekarang ini, bahkan ada sejumlah istilah populer baru yang muncul terkait dengan masjid. Misalnya, ada istilah “masjid sunnah” dan “masjid non-sunnah”. Masjid jenis kedua ini, menurut kelompok yang suka memberi label bid’ah pada kelompok lainnya, ditandai dengan adanya sejumlah ornamen dan dekorasi seperti kaligrafi, atau aktivitas pengajian dan pemutaran salawat tarhim lewat pelantang suara masjid sebelum azan. Masjid “non-sunnah” juga ditandai dengan doa berjemaah dan saling jabat tangan antarjemaah setelah pelaksanaan setiap salat, dan sebagainya.

Dalam kasus tertentu, ada proses pengambilalihan takmir satu masjid secara perlahan-lahan, yaitu lewat mekanisme musyawarah para jemaah. Ada juga lewat penyediaan imam rawatib dan dai-dai dari kelompok keagamaan baru. Pada akhirnya, takmir masjid awal, yang boleh jadi juga donatur utamanya, tergantikan sama sekali oleh kelompok takmir baru yang justru datang dari luar kawasan sekitar masjid. 

Di masjid atau musala dalam kompleks sejumlah perguruan tinggi, kedua proses pengambilalihan personalia kepengurusan juga sering terjadi. Saya ingat kasus di satu musala di salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar. Pada awalnya, para pengurus terdiri atas mahasiswa lintas afiliasi keagamaan. Karena wawasan keagamaan para pengurus musala ini terbuka dan non-sektarian, maka kajian-kajian Islam dalam berbagai aspeknya di musala itu pun cukup dinamis. Khatib dan pembicara untuk kajian-kajian agama datang dari berbagai latar belakang keilmuan dan paham keagamaan.

Belakangan, melalui mekanisme “demokratis”, kelompok mahasiswa yang berpaham keislaman konservatif dan ekslusif menguasai struktur kepengurusan musala kampus tersebut. Pada akhirnya, baik pengajian maupun kajian-kajiannya kini hanya diwarnai oleh satu jenis paham atau ideologi keagamaan. Para pembicaranya hanya datang dari kelompok mereka secara ekslusif. 

Tema-tema seperti khilafah, bid’ah, jihad, hijrah, anti-Syi'ah, dan sebagainya lebih mewarnai khotbah Jum’at dan ceramah-ceramah di musalah tersebut. Padahal, di masa lalu, tema-temanya mencakup bidang yang lebih luas seperti Islam dan sains, pembaharuan dalam Islam, Islam dan demokrasi, Sufisme dan tantangan modernitas, Islam dan pembebasan kaum tertindas, dan sebagainya.

Anehnya, para jemaah musala, yang umumnya mahasiswa dari fakultas-fakultas keilmuan umum, tidak pernah memprotes "proses senyap" pengambilalihan struktur kepengurusan tersebut. Malahan, mereka kemudian tanpa sadar kepincut dan mengikuti paham yang secara sistematis, terstruktur dan masif disebarkan lewat kegiatan-kegiatan pengajian dan kajian di musala tersebut. Menariknya, unsur pimpinan kampus terkait pun, termasuk sejumlah guru besarnya, belakangan semakin merepresentasikan paham dan praktik keagamaan yang sama. Misalnya, paham Salafi-Wahabi ekstrem dan perlunya penegakan khilafah.

Ringkasnya, lewat kepengurusan masjid, sejumlah kelompok keagamaan baru yang lebih militan dan merasa lebih puritan berupaya memperkenalkan dan menyebarkan paham atau ideologi keislaman mereka. Tidak jarang, terjadi konflik antara jemaah dan pengurus masjid karena perbedaan dalam cara mengelola peribadatan dalam masjid.

Dalam satu hal, pengurus masjid sebenarnya menentukan kualitas praktik ritual dan dakwah Islam di masjid mereka. Pengurus dengan standar dan selera keagamaan ‘rendah’, misalnya, akan menghasilkan praktik ibadah dan penyelenggaraan dakwah berkualitas rendah pula di masjid mereka. Mengapa? Sebab, ibarat sekolah, mereka menentukan kurikulum, konten dan metode pembelajaran dalam masjid terkait.

Sebagai contoh, karena mayoritas pengurus satu masjid lebih menyukai ceramah rekreatif, ketimbang informatif dan ilmiah, maka yang diundang berceramah hanya mubalig-mubalig jenaka. Demikian juga, karena pengurusnya kepincut pada ideologi khilafah atau pada Islam politik (Islamisme), maka daftar khatib Jum’at, mubalig Ramadan, atau mubalig tablig akbar, dan pengajian di masjid tersebut, hanya akan dipenuhi oleh para penganjur sistem khilafah global, Islamisme, anti-pemerintah dan sebagainya.

Lebih jauh, pengurus masjid yang memandang bahwa suara perempuan adalah aurat, dan perjumpaan antar lelaki dan perempuan dalam masjid adalah dosa, maka dalam daftar mubalig Ramadan, misalnya, tak satu pun nama mubaligat (mubalig perempuan) tertera di sana. Begitulah seterusnya. Atau tirai yang memisahkan barisan lelaki dan perempuan dibuat menjadi lebih tebal dan tertutup sama sekali.

Banyak riset telah menemukan, proses ideologisasi kepengurusan masjid dan musala pun sudah mulai terjadi di lingkungan sekolah-sekolah menengah. Terutama lewat lembaga Rohis (kerohanian Islam). Di banyak kasus, yang paling aktif dan tekun dalam memakmurkan musala sekolah adalah kelompok-kelompok Muslim yang cenderung menganut paham keagamaan konservatif, ekslusif, intoleran, bahkan radikal. 

Di pihak lain, kelompok-kelompok aktivis Muslim yang mendaku memiliki pandangan dan paham moderat, terbuka, pluralis, dan toleran justru kini semakin jarang terlihat bersalat jemaah di masjid atau musala. Mereka tampaknya lebih sibuk berdiskusi di cafe-cafe, atau di berbagai platform media sosial, tentang soal-soal organisasi, politik dan isu-isu praktis-pragmatis lainnya.

Bagaimana dengan masjid kampus Anda, atau masjid di kompleks perumahan Anda? []