Awal tahun ini, publik dikejutkan oleh temuan pagar yang membentang sepanjang lebih dari 30 km di bibir utara pantai Provinsi Banten. Keberadaan pagar ini memicu polemik, mengingat sebelumnya tidak pernah terdengar adanya laut yang dipagari oleh pihak swasta. Setelah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan berbagai media, Presiden Prabowo akhirnya memerintahkan pembongkaran pagar tersebut.
Salah satu tokoh yang turut menyuarakan kritik adalah Ustaz Das'ad Latif, seorang penceramah asal Bungi, Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, yang juga akademisi dlm bidang Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin. Selain itu, Ustaz Das'ad juga dikenal sebagai seorang opinion leader atau pemimpin opini dalam masyarakat. Dalam konteks komunikasi politik, opinion leader adalah individu yang memiliki pengaruh signifikan dalam menbentuk opini publik melalui wacana dan pandangan yang disampaikan kepada masyarakat luas.
Sebagai opinion leader, Ustaz Das'ad berperan dalam menyebarluaskan informasi, memberikan interpretasi terhadap isu-isu sosial dan politik, serta membentuk opini masyarakat melalui pendekatan komunikasi. Melalui media sosialnya, ia menyoroti fenomena pemagaran laut ini dengan pendekatan komunikasi politik. Dalam kritiknya, Ustaz Das'ad menyindir bahwa bahkan Fir'aun, meskipun kejam dan mengklaim dirinya sebagai Tuhan, tidak pernah mengkavling Laut Merah.
Pernyataan ini memiliki makna simbolis yang tajam dalam mengkritik kebijakan publik dan ketimpangan akses terhadap sumber daya laut, khusunya bagi para nelayan. Sebagai ulama yang aktif dalam dakwah dan kajian sosial, Ustaz Das'ad Latif menggunakan retorika yang kuat untuk menyoroti kebijakan yang berpotensi merugikan masyarakat kecil. Hal ini mencerminkan peran ulama dalam komunikasi politiksebgai pengingat bagi pemerintah dan masyarakat agar lebih memerhatikan keadilan sosial.
Teori komunikasi politik yang relevan dalam konteks ini adalah Two-Step Flow Theory, yang menjelaskan bagaimana informasi dan opini disebarkan melalui dua tahap. Pertama, informasi dari media massa diterima oleh opinion leader, yang kemudian menginterpretasikan dan menyebarluaskannya kepada masyarakat luas.
Dalam hal ini, Ustaz Das'ad memainkan peran sebagai penghubung antara kebijakan publik dan pemahaman masyarakat, di mana pandangannya dapat memengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap isu tertentu. Selain itu, teori Uses and Gratifications juga relevan, karena masyarakat secara aktif mencari informasi dari figur seperti Ustaz Das'ad untuk memenuhi kebutuhan informasi dan orientasi politik mereka.
Kritik semacam ini penting dalam sistem demokrasi karena dapat membangkitkan kesadaran publik serta mendorong pengambil kebijakan untuk lebih berpihak kepada kepentingan rakyat. Sayangnya, tidak banyak ulama yang berani memainkan peran serupa. Terkait dengan peran komunikasi politik Ustaz Das’ad dalam dakwahnya, terdapat pembahasan lebih lanjut dalam artikel kami yang berjudul "University Students’ Engagement with Ulamas’ Political Messages on Social Media," yang terbit di Jurnal Komunikasi Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 2024.
Permasalahan kepemilikan pantai oleh pihak swasta sebenarnya telah lama menjadi perhatian. Sekitar tahun 2010, dalam sebuah kegiatan akademik di kawasan pantai sekitar Tanjung Bunga, Makassar, saya mendapat informasi bahwa sejauh mata memandang, pantai tersebut telah dimiliki seorang pengusaha. Meskipun kemungkinan besar kepemilikan ini dilakukan secara legal, pertanyaannya adalah: mengapa pantai bisa dimiliki oleh individu?
Di banyak negara, seperti Australia, pantai adalah milik publik yang dapat diakses oleh semua warga negara,bukan hanya kelompok tertentu. Pantai memiliki peran penting dalam ekosistem dan kehidupan manusia. Memang setiap negara memiliki kebijakan yang berbeda dalam pengelolaannya. Australia dan Indonesia, misalnya, memiliki pendekatan yang sangat kontras dalam regulasi pantai.
Di Australia, pantai umumnya dikelola oleh pemerintah negara bagian dengan akses publik yang dijamin oleh hukum. Regulasi di sana menekankan konservasi serta memastikan bahwa masyarakat tetap memiliki akses tanpa hambatan atau peraturan lainnya yang dianggap memberatkan. Jika ada pihak yang ingin memanfaatkan pantai untuk kepentingan tertentu, tetap ada ketentuan yang menjamin hak akses masyarakat umum.
Sebaliknya, di Indonesia, sebagian pantai dapat dimiliki oleh negara, swasta, atau masyarakat adat, tergantung pada status hukumnya. Pemerintah daerah memiliki wewenangdalam pengelolaan, tetapi sering kali akses publik menjadi permasalahan. Banyak panti yang dikembangkan untuk industri pariwisata atau kepentingan komersial oleh pihak swasta, seperti hotel dan restoran, sehingga masyarakat umum tidak dapat mengaksesnya secara bebas. Jika ingin masuk ke kawasan tersebut, pengunjung harus memenuhi persyaratan tertentu atau membeli tiket dengan harga yang relatif mahal.
Pemanfaatan pantai di kedua negara juga menunjukkan perbedaan signifikan. Di Australia, pantai lebih banyak digunakan untuk rekreasi, olahraga, dan konservasi alam. Aktivitas seperti berselancar, berenang, dan berkemah atau piknik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat, dengan fasilitas publik yang disediakan dan dirawat dengan baik oleh pemerintah. Pembangunan komersial di sekitar pantai dikontrol secara ketat untuk menjaga kelestarian lingkungan serta memastikan akses publik tetap terjaga.
Ketika saya berdomisili di Negara Bagian New South Wales, Australia, selama beberapa tahun lalu, kami sekeluarga merasakan kebebasan menikmati pantai dengan pemandangan yang indah tanpa dikenakan biaya masuk. Selain bersih dan tertata, pantai juga dilengkapi dengan fasilitas umum dan penjaga pantai yang sangat responsif.
Suatu ketika, saat komunitas diaspora Indonesia mengadakan acara di sebuah pantai, beberapa petugas pantai membawa seorang anak kecil kepada kami. Anak tersebut, yang merupakan putra seorang mahasiswa asal Ambon Maluku, terlihat berjalan sendirian ke arah laut. Rupanya, petugas keamanan pantai telah mengawasinya dari menara pengawas dan segera mengambil tindakan untuk memastikan keselamatannya.
Kami juga sering berkemah di pantai bersama komunitas KKSS Sydney di berbagai lokasi. Dalam setahun, biasanya kami berkemah hingga tiga kali. Untuk masuk ke lokasi perkemahan memang dikenakan tarif sekitar lima ratus ribu rupiah per malam per tenda, tetapi lokasi perkemahan berada sekitar 200 meter dari pantai. Dengan demikian, akses ke pantai tetap terbuka dan gratis untuk umum. Kami senang ikut berkemah dengan mereka, karena biasanya biaya kami ditanggung oleh pengurus KKSS secara bergantian. Alhamdulillah.
Perbedaan utama dalam pengelolaan pantai antara Australia dan Indonesia terletak pada regulasi, akses publik, dan pemanfaatan sumber daya. Australia lebih menekankan konservasi dan akses publik, sementara Indonesia menghadapi tantangan dalam menyeimbagkan pembangunan ekonomi dengan perlindungan ekosistem pantai.
Oleh itu, dalam artikel ini saya menyarankan agar pemerintah Indonesia mengambil kembali pengelolaan pantai yang saat ini dikuasai oleh pihak swasta atau individu. Jika pun kepemilikan tersebut tetap dipertahankan, akses ke pantai harus tetap terbuka bagi masyarakat umum tanpa dipungut biaya. Wallahu’alam. Wassalam. Bakung – Samata, Gowa, 07 Februari 2025