Gambar ”Komodifikasi Agama lewat Media Televisi” (14)

Di Indonesia, walau pengguna internet semakin besar, televisi masih menjadi medium paling efektif untuk menjangkau dan mempenetrasi konsumen dalam jumlah yang besar dan di semua kalangan. Itu sebabnya, media televisi tetap berperan penting dalam dakwah, hiburan dan kecenderungan komodifikasi (komersialisasi) agama di bulan Ramadan.

Sejak waktu sahur hingga malam hari hampir semua saluran televisi swasta nasional disesaki program khusus Ramadan dalam berbagai segmen: ceramah, sinetron, talk show, stand-up comedy, konser, kontes, dan sebagainya. Setiap program televisi selama Ramadan memang ditujukan menghibur serta menambah pengetahuan dan wawasan kaum Muslim.

Namun, ceramah agama lewat televisi lebih dituntut menyesuaikan diri dengan budaya pop dan tentu saja juga harus punya unsur entertainment. Tidak jarang, ceramah menjadi sekedar sambilan dari program hiburan yang lebih mendominasi tayangan televisi. Para dai televisi (atau biasa disebut “tele-dai”) lebih sering tampil sebagai selebriti, lengkap dengan busana dan aksesorisnya. Media televisi turut pula berperan mengorbitkan dai-dai pemula.

Pada awalnya, mereka hanya tampil sesekali, dalam program keagamaan yang tidak begitu digemari pemirsa. Pada tahap berikutnya mereka menjadi host acara diskusi atau talkshow agama. Ketika sosok mereka semakin dikenal dan digemari pemirsa, mereka pun dibanjiri undangan ceramah di berbagai tempat di luar stasiun televisi.

Dulu butuh waktu lama belajar agama sebelum mendapat pengakuan sebagai ulama dari masyarakat, atau sekedar panggilan ustaz. Kini, siapa pun dengan profesi apa pun dapat sontak terkenal sebagai dai karena dikarbitkan atau diorbitkan oleh media televisi tertentu. Tragisnya, dalam beberapa kasus, dai yang sama meredup bintangnya karena kasus negatif tentangnya di-blow-up besar-besaran lewat televisi.

Berbeda dengan ulama yg memahami kompleksitas dan keragaman masalah agama, dai-dai ‘orbitan’ atau ‘karbitan’ seperti ini kerap terlalu menyederhanakan masalah. Hal itu juga, tentunya, demi memudahkan penerimaan pemirsa yang tidak bisa serius dan lama-lama belajar agama. Atau mereka yang lebih menyukai pandangan keagamaan yang hitam-putih, praktis dan mudah dipahami.

Namun, ceramah dai-dai televisi seperti ini kerap juga memantik kontroversi dan polemik dalam masyarakat. Misalnya karena mereka salah mengucap atau membaca ayat tertentu. Atau karena salah memahami doktrin agama yang sudah diketahui secara luas oleh masyarakat. Tidak jarang, mereka sulit menyembunyikan kedangkalan pengetahuan agama mereka saat terlibat dalam dialog dan tanya jawab dengan pemirsanya secara langsung di studio.
 
Kesemarakan siaran Ramadan lewat programa-programa televisi di Indonesia memang dimungkinkan karena jumlah pemirsa masih cukup besar. Menurut sebuah riset, orang Indonesia dari semua tingkat penghasilan senang sekali menonton TV (rata-rata 4,5 jam per hari). Ini termasuk skor tertinggi di dunia (bandingkan dengan AS: 4 jam dan Inggris: 3,4 jam per hari).

Entahlah, apakah ini yang dimaksud Jim Rohn, “Orang-orang miskin punya televisi besar. Orang-orang kaya punya perpustakaan besar”. Atau sesuai dengan kesimpulan sebuah riset di Universitas Marlyand, AS (2008), bahwa orang-orang yang tidak bahagia lebih banyak menonton televisi. Sementara itu, orang-orang yang menggambarkan diri mereka sebagai sangat bahagia justru menghabiskan lebih banyak waktu dengan membaca dan bersosialita.

Karena kaum Muslim Indonesia masih gemar menghabiskan banyak waktu di depan televisi, mereka pun lebih mudah terpapar oleh ceramah agama para dai pavorit yang rutin muncul di media itu. Padahal, tema dan muatan ceramah-ceramah para dai-televisi (tele-dai) ini cenderung lebih bersifat simplifikatif dan, tidak jarang, bernuansa sektarian dan menekankan satu aspek tertentu saja dari agama. Mereka tidak menjelaskan adanya kompleksitas perbedaan penafsiran dan pemahaman di kalangan ulama atas isu-isu agama yang sedang dibicarakan.

Tentu saja, ada kanal televisi yang menawarkan paket-paket Ramadan dengan segmen talk show, tanya jawab, diskusi dsb, yang menghadirkan ulama atau pakar agama yang otoritatif pada bidangnya. Namun, menurut survei, penggemar atau penonton paket acara televisi yang lebih serius seperti itu sangat kurang.  Mereka pun berasal dari kalangan menengah ke atas secara sosial, ekonomi dan Pendidikan.

Maka menjadi pertanyaan riset yang menantang, sejauh mana kalangan masyarakat Muslim di level akar rumput, yang lebih banyak menghabiskan waktu menonton tv, dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman agama mereka melalui siaran-siaran televisi bernuansa keagamaan selama Ramadan?

Jangan-jangan, mereka malah tambah konsumtif atau daftar keinginan tambah panjang. Kenapa? Ya, karena konten iklan komersial yang mengiringi setiap paket acara Ramadan biasanya selalu mendapatkan segmen atau porsi yang sangat besar.

Bukankah paket program khusus Ramadan di televisi lebih dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan finansial lewat iklan yang menyasar kalangan pemirsa Muslim daripada turut memanfaatkan momentum bulan puasa untuk mencerdaskan dan menyadarkan permirsa tentang ajaran agama mereka yang mulia? []

----------
Diperluas dari Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian 2, #14, h. 69-71.