Perubahan ke arah yang lebih sempurna dan comport berlangsung begitu cepat, terkadang di luar perkiraan. Perubahan itu, ikut mempengaruhi keberagamaan, termasuk hasil sebuah fatwa. Bisakah sebuah fatwa berubah? Dalam sebuah kaidah usul berbunyi, تغير الأحكام بتغيير الزمان والمكان (Perubahan hukum, tergantung perubahan zaman dan tempat.)
Dalam sejarah, Imam Syafii, misalnya, telah mengubah banyak fatwanya yang telah disampaikan di Bagdad setelah beliau pindah ke Mesir. Dia melihat suasana Mesir banyak berbeda dengan kondisi sosial dengan yang dilihatnya saat masih di Bagdad. Sehingga terkenal ungkapan tentang qaul al qadim (fatwa atau pandangan lama) ketika masih di Bagdad dan qaul al jadid (fatwa baru) ketika saat di Mesir.
Salah satu fatwa beliau yang masyhur adalah, "Sebuah transaksi haruslah berlangsung dalam sebuah ruangan yang sama dan saling bertemu secara fisik." Di zaman kini, fatwa tersebut sudah sangat sulit diterapkan di banyak tempat, karena transaksi cukup lewat ATM atau HP. Andai Sang Imam masih hidup sekarang, akan menganulir fatwanya dengan الفتاوى العصرية fatwa di era modern, karena fatwa sebelumnya dianggap tidak relevan lagi.
Tantangan umat Islam masa kini berbeda dengan satu dua generasi lalu, terutama di era kolonial. Para pejuang dahulu dalam usahanya menanamkan semangat juang dan mempercepat proklamasi kemerdekaan. Mereka menanamkan rasa ketidaksenangan kepada semua produk kolonial, maka muncul fatwa tentang diharamkannya pakaian dasi dan pantolan sebab pakaian itu menyerupai pakaian orang kafe (bahasa Aceh). Mereka berdalil pada hadis, من تشبه بقوم فهو منهم. Namun, kondisi sosial sudah berubah. Indonesia sudah 77 tahun merdeka dari kolonial. Saya mengamati para jamaah, termasuk khatibnya sekarang, justru rata-rata pakai pantolan pada salat Jumat di Jakarta dan merambah ke Makassar.
Di sinilah pentingnya setiap muslim menguasai asbab al wurud atau latar belakang sejarah sebuah hadis disampaikan, seperti hadis tasyabbuh, disampaikan ketika Nabi saw. akan melakukan Perang Uhud, salah seorang sahabat bertanya, "Bagaimana aku bisa membedakan mana yang termasuk kaum muslim dan kaum musyrik? Sementara musuh semua terlihat sama dengan pakaian uniform?" tanya seorang sahabat. Dari peristiwa itulah diputuskan untuk memberi tanda pada pakaian para sahabat agar bisa membedakan pasukan meraka dan pasukan lawan. Berangkat dari pertanyaan itu Nabi saw. bersabda, Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut.
Paling merasakan dampak perubahan itu menuju kehidupan yang lebih comport adalah masalah hasil teknologi itu sendiri yang bisa dibaca pada seri berikutnya (bersambung).
Makassar, 1 September 2022 M/5 Safar 1444 H