KHAZANAH SEJARAH:
PENGALAMAN BERINTERAKSI DENGAN HUKAMA
by Ahmad M. Sewang 
 
Prof. Dr. Quraish Shihab, M.A. memiliki organisasi bernama Majlis Hukama se Dunia yang anggota-anggotanya terdiri dari ulama dan pemimpin Islam diberbagai negara Islam. Satu-satunya anggota yang berasal dari Indonesia adalah Prof. Dr. H.M. Quraish Shihab, M.A. Kenapa nama organisasi ini bukan Majlis Ulama, seperti di Indonesia? demikan pertanyaan suatu saat pada beliau. Menurut beliau bahwa Majlis-Hukama, yang setiap tahun bersidang di negara-negara Islam secara bergantian, lebih arif mengambil keputusan dari Majlis Ulama.
 
Saya mengenal baik Prof. Quraish Shihab sejak mahasiswa S1 di Fakultas Adab IAIN Alauddin tahun 1973 sebagai dosen Ahwal al-Sahsiah. Hubungan ini sebatas antara dosen dan mahasiswa yang berlanjut di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 1987. Beliaulah yang mengajarkan pada kami Ulumul Qu'an dan hadis. Hubungan ini tetap terpelihara dengan baik setelah selesai studi S3, terutama setelah saya mendapat amanah sebagai Direktur PPs UIN Alauddin dua periode 2003-2011 beliau dipercaya sebagai dosen penajaman konsentrasi tafsir. Karena banyaknya peminat dari konsentrasi lain, maka semua konsentrasi pun diperbolehkan mengikutinya. Inilah yang membuat hubungan dengan beliau semakin intensif.
 
Ketika DPP IMMIM memerlukan wawasan keilmuan beliau, maka setiap datang mengajar di PPs UIN Alauddin Makassar juga sering dipakai DPP IMMIM, di Unhas dan di UMI. Bahkan terkadang ketiga lembaga ini langsung mengundangnya. Suatu ketika sekitar tahun 2006 beliau datang di Makassar dan bertanya pada saya sebagai mantan aktivis Pengajian Aqsha bahwa saya dahulu pernah di undang untuk memberi kanjian di Aqsha tentang masalah Syiah. Beliau bertanya, "Di mana makalah saya itu? Apa ada yang simpang? Spontan saya jawab. Saya sudah jilid ustaz dan sebentar saya copykan dan nanti malam saya bawakan. Malamnya saya antarkan dan beliau sangat gembira. Lalu saya bercanda pada beliau. Ketika itu, saya memang tidak punya kegiatan, tetapi saya memiliki keterlibatan moral dalam mencintai ilmu pengetahuan sehingga semua makalah saya kumpul dan jilid.
 
Tiga bulan kemudian makalah yang 20 halaman itu sudah menjadi sebuah buku berisikan sekitar 300 halaman. Hasil tulisannya itu disampaikan di Bogor dalam Konferensi Sunni-Syiah pada tahu 2006. Dalam pengantar buku itu beliau tidak lupa menyebut nama saya sebagai tanda terima kasih. Beliau juga mengatakan, "Ada hikmahnya makalah itu pernah hilang dan disimpan oleh Pak Ahmad. Andai kata tidak hilang tidak akan jadi buku sebab kemungkinan akan masuk di buku kumpulan makalah, "Membumikan Al-Qur’an."
 
Kedekatan saya dengan beliau, saya manfaatkan banyak belajar. Perbedaan ulama dan hukama, beliau berkata: "Ulama lebih cendrung pada fikih yang keputusannya biasanya hitam putih. Beda dengan hukama keputusanya lebih bestari yang mampu mengkompromikan pada hal-hal yang kelihatannya berbeda." Sebagai contoh bacalah buku beliau tentang "Sunni-Syiah Bergandengan Taganlah." Sekalipun Sunni-Syiah seakan tidak bisa ketemu, tetapi dengan kepiawian dan kebijakan, beliau bisa mendekatkan kedua aliran ini dengan bagus sekali. Persis sama dengan kearifan almarhum Prof. Dr. Hamka. Saya mengenal beliau karena hampir menjadikannya sebagai objek penelitian S2 saya, sehingga semua bukunya saya kumpulkan. Menurut hasil penelitian bahwa jumlah buku yang beliau tulis 119 buku, di luar tulisannya berserakan di koran dan majalah. Sayang sekali belum semua bukunya itu saya miliki. Sekalipun tidak jadi menelitinya karena ada kebijakan direktur PPs UIN Jakarta bahwa semua mahasiswa yang mencapai nilai tertentu bisa langsung kuliah di S3 tanpa perlu menulis tesis. Karena tidak jadi menulis tesis tersebut, maka saya jadikan buku setelah selesai S3. 
 
Dari buku-bukunya yang saya telaah saya mengetahui bahwa Prof. Hamka bukan sekedar ulama tetapi beliau juga hukama yang mampu mengkompromikan pandangan teologis Mu'tazilah dan Asyariah, pada saat TERTENTU, dengan bagus sekali. Pada saat yang sama banyak orang menganggapnya mustahil. Menurut saya, kita perlu melahirkan banyak hukama seperti ini. Saya setelah mendalami Prof. Quraish Shihab lewat interaksi langsung dan almarhum Prof Dr. Hamka lewat buku-bukunya, maka saya mengambil kesimpulan sementara bahwa para hukamalah yang berpotensi untuk menyatukan umat yang sering konflik hanya karena perbedaan furu'. Ketika Prof. Quraish Shihab memberi testimoni pada H. Fadli Luran, beliau berkata almarhum H. Fadli Luran lebih menonjol sebagai hukama daripada ulama. Beliau berdalih bahwa H. Fadli Luran mampu menyatukan ulama dan umat Islam yang berbeda-beda latar belakang organisasi, sepert NU, Muhammadiyah, PSII dan Perti duduk di satu meja di DPP IMMIM mengurusi masalah keummatan. Mereka bergabung dengan semboyang yang sampai sekarang masih menjadi legacy berharga, "Bersatu dalam Akidah dan Toleransi dalam Firuiyah-Khilafiah".
 
Wasalam,
Makassar, 7 April 2022