Beberapa tahun lewat saya membaca buku yang khusus mencatat kelompok liberal dalam beragama di Indonesia. Buku itu berjudul, "Lima Puluh (50) Tokoh Islam Liberal di Indonesia." Ditulis Budi Handrianto, kelompok liberal itu, dimulai dari almarhum Prof. Mukti Ali, Dawan Raharjo, Alwi Syihab, Azyumardi Azra, Jalaluddin Rakhmat, dan seterusnya. Setelah membaca buku itu saya berasumsi bahwa orang yang dimasukkan ke dalam kelompok liberal karena tidak setuju cara berpikir mereka yang bprogresif. Berpikir progresif disamakan liberal. Di antara yang digolongkan liberal adalah almarhum Dr. K.H. Jalaluddin Rahmat, M.Sc.
Salah satu cara berpikir beliau yang progresif dapat dibaca dalam disertasi beliau. Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. yang dipertahankan secara resmi pada Rapat Senat terbuka di depan Dewan Penguji PPS UIN Alauddin Makassar. Almarhum mengemukakan, ada perbedaan pemahaman sebuah hadis di kalangn ulama konvensional dengan kelompok historian. Namun hakikatnya bertemu di satu muara akhir. Ulama konvensional berangkat dari keyakinan bahwa pada dasarnya hadis itu sebuah sunah yang harus diamalkan, kecuali setelah di takhrij dan hasilnya hadis itu dinyatakan daif. Berbeda dengan kelompok sejarawan pada dasarnya, lebih cenderung menggunakan metode sejarah (historical method), seperti hasil temuan disertasi beliau bahwa para sejarawan berpandangan bahwa semua hadis pada dasarnya diragukan tingkat keakuratannya, kecuali jika hasil penelitian hadis itu menunjukkan tingkat akurasinya atau kesahihannya. Kedua pandangan ini sama-sama ingin menemukan tingkat kesahihan atau akurasi sebuah hadis. Perbedaannya terletak pada titik tolaknya. Ulama hadis bertolak dari keyakinan, sedang kelompok sejarawan bertolak dari keraguan. Tidaklah adil jika menuduh Kang Jalal sebagai kelompok liberal hanya karena perbedaan metodologi. Seharusnya Kang Jalal diapresiasi sebagai ilmuwan yang telah ikut berkontribusi khazanah metodologi ulumul hadis.
Masih ada lagi ciri yang melekat pada diri beliau adalah terbuka pada kebenaran dari mana pun kebenaran itu. Tanpa membedakan perbedaan agama atau faham keagamaan. Tidak heran jika beliau banyak mengutip pendapat Plato, Aristoteles, dan Sokrates, seperti bisa dibaca pada buku ini di bawah sub judul, Jujur dan Adil. Allahuyarham seakan ingin mempraktekkan sabda Nabi saw., الحكمة ضالة المؤمن أنى وجدها فهو أحق الناس بها”، حديث Apalagi sesama muslim sekalipun beda mazhab beliau banyak mengutip dan menyebarkannya. Sementara masih banyak di kalangan kaum muslim sendiri tidak ingin mengutip pendapat dari seorang ulama jika ternyata berbeda mazhab dengannya, apalagi beda agama. Di sinilah bedanya dengan Kang Jalal dan juga sama dengan Imam Syafii, yang mazhabnya mayoritas dianut di Nusantara. Beliau berkata, والله ما ابالى ان يظهر الحق على لسانى او على لسان حصمي Saya tidak peduli, apakah kebenaran itu lahir dari lisanku atau lisan (mazhab) lain.
Wasalam, Makassar, 10 Muharram 1444 H/8 Agustus 2022 M