Gambar KHAZANAH SEJARAH: KEJUJURAN DAN  KESEDERHANAAN  BARLOP

Tulisan yang hampir sama, sudah pernah saya angkat. Sehubungan dengan hari ulang tahun kemerdekaan ke-77, maka saya publish kembali untuk meneladani kesederhanaan para pejuang. Menurut yang saya baca bahwa "Kejujuran, kesederhanaan, dan keadilan merupakan tiga serangkai sikap hidup yang tidak terpisahkan." ("Eerlijkheid, bescheidenheid en rechtvaardigheid zijn een onafscheidelijke triade van levenshoudingen.")

Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H. yang namanya sering disingkat dengan Barlop hidupnya sederhana sejak masih di kampung. Pada hal beliau bisa hidup mewah sebab bapaknya seorang karaeng yang berpunya. Sikap hidup tersebut dibawa sampai diangkat sebagai pejabat Kepala Kejaksaan Sulawesi Selatan. Saat itulah saya berkunjung ke rumah dinas beliau, saya duduk di ruangan tunggu beliau yang terdiri atas kursi kayu yang dicet putih.

Demikian pula kejujuran dan kesederhanaan beliau juga nampak ketika bertugas sebagai Menteri HAM dan Jaksa Agung di Jakarta. Untuk menyaksikan sikap hidup beliau, maka di bawah ini saya kutip kesaksian Abun Sanda, wartawan senior Kompas.
Ketika mengangkat kisah keberanian Barlop, Abun Sanda, bersaksi bahwa salah satu kekagumannya kepada Barlop adalah kejujurannya dan kesederhanaan dalam segala hal. Kisah tentang kesederhanaan Barlop dapat disaksikan pada saat-saat terakhir hidupnya, kata Abun Sanda.

Diceritakan bahwa Barlop pernah “mengeluh” kepada Abu Sanda bahwa beliau punya dua anak "nakal," dia mengambil isi parcel berupa cokelat yang dikirimkan orang lain ke rumah beliau. Sebagai gantinya Barlop berusaha mencari bungkusan coklat tersebut, kemudian ke supermaket untuk mencari gantinya yang sama persis dengan yang dimakan anaknya dan memasukkan kembali ke dalam parcel, lalu parcel tersebut dikembalikan ke pengirimnya. Bagi Lopa parcel merupakan suap terselubung yang tidak pantas diterima.
Sayang sekali sudah lebih dua dekade almarhum pergi meninggalkan kita, tetapi belum tampak tanda-tanda orang yang bisa menggantikannya sebagai penegak keadilan yang memiliki integritas sama dengan almarhum. Apalagi jika mengikuti perkembangan di kejaksaan. Punaki Sirna Mayasari yang bertugas di Kejaksaan Agung RI sebagai garda terdepan penegak keadilan. Justru ia menerima sogokan dari seorang boronan kakap sejumlah 7,2 miliar yang melibatkan pengacaranya dan dua jenderal polisi aktif. Belum lagi korupsi di Jiwasraya 16 miliar oleh Direkturnya sendiri.

Sungguh mengerikan negeri ini, jika saja pagar sudah makan tanaman. Saya sendiri belum paham, tanda-tanda apa yang sedang melanda negeri tercinta ini. Padahal kita sudah memasuki harlah kemerdekaan ke-77. Pertanyaannya, apa benar kita sudah merdeka? Benar, secara phisik kita sudah lepas dari belenggu kolonial, tetapi kita belum bisa menaklukkan diri sendiri, yaitu hawa nafsu yang bercokol dalam diri setiap orang. Di sinilah urgensinya Revolusi Akhlak.

Wasalam,
Makassar, 18 Agustus 2022 M/20 Muharram 1444 H