Gambar K.H. JALALUDDIN RAKHMAT: CAHAYA AKAL DAN KERENDAHAN HATI


Alhamdulillah…

telah kutuntaskan jejak sahabat sejati:

Mayjen (Pur) H.H. Amin Syam yang teguh berdiri,

Husni Djamaluddin yang lantang dalam nurani,

H. Fadli Luran sang pembela umat tanpa pamrih,

dan Prof. Dr. Andi Rasdiyanah—jejak abadi perempuan bersih.


Kini kupalingkan pena dan hati

pada Jalaluddin Rakhmat—ulama cerdas, rendah hati,

yang jejaknya pun ingin kuabadikan,

semoga izin ahli warisnya berikan jalan.


Semua kutulis… lillahi ta‘ala,

bukan karena dunia atau nama.

Hanya karena waktu kini banyak di rumah

dan badan tak setegar dulu menapak langkah.


Pertama kali kami bertemu:

bukan di Tanah Air, bukan pula di forum lembaga,

melainkan di negeri buku dan ilmu: Jerman namanya.

Kala itu beliau menghadiri pameran dunia,

dan sempat singgah ke apartemen kami di Leiden yang sederhana.

Buku Islam Aktual telah lama kubaca,

tapi hari itu, aku membaca jiwanya.


Pertemuan kedua di tanah sendiri,

saat saya menjadi Direktur Pendidikan Kader Ulama berdiri.

Para peserta studi lapangan ke tanah Jawa,

dan salah satu lembaganya: Pesantren Mutahhari yang mulia.


Dalam diskusi hangat di kota Bandung,

jelaslah tampak bening pikirannya yang agung.

Cepat menangkap, tajam menganalisa,

dianugerahi Allah kecerdasan luar biasa.


Aku teringat sabda Rasulullah tercinta:

"Lihatlah siapa yang kau jadikan sahabat setia."

Sejak saat itu kuletakkan niat dan harapan,

agar Jalal menjadi sahabat dalam perjuangan.


Itulah mengapa aku memilih berada di IMMIM,

di Pengajian Aqsha yang penuh cahaya dan azam,

di Paramadina bersama Cak Nur kutemukan makna,

dan di Jakarta, kujalin tali ukhuwah yang nyata.


Ketika dipercaya memimpin Pascasarjana UIN Alauddin,

kupanggil Prof. Quraish Shihab, pakar tafsir nan arif bijaksana,

dan kuajak pula Jalaluddin Rakhmat bergabung bersama,

untuk kuliah by riset di samping memberi kuliah, sebuah amanah mulia.


Alhamdulillah… beliau setu

kata Prof. Nasaruddin Umar,

itu mengangkat nama Alauddin ke langit yang lebih luhur.


Dalam sambutan penerimaan yang tak kulupa,

aku katakan: syarat mahasiswa diterima by riset menguasai dua bahasa:

Bahasa Arab atau Inggris—cukup satu saja.

Namun Jalal menguasai keduanya, bahkan melampauinya dengan karya.


Ilmunya sudah mengakar dan mendalam,

hanya negeri ini butuh secarik pengesahan.

Ijazah hanyalah SIM, bukan ukuran utama,

tapi harus ada… agar jalanmu tetap sah dan bernama.


Kini Jalal telah tiada…

tapi ruh dan ilmunya tetap menjelma.

Dalam buku, di mimbar, dan dalam dada,

ia tetap hidup, menyala di cakrawala.


Wasalam,

Kompleks GFM,  3 Juli 202