Di era keterbukaan dan percepatan informasi seperti sekarang ini, segala sesuatu memang dituntut serbacepat. Jika dulu kita terbiasa dengan pepatah, "biar lambat asal selamat," kini sudah dianggap ketinggalan zaman. Ungkapan tersebut telah berganti menjadi "cepat dan selamat," sebagai refleksi dari kebutuhan dan tantangan zaman.
Kita menyaksikan sendiri bagaimana sebuah isu yang ditunda penyelesaiannya bisa berkembang menjadi lebih kompleks. Lihat saja kasus yang sedang hangat belakangan ini: polemik seputar ijazah. Bila tidak segera ditangani dengan kebesaran hati dari kedua belah pihak, isu ini bisa terus bergulir liar, melibatkan lebih banyak orang, dan bahkan berpotensi menciptakan kegaduhan sosial yang tidak diinginkan.
Apalagi, pihak-pihak yang terlibat adalah tokoh penting bangsa ini. Salah satunya bahkan mantan presiden. Maka, sudah sepatutnya penyelesaian dilakukan secara arif, terbuka, dan segera—bukan ditunda-tunda, apalagi dibiarkan menjadi bola liar.
Seorang pengamat bahkan menyebut bahwa jika masalah ini terus dibiarkan mengikuti ego masing-masing pihak, bukan tidak mungkin akan memicu konflik horizontal, yang bisa bermula dari daerah sensitif seperti Yogyakarta. Tentu kita tidak rela bangsa ini terjebak dalam konflik yang hanya akan merugikan semua pihak.
Meskipun ada upaya untuk mengecilkan persoalan ini, kenyataan di lapangan justru menunjukkan sebaliknya: semakin riuh, terbuka, dan berani. Saya sendiri baru saja menghadiri konser Koes Plus secara langsung, yang mengusung tema nyentrik: "Ijazah Palsu, Raja Penipu." Dalam pertunjukan tersebut, bahkan ditampilkan tokoh-tokoh seperti mantan Presiden J** dan Ibu I** yang ikut berjoget—entah bagaimana teknisnya, apakah semacam parodi atau AI-generated show. Maksudnya mungkin ingin mencairkan suasana, tetapi kenyataannya justru menambah riuh dan membuat masyarakat semakin berani bersuara secara terbuka.
Benarlah apa yang dikatakan Slamet Ginting, pengamat politik dari Universitas Nasional: persoalan ijazah ini ibarat air bah yang sudah tak bisa dibendung. Apa pun hasil penyelidikannya nanti, semua pihak akan terkena dampaknya. Jika terbukti asli, bisa jadi banyak pihak akan malu dan kehilangan muka. Tapi jika ternyata palsu, konsekuensinya bisa sangat besar—hingga pada wacana pengasingan diri atau permintaan suaka ke luar negeri, misalnya ke negeri China.
Singkatnya, ketika jalan kompromi makin sulit ditemukan, maka diperlukan keberanian untuk menanggung segala risikonya. Namun tetap, harapan kita sebagai rakyat biasa adalah penyelesaian yang adil, damai, dan tidak mencederai akal sehat publik.
Wasalam, Kompleks GPM, 19 April 2025