Gambar “Kemeriahan Ramadan di Negeri Kanguru” (22)

Setelah agama Kristen, warga Muslim merupakan kelompok agama terbesar kedua di Australia, meskipun prosentasenya relatif kecil. Menurut sensus 2016, jumlah Muslim di negeri kangguru itu mencapai 604.200 jiwa atau 2.6 persen dari 23,5 juta jumlah penduduk Australia.

Warga Muslim terdiri atas suku asli Australia, imigran dari Libanon, Turki, Afghanistan dan Bosnia-Herzegovina. Ada juga dari Pakistan, Indonesia, Iraq, Bangladesh, Iran, Fiji, dan lainnya. Imigran Muslim dari beberapa negara di Timur Tengah cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Komunitas terbesar Muslim umumnya tinggal di dan sekitar kawasan Sydney dan Melbourne, dua kota terbesar di Australia. Di kedua kota itu dapat dijumpai beberapa masjid yang dibangun oleh umumnya kaum imigran, terutama dari Timur Tengah.

Di Lakemba, satu wilayah pinggiran kota yang berpenduduk mayoritas Muslim di dekat kota Sydney, terdapat masjid terbesar di Australia saat ini. Namanya Masjid Ali bin Abi Thalib. Ia dibangun oleh warga imigran asal Libanon.

Selama empat tahun di Australia, saya bersama keluarga tinggal di Canberra, ibukota Australia. Kota yang relatif "sunyi" ini berkali-kali meraih prestasi sebagai salah satu di antara “kota paling layak huni di dunia” ini. Australian National University (disingkat ANU), kampus tempat saya kuliah S3 bidang Antropologi selama empat tahun, memang berlokasi di kota tersebut. ANU sendiri selama bertahun-tahun menduduki peringkat universitas terbaik di Australia. Secara global, ANU berada di posisi antara urutan 30 dan 50 universitas terbaik dunia.

Dalam sensus tahun 2016, di antara 390.000 penduduk kota Canberra, yang menganut Islam mencakup 2.0%. Selebihnya adalah berbagai denomenasi agama Kristen dan Protestan serta Buddha. Yang menarik, dalam sensus itu ada 28 persen warga ibukota yang mengaku tidak menganut agama apa pun.

Di masa saya kuliah (2011-2015), hanya ada dua masjid di Canberra untuk ditempati salat Jum’at, yaitu Masjid Canberra dan Masjid Gungahlin. Masjid pertama berlokasi di Yarralumla, kawasan selatan kota di mana terdapat gedung-gedung kedutaan besar negara-negara sahabat Australia.

Ruang dalam masjid hanya bisa menampung sekitar 300-an jemaah. Makanya, pada setiap pelaksanaan salat Jum’at, sebagian jemaah harus bersalat di teras belakang dan emperan luar di sisi kanan masjid yang sudah dipasangi tenda secara permanen.

Selain di masjid, warga Muslim bisa juga salat Jum’at di beberapa titik di ibukota. Misalnya di gedung pusat kegiatan olah raga (sport centre) di kampus ANU dan di aula sewaan di satu gedung di pusat kota.

Di awal 2018, saat kami sudah kembali ke tanah air,  berdiri satu masjid baru yang bernama Masjid Ahmad Al Sabah dan sekaligus Pusat Pendidikan Islam. Lokasinya di satu kawasan di pinggiran kota Canberra. Kini, masjid ini malah menjadi yang terbesar di Canberra. Ini menunjukkan bahwa jumlah warga Muslim di ibukota Australia itu bertumbuh semakin cepat dan signifikan.

Satu kelebihan berkuliah di ibukota negara sahabat adalah bahwa kita bisa selalu diundang ke acara-acara di gedung kantor kedutaan besar kita. Kedubes kita di Canberra termasuk sangat aktif mengadakan acara kumpul-kumpul dengan seluruh warga Indonesia di ibukota, baik di rumah dinas Duta Besar maupun di gedung kedutaan. 

Acara kumpul-kumpul, yang disusul dengan makan-makan khas menu nusantara, biasanya juga dikaitkan dengan peringatan hari-hari besar nasional dan hari-hari besar Islam di Indonesia. Dalam acara seperti itu, yang cukup sering diadakan, seluruh mahasiswa dan warga Indonesia lintas suku, agama, ormas, disiplin keilmuan dsb, dapat saling mengenal dan bergaul dengan akrab, riang dan gembira.

Di antara agenda rutin kedutaan adalah menjadi host acara buka puasa bersama dan salat tarawih di bulan Ramadan. Diadakan minimal empat kali, pada setiap akhir pekan. Kedutaan juga menjadi host bagi pelaksanaan salat idulfitri dan iduladha. Setelah pelaksanaan kedua salat itu, disusul dengan acara halal-bi-halal yang tentu saja lengkap dengan penyajian menu makanan besar dan variatif. 

Selama kuliah di ANU, saya punya jadwal rutin berceramah tarawih di Kedubes. Pernah juga sekali menyampaikan khotbah Idulfitri yang waktu diadakan di lahan parkiran gedung kedutaan yang memang cukup luas. 

Selain di gedung kedutaan, warga Muslim Indonesia di Canberra juga punya beberapa kelompok pengajian sesuai afiliasi ormas keagamaan dan profesi masing-masing anggotanya di tanah air. 

Mereka punya jadwal pengajian rutin dari rumah ke rumah, khataman Al-Qur’an, penggalangan dana, dan piknik keluarga di dalam dan luar kota. Di bulan Ramadan, kelompok pengajian ini rutin melakukan kegiatan berbuka puasa bersama dan tarawih keliling. Di sini pun, saya beberapa kali membawakan ceramah pengajian dan ceramah Ramadan.

Seperti sudah diulas di dua tulisan sebelumnya, saat dua kali berkuliah S2 saya dan keluarga tinggal di dua negara yang berada benua Amerika, di dekat kutub utara. Nah, saat kuliah S3 kami tinggal di negara benua yang dekat dengan kutub selatan. Ketiga negara tersebut mengalami empat musim: semi, gugur, dingin, dan panas. 

Sebuah kesyukuran, selama empat tahun lebih tinggal bersama keluarga di Australia, Ramadan jatuh di musim dingin juga. Dengan kata lain, giliran belahan bumi bagian selatan yang mendapatkan cuaca dingin yang bertepatan dengan bulan Ramadan selama beberapa tahun. 

Persis seperti saat saya dan keluarga tinggal di belahan bumi bagian utara, di Halifax, Kanada, sepuluh tahun sebelumnya (1999-2001) dan di Philadelphia, AS, tujuh tahun sebelumnya (2003-2005). Itulah sebabnya, waktu imsak rata-rata jatuh pada pukul 6:00 pagi dan waktu berbuka pada pukul 17:50 sore. Waktu berpuasa di Canberra di musim dingin hanya sekitar 11-12 jam. 

Dan seperti di dua kota di Amerika Utara yang sudah diceritakan sebelumnya, di Canberra pun tidak terlihat dan terasa nuansa Ramadan sama sekali. Apalagi jika berharap mendengar suara azan atau sirene tanda berbuka puasa dari sepeker masjid. 

Syukurnya, ada siaran radio khusus tentang Ramadan dari satu stasiun radio swasta milik satu lembaga yang didirikan oleh imigran dari Timur Tengah. Lewat siaran radio tersebut, kita dapat mendengarkan pembacaan Al-Qur'an, doa, salawat, dan ceramah agama dalam bahasa Inggris.

Hanya saja, cuaca dingin yang menusuk tulang di subuh hari membuat upaya bangun makan sahur merupakan sebuah tantangan yang cukup berat. Titik cuaca terendah di Canberra saat musim dingin bisa menyentuh 5 derajat di bawah titik beku (-5 C). Brrrr.. Cuaca seperti itu masih terlalu dingin dan menyiksa untuk ukuran orang Indonesia seperti saya, yang sepanjang tahun menikmati cuaca panas sekisar 28-34 derajat Celcius di tanah air. []