Gambar KEMBALI PADA PENULISAN PUISI HUSNI DJAMALUDDIN.

Sekarang kita kembali ke awal mula, yaitu penulisan sahabat dan guru, Husni Djamaluddin. Beberapa hari terakhir diintrupsi Oleh Harlah  atau milad saya yang menyita waktu beberapa hari.

Dalam penulisan ini terdiri atas dua bagian.

1. Bagian pertama dalam bentuk prosa dan sudah terbit.

2. Bagian kedua dalam bentuk puisi yang sementara dalam proses penulisan. Bagian ini penulis memberikan nilai plus, yaitu:

a. Latar sejarah atau asbab muzul dalam timbulnya ide setiap penulisan puisi dalam bentuk prosa agar pembaca lebih mudah menngkap latar sejarah setiap puisi,

b. Substansi yang ditulis dalam bentuk puiiei.


GENERASI KINI HARUS LEBIH BAIK DARI GENERASI SEBELUMNYA

(Puisi Refleksi – Pesan Husni Djamaluddin)

oleh Ahmad M. Sewang


Latar sejarah.

Puisi ini ditulis dengan latar sejarah setelah selesai : memberi kuliah umum di

 pesantren, Husni Djamaluddin berkunjung ke rumah paman KH Ismail. Kesempatan itu, sesuai bidang keahlian saya sebagai sejarawan, kumanfaatkan menceritrakan sejarah perkembangan paham keagamaan di Pambusuag.


Di Kampung Pambusuang yang berpasir laut,

Islam mula-mula berlabuh dalam wajah konservatif.

Tahun-tahun kemudian,

sekitar 1942, angin Muhammadiyah pun datang,

membawa tafsir baru yang mengetuk pintu-pintu hati.


Namun kala itu, pintu masih rapat terkunci.

Annangguru Hawu—Imam Masjid Jami’—

menyambut kedatangan K.H. Zainal Abidin,

khatib Jumat dari Majene,

dengan pidato dalam kalindaqdaq yang berderap seperti ombak:


> Polei Muhammadiyah,

namma rusak agama,

nasiturui,

maradianna sara’.


> Mokai tia marola,

imam di Pambusuang.

Apa’ tania,

agama Nabitta.


Syair itu menuding:

Muhammadiyah merusak agama,

bekerja sama dengan raja dalam urusan sara’,

dan Imam Pambusuang takkan menyerah,

karena ajaran Nabi tak seperti itu adanya.


Begitulah,

di masa itu perbedaan adalah jurang,

dan tali persaudaraan terputus oleh tafsir yang tak sama.

Bahkan pamanku, K.H. Muhammad Yasin al-Mandary,

memilih hijrah ke Mekkah karena perselisihan yang tak terjembatani tentang perbedaan masalah tarekat. Keduanya sama-sama berpaham konservatif.


Namun waktu seorang guru 

mengajarkan sebuah hukum budaya:

“Satu-satunya yang tak berubah adalah perubahan itu sendiri.”

Dalam QS ar Rahman 55: 26,


(Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Kecuali wajah Tuhan-Mu Pemilik Keagunan dan Kemuliaan.)


Keturunan yang dulu berselisih di Pambusuang kini sudah saling kawin mawin,

anak mudah di Pambusuang yang pulang dari perantauan studi

membawa pandangan baru yang lebih terbuka.


Bertahun-tahun kemudian,

aku bertemu kembali K.H. Zainal Abidin di Polewali.

Rambutnya sudah memutih,

tapi jabatannya masih Kepala Departemen Agama,

dan dosen di Sekolah Persiapan IAIN cabang Polmas.


Kini sudah tidak kentara lagi garis pemisah yang menghunus,

pengikut Muhammadiyah bukan lagi “di luar Islam”,

mereka adalah saudara seiman—

bahkan mungkin lebih baik,

dalam menjaga tuntunan agama.


Beliau bercerita kembali tentang peristiwa di Masjid Jami’,

sementara aku, yang dianggapnya fasih berbahasa Arab,

diberinya amanah mengajar mahfuzat, diangkat jadi asistenya.

Di situlah pandanganku berubah:

musuh lama telah menjadi sahabat

dalam mencari kebenaran.


Di malam hari,

di ruang tamu Paman K.H. Ismail,

aku dan Husni Djamaluddin berbincang. 

Ia menyimak, lalu berkata pelan tapi tegas:


"Generasi kini harus lebih baik dari generasi terdahulu,

dan generasi masa depan harus lebih baik dari generasi kini.

Belajarlah dari sejarah—

hindari yang buruk, lanjutkan yang baik."


Pesan itu mengendap di dadaku,

menjadi kompas untuk berjalan ke depan:

bahwa perbedaan bukanlah pedang,

tetapi jembatan untuk menyeberang,

menuju hari esok yang lebih teduh daripada kemarin.


Wassalam,

Kompleks GPM, 14 Agustus 2025