Gambar ”KELINCI PERCOBAAN: Ketika Harga Diri Dijadikan Eksperimen Kepentingan”

Pernahkah kita merasa seperti alat uji?, Seperti manusia yang dipakai, tapi tak pernah benar-benar dihargai?


Pernahkah kita dijadikan dalih, tapi tak pernah dilibatkan dalam keputusan?


Apakah kita sedang berjuang untuk kebenaran, atau sekadar menuruti skenario yang disiapkan oleh kepentingan?


Apakah suara kita sungguh didengar, atau hanya ditoleransi demi menjaga narasi?


Apakah kita sedang berjalan di atas rel yang kita pilih, atau hanya mengikuti jalur yang diciptakan oleh mereka yang menganggap kita tak lebih dari “kelinci percobaan” dalam laboratorium kekuasaan, eksperimen sosial, atau manipulasi sistemik?


Dan yang paling getir dan membahayakan, Pernahkah kita tanpa sadar menjadikan orang lain sebagai kelinci percobaan dalam drama ambisi kita sendiri?


Kelinci Percobaan: Antara Kesadaran dan Kehilangan Kendali


Istilah kelinci percobaan tak hanya milik dunia sains. Ia telah merayap dalam dinamika sosial, politik, pendidikan, bahkan dalam ranah spiritual.


Manusia kerap dijadikan subjek uji coba oleh sistem yang seolah bijak namun sebenarnya penuh rekayasa.


Kita diuji oleh sistem yang mengukur keberhasilan dari angka, bukan dari jiwa.

Diuji oleh pemimpin yang menuntut loyalitas, tapi abai pada moralitas.


Diuji oleh masyarakat yang gemar memaksa untuk seragam, lalu mencela yang berbeda.


Dan parahnya, kadang kita ikut dalam eksperimen itu tanpa sadar, menjadi pelaku dan korban sekaligus.


Allah SAW.  menegaskan bahwa manusia tidak diciptakan untuk dijadikan alat mainan atau eksperimen kekuasaan siapa pun.

Mereka diciptakan dengan tujuan, bukan untuk dijadikan objek pelampiasan.

﴿ أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ ﴾

“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian secara sia-sia, dan bahwa kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?”

(QS. Al-Mu’minun: 115)


Kata عبثا (Sia-sia) adalah teguran Allah SWT.  agar kita tak membiarkan diri dijadikan alat bagi kesia-siaan orang lain.


Ketika manusia dijadikan objek uji coba oleh kebijakan yang tak memanusiakan, maka sebenarnya ia sedang diperlakukan  secara sia-sia (عبثا) ,bukan sebagai makhluk Allah  yang bermartabat.


Rasulullah SAW. tidak pernah menjadikan manusia sebagai bahan eksperimen yang merendahkan.


Bahkan dalam hal dakwah pun, beliau memperhatikan kondisi jiwa dan kapasitas umatnya:

“إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ"

“Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang memaksakan agama ini melainkan ia akan dikalahkan olehnya.”

(HR. Bukhari)


Maka ketika agama yang seharusnya membebaskan, justru dijadikan alat eksperimen radikalisme atau formalitas struktural belaka, maka sejatinya kita telah memunggungi semangat Islam itu sendiri.


Khalifah Umar bin Khattab RA. pernah berkata:

“مَنْ بَدَا لَنَا بِبِدْعَتِهِ، ضَرَبْنَاهُ بِالسَّيْفِ"

“Barang siapa menampakkan bid’ah (ajaran menyimpang) kepada kami, akan kami hukum dengan pedang.” (HR. Al-Laalika’i)


Ini bukan soal kekerasan, tapi ketegasan bahwa manusia tidak boleh dijadikan kelinci percobaan oleh ideologi yang tidak jelas asal dan arah tujuannya.


Imam Malik rahimahullah berkata:

“السُّنَّةُ مِثْلُ سَفِينَةِ نُوحٍ، مَنْ رَكِبَهَا نَجَا وَمَنْ تَخَلَّفَ عَنْهَا غَرِقَ"

“Sunnah itu seperti bahtera Nuh. Siapa yang menaikinya, ia selamat. Siapa yang meninggalkannya, ia tenggelam.”(al-I’tisham, Imam Asy-Syathibi)


Maka ketika umat ini dijadikan kelinci percobaan oleh modernisme tanpa fondasi spiritual, atau pendidikan dijadikan wahana uji kebijakan yang tak berorientasi pada akhlak, maka manusia digiring bukan pada keselamatan, tapi pada tenggelamnya peradaban.


Dimensi Filosofis: Kelinci Percobaan Adalah Simbol Ketimpangan Nalar


Filosof eksistensialis Albert Camus menulis bahwa:

“Penderitaan manusia terjadi bukan karena manusia tidak tahu, tetapi karena manusia membiarkan dirinya tidak tahu."


Ketika seseorang sadar sedang dijadikan alat eksperimen, namun tetap diam dan mengikuti, itulah tragedi filosofis tertinggi, ketika kesadaran dikorbankan demi kenyamanan palsu.


Imam Al-Ghazali menulis dalam Ihya Ulumuddin:

“من لم يعرف نفسه فهو جاهل، ومن جهل نفسه فهو أجهل بربه"

"Barang siapa tidak mengenal dirinya, maka ia adalah orang bodoh. Dan barang siapa bodoh tentang dirinya, maka ia lebih bodoh lagi tentang Rabb-nya."


Maka ketika kita tidak sadar sedang dijadikan bahan percobaan sosial, politik, atau agama, kita telah kehilangan pengetahuan paling hakiki, tentang siapa kita sebenarnya.


Realitas Sosial: Di Mana Keadilan Jika Rakyat Dijadikan Bahan Uji?


Kita menyaksikan kurikulum pendidikan berganti tanpa sempat matang.


Rakyat dijadikan subjek kebijakan tanpa ruang partisipasi.

Pekerja, pelajar, bahkan warga sipil dijadikan medan eksperimen bagi janji-janji palsu pembangunan dan proyek kekuasaan.


Semua atas nama “demi kebaikan”, padahal kebaikan siapa yang dimaksud?


Bukankah ini bentuk penipuan yang paling sistematis?


Solusi: Menghentikan Rantai Eksperimen Tak Bermoral


1. Bangkitkan Kesadaran Spiritual: Sadari bahwa setiap manusia adalah amanah dari Allah, bukan alat politik atau ego siapa pun.

“وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ"

“Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.”

(QS. Al-Isra: 70)


2. Berani Menolak Ketidakadilan:

Suara hati harus lebih keras dari suara sistem.


Jangan biarkan jiwa dijinakkan oleh rutinitas yang zalim.


3. Kritis Terhadap Narasi dan Sistem:


Tidak semua kebijakan lahir dari niat baik. Gunakan akal, jangan pasrah. Bukankah Allah SWT. berfirman:

“وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ"

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui (kebenarannya).” (QS. Al-Isra: 36)


4. Jangan Jadikan Orang Lain sebagai Eksperimen Emosimu:

Dalam relasi pribadi, berhentilah memperlakukan orang sebagai kelinci untuk menguji kesabaran, cinta, atau keikhlasan mereka.


Bukan Kelinci, Tapi Cahaya Kehidupan


Wahai jiwa yang pernah dijadikan kelinci oleh sistem,


Wahai hati yang pernah jadi alat percobaan cinta palsu,


Wahai akal yang pernah dijinakkan oleh narasi yang membius.


Bangkitlah. Engkau bukan objek. Engkau adalah subjek sejarah.


Engkau bukan eksperimen. Engkau adalah manusia dengan kehendak, harga diri, dan misi ilahi.


Letakkan beban sebagai bahan uji.

Genggam pena sebagai penentu arah hidupmu. Karena manusia bukan makhluk yang dicipta untuk dibohongi atau dipakai,

Tapi untuk dimuliakan oleh kebenaran dan kebebasan berpikir.


Dan pada akhirnya mari kita bermunajat samberi mengangkat kedua tangan kita agar kita terpelihara dari tangan-tangan yang berusaha mengekspoiti atau menjadikan kita sebagai kelinci percobaan.


اللَّهُمَّ أَحْيِ قُلُوبَنَا بِالْحَقِّ، وَنَوِّرْ عُقُولَنَا بِالْبَصِيرَةِ، وَثَبِّتْ خُطَانَا عَلَى طَرِيقِ الْكَرَامَةِ، وَلَا تَجْعَلْنَا أَدَوَاتٍ فِي يَدِ الظَّالِمِينَ، وَلَا أَهْدَافًا لِتَجَارِبِ الْمُتَكَبِّرِينَ.


“Ya Allah, hidupkan hati kami dengan kebenaran, terangilah akal kami dengan kebijaksanaan. Teguhkan langkah kami di jalan kemuliaan. Jangan jadikan kami alat di tangan orang-orang zalim, atau sasaran percobaan bagi kaum angkuh.”


#Wallahu A’lam bis-Shawab