Gambar KEBHINNEKAAN: SUNATULLAH (Terinspirasi dari pemikiran Buya Syafii Maarif, 16 November 2015)


Wahyu diturunkan dalam rupa-rupa,
ada yang terang benderang—muhkamat namanya,
ada pula yang kabur dalam makna— atau mutasyabihat,
mengajak tafsir, membuka ruang ijtihad.

Jika Allah berkehendaki keseragaman,
cukup satu ayat qath’i disematkan,
tak perlu perbedaan,
tak perlu silang pendapat.

Namun justru dalam kebhinnekaan,
tersimpan hikmah dan pelajaran,
agar umat belajar mendengar,
dan saling berlomba dalam kebaikan.

Tanpa warna, hidup akan beku,
semua datar, semua satu,
tiada rupa, tiada nuansa,
dan kebaikan pun kehilangan makna.

Polisi tak tahu lagi
mana yang jahat, mana yang suci,
jika dunia hanya satu corak,
takkan tampak siapa yang layak.

Maka, perbedaan adalah rahmat, 
Itulah yang diwasiatkan, H. Fadli Luran pada saya.
Perbedaan sunnah Tuhan yang syarat makna,
simbol kekuasaan-Nya yang Maha Luas,
agar kita saling merengkuh,
dalam cinta, bukan caci.

Wasalam,
Kompleks GPM, 13 Juni 2025
---

Puisi itu saya bajakan di depan Buya Syafii Maarif  dan kebetulan pula bersamaan Muktamar Muhammadiyah yang di tempatkan di Makassar. Sebagai PR I, saya diminta Rektor UIN Aluddin  untuk mewakilinya. Yang terjadi bukan sekedar sambutan juga membacakan puisi di atas. 

Turun dari mimbar saya ketemu Buya di kaki mimbar yang akan naik memberi sambutan selanjutnya atas peluncuran bukunya. 
Beliau pun merangkul dan membisikkan
Di Rusia ada sebuah pertempuran didamaikan
Dengan sebuah puisi

Sejak itu, aku mencarinya untuk bertanya tentang penyair Rusia itu. Justru yang datang  adalah berita duka bahwa Buya telah dipanggil Tuhan kehadirat-Nya. Untung ada Prof. Tajuddin Amri, alumni al Azhar, yang bisa menjawabnya setelah secara terbuka menyampaikan keluhan atas wafatnya Buya.  Saya tertarik pada tulisan Amri karena memiliki persamaan dengan bisikan Buya. Walau berbeda lokasi, tetapi memiliki persamaan:
"Mencairkan hati yang beku.^

Prof. Amri Tajuddin menjawab bisikan itu,
menerang kisah dari padang pasir nan berdebu,
tentang puisi penyatu dua suku,
tentang Antarah ibn Shaddad dan Labid ibn Rabiah,
penyair yang meredam dendam
dengan keindahan kata dan makna.

Mereka,
para penyair pra-Islam
yang tak hanya menggubah syair,
tapi menggugah jiwa-jiwa yang hampir terbelah.

Kini aku tahu,
mengapa Buya tersenyum
di antara derai bait dan doa.
Ternyata, ia tengah menunjukkan jalan,
bahwa dalam puisi
ada kekuatan
yang melebihi kekerasan.
Yang mampu memeluk luka,
dan menjahit bangsa
dengan benang bahasa.

Maka biarlah puisi ini
menjadi ikhtiar kecil
dalam meneruskan wasiat batin Buya,
bahwa kata yang jujur
bisa lebih tajam dari senjata,
dan keindahan bisa lebih bijak dari kuasa.

Wassalam,
Makassar, 13 Juni 202