Gambar KEAKRABAN YANG MENEMBUS BATAS Ode untuk Buya Hamka dan H. Fadli Luran


Di Makassar, kala Buya berkunjung,
bukan hotel yang jadi pelabuhan sunyi,
tapi rumah sahabat sejati:
H. Fadli Luran, di Lanto Dg Pasewang,
tempat pertemuan hati lebih dari sekadar tamu dan tuan.

Pagi Sabtu, 14 Mei enam puluh empat,
Buya diantar, langkahnya mantap
ke gedung NU di Jalan Irian,
bersua dengan para ulama dan tokoh Sulawesi Selatan.

Sebelumnya,
Buya telah bersua warga Muhammadiyah,
sebagai anak Kauman yang akrab dengan risalah.
Kini ia disambut pula di pelataran NU
dengan peluk hangat kekeluargaan,
karena iman tak mengenal sekat:
“Sungguh, orang beriman itu bersaudara...”
(Q.S. Al-Hujurat: 10)

Drs. Minhajuddin Zain,
putra Soppeng,
lulusan Yogyakarta—
yang semasa muda bersinggungan
dengan denyut dakwah Muhammadiyah,
menyambut dengan semangat ukhuwwah
dan panji Harlah ke-40 NU pun berkibar di pelataran cahaya.

Fadli Luran,
pengusaha berjiwa ummah,
membuka forum dengan keteduhan kata,
menyulam maksud silaturahmi
dalam rajutan ukhuwah islamiyah,
demi menjaga ukhuwah wathaniyah
di negeri yang luka oleh G30S.

Buya Hamka:
ulama yang menembus batas,
berasal dari Kauman,
tapi tak membatasi tangan untuk menggenggam.
Disebutnya satu per satu:
KH. Wahid Hasyim, KH. Wahab Hasbullah,
KH. Idham Khalid, KH. Ahmad Syaikhu...
karena bagi Buya, ukhuwah tak mengenal madzhab dan sekat.

Di mata Abdurrahman Wahid,
Hamka bukan sekadar ustaz mimbar,
ia jembatan budaya dan nilai luhur,
penganyam adat dan syariat
di ranah Minang yang berseni dan bermartabat.

Hamka, tulis Gus Dur,
sejajar dengan Bung Karno:
yang satu penyambung lidah rakyat,
yang lain penyambung kalbu umat.

Begitulah jejak dua sahabat—Buya Hamka dan Fadli Luran—yang melampaui ruang dan golongan,
dalam sejarah yang semestinya
terus kita rawat dan kenang.

Wasalam,
Kompleks GFM, 15 Mei 2025