Gambar ”KATAK DALAM TEMPURUNG: Antara Kebebasan yang Dibungkam dan Jiwa yang Terkungkung”


Pernahkah kita berhenti sejenak, menutup mata, lalu bertanya kepada diri sendiri, apakah aku benar-benar hidup sesuai pilihan nurani, ataukah sekadar menjadi bidak yang digerakkan sistem dan kekuasaan? 


Pernahkah kita merasa bahwa suara hati kita hanyalah gema di ruang kosong, tak terdengar oleh dunia yang sibuk dengan aturan-aturan dan kepentingan yang dibuat untuk membelenggu, bukan membebaskan? 


Mengapa banyak di antara kita lebih memilih bertahan di jalan aman, meski sempit dan sesak, daripada berani menembus dinding keterbatasan menuju luasnya cakrawala kebebasan? 


Bukankah Allah menciptakan manusia untuk berpikir, memilih, dan menentukan jalan hidupnya dengan merdeka, bukan sekadar mengikuti arus tanpa arah? 


Apakah kita rela kebebasan itu ternodai oleh egoisme pribadi, yang menempatkan kepentingan diri di atas kepentingan umat, bangsa, dan kemanusiaan? 


Tidakkah kita khawatir bahwa tanpa sadar kita sedang menjadi “katak dalam tempurung”, merasa cukup dengan ruang sempit, padahal di luar sana terbentang samudera pengetahuan, kolaborasi, dan kehidupan yang lebih bermakna?


“Kebebasan,” sesungguhnya, adalah anugerah paling agung dari Allah. 


Namun kebebasan itu bukanlah kebebasan liar tanpa batas, melainkan kebebasan yang disertai adab, nilai, dan tanggung jawab. 


Bila kebebasan dikecilkan, ia berubah menjadi tempurung yang menutup pandangan. 


Maka manusia pun menjadi seperti katak yang hanya mengenal ruang kecilnya, puas dengan semesta sempit yang ia kira luas, dan buta terhadap dunia yang lebih lapang. Allah SWT. berfirman dengan teguran yang menusuk jiwa:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

“Maka apakah mereka tidak mentadabburi Al-Qur’an? Atau apakah hati mereka telah terkunci?” (QS. Muhammad: 24).


Bukankah kunci yang menutup hati itu sama dengan tempurung yang membatasi pandangan? 


Orang yang enggan berpikir, menutup diri dari dialog, dan membatasi pergaulannya hanya pada lingkar sempit, akan kehilangan kebebasan hakiki. Rasulullah SAW. pun mengingatkan,

الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ الْأَمَانِيَّ

“Orang cerdas adalah yang mampu mengendalikan dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati. Sedangkan orang lemah adalah yang mengikuti hawa nafsunya lalu berangan-angan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).


Namun betapa banyak manusia hari ini yang justru terperangkap dalam tempurung hawa nafsu, mengejar kepentingan pribadi, memuja ego, dan melupakan kepentingan kolektif. 


Hidup mereka eksklusif, tertutup, tidak mau terbuka pada ide dan kritik, puas dengan lingkar kecilnya, tetapi miskin inovasi dan sinergi. 


Imam Ali bin Abi Thalib pernah berpesan dengan kalimat singkat namun mendalam:

قِيمَةُ كُلِّ امْرِئٍ مَا يُحْسِنُهُ

“Nilai setiap orang adalah sesuai dengan apa yang ia kuasai dan ia manfaatkan.”


Bagaimana mungkin seseorang bisa bernilai besar bila ia hanya mengurung dirinya dalam ruang sempit, enggan belajar dari orang lain, dan menolak kerja sama yang bisa memperluas cakrawala? 


Inilah wajah manusia “katak dalam tempurung”: mereka yang lebih mementingkan kepentingan diri, takut terhadap perubahan, merasa cukup dengan pengetahuan dangkal, atau bahkan hidup di bawah sistem dan kekuasaan yang mengekang kebebasan berpikir dan berekspresi.


Ciri-ciri mereka mudah dikenali, malai dari menolak kritik, alergi terhadap perbedaan, hanya mau bergaul dengan kelompoknya sendiri, sibuk dengan ambisi pribadi, dan akhirnya stagnan, hidup tanpa inovasi, tanpa kontribusi nyata. 


Dan betapa banyak dari anak bangsa hari ini yang memilih jalan seperti itu, lebih mendahulukan kepentingan personal ketimbang kepentingan komunal, sehingga kita semakin terpecah, terlemahkan, dan kehilangan ruh kolektif sebagai umat dan bangsa.


Namun Islam tidak membiarkan kita terkurung dalam tempurung sempit itu. 


Islam memberi kunci untuk membebaskan diri: membuka diri pada ilmu dan hikmah, menumbuhkan kesadaran kolektif, menguatkan adab dan akhlak, serta menanamkan jiwa zuhud agar tidak diperbudak oleh dunia. Rasulullah SAW. bersabda:

اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّينِ

“Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina.” (HR. Baihaqi).


Ilmu adalah cahaya yang menembus dinding tempurung, membuka cakrawala luas, dan melahirkan keberanian untuk berpikir serta berinovasi. 


Dan ketika ilmu telah menyinari akal, Allah SWT. memerintahkan agar kita tidak berjalan sendiri, melainkan bersinergi:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 2).


Inilah jalan keluar dari egoisme sempit. Kemerdekaan hakiki bukan ketika kita hanya meraih untuk diri sendiri, melainkan ketika kita memberi manfaat bagi sesama.


Dan semua itu hanya mungkin bila akhlak menjadi fondasi. Rasulullah SAW. diutus bukan untuk mengekang manusia, tetapi untuk menyempurnakan akhlak:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).


Dengan akhlak, kebebasan tidak menjelma kebiadaban, tetapi menjadi jalan indah menuju kebaikan. 


Dan dengan zuhud, manusia terbebas dari tempurung materialisme dan egoisme pribadi. Hasan al-Bashri menegaskan:

لَيْسَ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا بِتَحْرِيمِ الْحَلَالِ وَلَا إِضَاعَةِ الْمَالِ وَلَكِنْ الزُّهْدُ فِي الدُّنْيَا أَنْ تَكُونَ بِمَا فِي يَدِ اللَّهِ أَوْثَقَ مِنْكَ بِمَا فِي يَدِكَ

“Zuhud bukan berarti mengharamkan yang halal atau menyia-nyiakan harta, melainkan zuhud adalah ketika keyakinanmu pada apa yang ada di sisi Allah lebih kuat daripada pada apa yang ada di tanganmu.”


Dengan itu, kita terbebas dari tempurung duniawi yang sempit, dan terhubung dengan samudera ketuhanan yang luas.


Maka jelaslah bahwa kebebasan dan kemerdekaan dalam Islam bukan berarti lepas dari aturan, melainkan merdeka untuk memilih kebenaran, menolak dikte kekuasaan yang zalim, dan berpihak pada kepentingan bersama. 


Katak dalam tempurung adalah gambaran jiwa yang kerdil, stagnan, dan terpenjara oleh dirinya sendiri. 


Sebaliknya, manusia merdeka adalah mereka yang berani membuka diri, berpikir luas, hidup dengan akhlak, bersinergi dengan sesama, dan menjadikan Allah sebagai tujuan akhir.


Allah  SWT. menyeru kita dengan panggilan penuh cinta:

فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ

“Maka berlarilah kamu kepada Allah, sesungguhnya aku (Muhammad) adalah pemberi peringatan yang nyata dari-Nya.” (QS. Adz-Dzariyat: 50).


Maka keluarlah kita dari tempurung egoisme menuju samudera kebebasan yang luas.


kebebasan spiritual yang menghubungkan kita dengan Allah, kebebasan intelektual yang menuntun kita pada ilmu, dan kebebasan sosial yang mengajarkan kita untuk hidup bersama dalam kebaikan.


Doa Penutup


اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ، وَلا تَجْعَلْنَا مِمَّنْ غَرَّهُمُ الْهَوَى فَانْحَبَسُوا فِي ضِيقِ الدُّنْيَا، وَاكْتَفَوْا بِالطُّرُقِ الْمُظْلِمَةِ.

اللَّهُمَّ أَخْرِجْنَا مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَهْلِ وَالْأَنَانِيَّةِ إِلَى نُورِ الْعِلْمِ وَالْحِكْمَةِ، وَمِنْ ضِيقِ الدُّنْيَا إِلَى سَعَةِ الْآخِرَةِ، وَمِنْ عُبُودِيَّةِ الْخَلْقِ إِلَى حُرِّيَّةِ الْخَالِقِ.

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِفْتَاحًا لِلْخَيْرِ، مِغْلَاقًا لِلشَّرِّ، وَاجْمَعْ قُلُوبَنَا عَلَى حُبِّكَ، وَاجْعَلْ غَايَتَنَا رِضَاكَ، وَمَصِيرَنَا جَنَّتَكَ.


“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik darinya. Jangan Engkau jadikan kami di antara mereka yang tertipu oleh hawa nafsu, hingga terpenjara dalam sempitnya dunia, dan puas dengan jalan yang gelap.

Ya Allah, keluarkanlah kami dari kegelapan kebodohan dan egoisme menuju cahaya ilmu dan hikmah. Dari sempitnya dunia menuju luasnya akhirat. Dari perbudakan sesama makhluk menuju kebebasan bersama-Mu, Sang Pencipta.

Ya Allah, jadikanlah kami sebagai pembuka pintu kebaikan dan penutup pintu kejahatan. Satukan hati kami dalam cinta kepada-Mu, jadikan tujuan kami ridha-Mu, dan tempat kembali kami adalah surga-Mu.”


#Wallahu A’lam Bis-Sawab