Disebutkan, suatu malam Kasyiful Ghitha bangun dari tidurnya untuk mengerjakan shalat Tahajud. Beliau pun membangunkan putranya sambil berkata, "Bangun, mari sama-sama kita pergi ke makam suci Imam dan shalat di sana” Bangun pada waktu malam seperti itu sangatlah berat bagi putra beliau yang masih muda. Ia pun berkata kepada ayahnya, *“Saya sekarang belum siap. Silakan Ayah pergi dulu dan jangan menunggu saya. Nanti saya menyusul."*
Beliau menjawab, “Ayah akan tetap berada di sini. Ayo, bangun dan bersiaplah, kita pergi bersama.”
Putra beliau pun dengan terpaksa bangun, lalu mengambil air wudhu, kemudian mereka berdua berjalan bersama. Ketika sampai di pintu halaman wilayah makam, mereka melihat seorang lelaki miskin yang sedang meminta-minta.
Sang ayah berkata, 'Untuk apakah orang ini berada di sini pada waktu malam seperti ini?”
Sang putra menjawab, "Untuk mengemis.”
Ayahnya berkata, “Berapa kira-kira uang yang ia peroleh dari orang-orang yang lewat?”
Ia menjawab, “Kurang lebih satu Tumar (mata uang Iran).”
Ayahnya berkata, *“Coba pikirlah baik-baik. Orang ini demi mendapatkan sedikit uang, rela meninggalkan ternpat tidurnya, bangun pada waktu malam seperti ini hanya untuk mengemis, Apakah kamu tidak memiliki keyakinan sama seperti orang ini berkenaan dengan janji-janji Allah tentang mereka yang bangun pada waktu malam dan mereka yang mengerjakan shalat Tahajud, sebagaimana yang tercantum dalam firman-Nya?*
"Allah berfirman, Mereka tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata.” (QS AlSajdah (32): 17)
Disebutkan bahwa putra beliau begitu terguncang setelah mendengar ucapan yang keluar dari hati yang hidup itu, dan akhirnya ia sadar. Semenjak itu sampai akhir hayatnya, ia selalu bangun pada waktu akhir malam dan tidak pernah meninggalkan shalat malam. Dikutip dari buku Buat Apa Shalat? Karya Haidar Bagir.