Gambar ”KARAKTER WARA’: Kunci Utama Menjaga Diri dari Perkara Haram dan Syubhat.”


Term Wara' secara bahasa atau etimologi berasal dari kata Arab "الورع" yang berarti menjaga atau berhati-hati. 

Secara terminologi syariat, wara' adalah sikap hati-hati dalam menghindari segala sesuatu yang syubhat (meragukan) atau mendekati haram, sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. 

Sifat ini menjadi salah satu ciri orang yang bertakwa karena mereka menjaga diri dari perkara yang tidak jelas kehalalannya.

Imam Al-Ghazali menyebut wara' sebagai menjaga diri dari hal-hal yang mendekati dosa.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman."
(QS. Al-Baqarah: 278)

Rasulullah SAW menegaskan tentang sifat Wara’ ini  dalam sebuah Hadits :

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
"Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu."
(HR. Tirmidzi)

Ciri-Ciri Orang yang Memiliki Karakter Wara'

1. Menjauhi Perkara Syubhat
Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَاتٌ لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
"Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang syubhat (samar), yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Maka barangsiapa yang menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)


2. Berhati-hati dalam Bertindak
Orang yang wara’ memperhatikan setiap perilakunya agar tidak jatuh ke dalam perkara syubhat atau haram. Allah SWT. Telah berfirman :
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوْا وَاَطِيْعُوْا 

“Maka bertakwalah( berhati-hati kah) kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah…”
(QS. At-Tagabun Ayat 16)


3. Menjaga Diri dari Dosa Kecil
Rasulullah SAW bersabda:
إِيَّاكُمْ وَمُحَقَّرَاتِ الذُّنُوبِ فَإِنَّهَا تَجْتَمِعُ عَلَى الرَّجُلِ حَتَّى تُهْلِكَهُ
"Hati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa kecil itu akan terus bertambah hingga menghancurkan seseorang."
(HR. Ahmad)

4. Menjaga diri dari Harta Haram
Wara' tidak hanya soal tindakan, tetapi juga bagaimana seseorang memperhatikan dari mana hartanya diperoleh. Imam Ahmad berkata:
الورع ترك الشبهات والاحتياط في الكسب والتورع عن أموال الناس
"Wara' adalah meninggalkan syubhat dan berhati-hati dalam mencari nafkah serta menjauhi harta orang lain."

Sebab-sebab Lahirnya  Karakter Wara'.

1. Keimanan yang Kuat
Wara' lahir dari keimanan yang mendalam kepada Allah SWT. Keimanan membuat seseorang berhati-hati dalam setiap langkah, agar tidak melanggar hukum Allah. Firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan bersamalah kalian dengan orang-orang yang jujur."
(QS. At-Taubah: 119)

2. Rasa Takut kepada Allah SWT
Rasa takut akan azab Allah dan harapan untuk mendapatkan ridha-Nya membuat seseorang menjauhi perkara syubhat. Dalam Al-Qur'an disebutkan:
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
"Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhan mereka yang tidak nampak oleh mereka, bagi mereka ampunan dan pahala yang besar."
(QS. Al-Mulk: 12)


3. Kesadaran akan Akhirat
Orang yang wara’ menyadari bahwa setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Mereka selalu memikirkan dampak dari perbuatan mereka di dunia terhadap akhirat.
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ
Maka barang siapa yang mengerjakan seberat zarah) atau seberat semut yang paling kecil (kebaikan, niscaya dia akan melihatnya) melihat pahalanya.
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihatnya pula. ( QS. Surat Az-Zalzalah :7-8

4. Menjaga Kehormatan Diri
Sikap wara' juga berfungsi menjaga kehormatan diri. Orang yang wara' tidak mudah melakukan perbuatan yang dapat menodai harga diri atau kehormatannya, baik di hadapan manusia maupun Allah SWT. QS. Lukman: 15 

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ

“sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” 
(QS. Lukman:16)

Urgensi Wara' dalam Kehidupan Individu dan Sosial

1. Kehidupan Individu
Dalam kehidupan pribadi, wara' berperan sebagai perisai yang melindungi keimanan dan amal seseorang. Firman Allah SWT:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
"Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwanya, dan sungguh rugi orang yang mengotorinya."
(QS. Asy-Syams: 9-10)


2. Kehidupan Sosial
Secara sosial, wara' membangun keadilan dan harmoni. Ketika individu memiliki sikap wara', mereka menghindari perbuatan yang merugikan orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini selaras dengan firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat, serta melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan."
(QS. An-Nahl: 90)


Langkah-langkah Menerapkan Karakter Wara'

1. Meningkatkan Pemahaman Agama
Memperdalam ilmu agama adalah langkah awal dalam menerapkan sikap wara'. Seseorang harus memahami hukum syariat, baik tentang halal maupun haram, agar bisa menghindari perkara syubhat.
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat."
(QS. Al-Mujadilah: 11)


2. Memperkuat Keimanan dan Takwa
Wara' adalah buah dari ketakwaan. Untuk itu, memperbanyak ibadah, dzikir, dan taubat sangat penting agar hati tetap dalam kondisi yang bersih dan hati-hati dalam bertindak.


3. Menjaga Agar Jauh dari Hal-hal yang Meragukan
Rasulullah SAW bersabda:
طُوبَى لِمَنْ تَجَنَّبَ الشُّبُهَاتِ
"Beruntunglah orang yang menjauhi syubhat."
(HR. Tirmidzi)


4.Berkonsultasi Dengan Ulama Dalam Hal Yang Meragukan

Berkonsultasi  dengan ulama adalah langkah bijak. Ulama memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai syariat dan dapat memberikan penjelasan yang jelas mengenai sesuatu yang syubhat. Allah SWT. Telah berfirman dalam QS. An-Nahl:43:

 افَسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
“maka  bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Beberapa Kisah Inspiratif dari Karakter Wara’

Kisah-kisah tentang sifat wara’ yang inspiratif banyak terdapat dalam sejarah para sahabat Nabi, tabi’in, dan ulama-ulama besar. Salah satu yang sangat menginspirasi adalah kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayyah yang terkenal dengan kezuhudan, ketakwaan, dan kehati-hatiannya dalam urusan agama. Sifat wara' Umar bin Abdul Aziz menjadi teladan berharga bagi umat Islam dalam menjaga diri dari perkara syubhat dan haram.

Kisah Umar bin Abdul Aziz dan Lampu Istana

Saat Umar bin Abdul Aziz diangkat sebagai khalifah, dia hidup dalam kesederhanaan dan sangat berhati-hati dalam menggunakan harta negara. Suatu malam, seorang kerabatnya datang ke istana untuk membicarakan urusan keluarga. Ketika kerabatnya mulai berbicara tentang urusan pribadi, Umar segera mematikan lampu yang ada di depannya.

Kerabatnya pun bertanya, "Mengapa engkau mematikan lampu itu, wahai Amirul Mukminin?"

Umar menjawab, "Lampu ini dinyalakan dengan minyak yang dibeli dari uang baitul mal (harta negara). Ketika kita membahas urusan umat, tidak apa-apa menggunakan lampu ini. Namun, karena sekarang kita membicarakan urusan pribadi, aku tidak boleh menggunakan lampu yang dibiayai oleh harta umat. Itu bukan hakku."

Perilaku Umar bin Abdul Aziz ini menunjukkan betapa berhati-hatinya dia dalam memisahkan antara harta pribadi dan harta negara, bahkan dalam hal yang tampak sepele seperti penggunaan lampu. Sifat wara' Umar bin Abdul Aziz mengajarkan kita tentang pentingnya integritas dan ketakwaan dalam setiap tindakan, sekecil apa pun itu, serta menunjukkan betapa berartinya menjaga amanah dan hak orang lain.

Kisah Imam Abu Hanifah dan Kain yang Berlubang

Kisah inspiratif lainnya datang dari Imam Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi. Suatu hari, Imam Abu Hanifah menerima kain yang akan dijual di tokonya. Ketika kain tersebut sampai, ia menyadari ada lubang kecil di salah satu bagiannya. Imam Abu Hanifah memerintahkan anak buahnya untuk memberitahukan kepada setiap calon pembeli tentang cacat pada kain tersebut.

Namun, karena suatu kesalahan, kain itu terjual tanpa ada pemberitahuan tentang cacatnya. Imam Abu Hanifah, yang sangat wara', segera mencari pembeli kain tersebut. Ketika ia menemukannya, ia menawarkan dua pilihan: pembeli bisa mengembalikan kainnya dan mendapatkan uangnya kembali, atau dia bisa tetap mengambil kain tersebut dengan pengurangan harga yang sesuai.

Sikap wara' yang ditunjukkan Imam Abu Hanifah ini merupakan cerminan dari integritas dan kejujuran dalam perdagangan. Meski bisa saja mengabaikan masalah kecil tersebut dan tetap mendapatkan keuntungan, namun sifat wara' membuatnya berhati-hati dalam menjauhi ketidakjujuran, bahkan dalam urusan dagang yang mungkin terlihat remeh.

Kisah Sahabat Abdullah bin Umar

Sifat wara' yang luar biasa juga dapat dilihat dari Abdullah bin Umar, putra Khalifah Umar bin Khattab. Abdullah dikenal sebagai orang yang sangat berhati-hati dalam perkara agama dan selalu menjauhi hal-hal yang syubhat.

Suatu hari, Abdullah bin Umar sedang melakukan perjalanan dan merasa sangat haus. Ia melihat sebuah kebun milik seorang penduduk dan ingin memetik buah dari kebun tersebut. Namun, ia tidak memiliki izin dari pemilik kebun untuk memetik buah tersebut. Karena merasa ragu, Abdullah bin Umar menahan diri dan tidak memetiknya, meskipun ia sangat haus.

Ketika ditanya mengapa ia tidak memetik buah tersebut, Abdullah bin Umar menjawab, "Aku tidak tahu apakah pemilik kebun ini akan mengizinkanku untuk memetik buahnya atau tidak. Karena aku tidak yakin, aku memilih untuk tidak memetiknya demi menjaga agamaku."

Dari kisah Abdullah bin Umar ini, kita bisa belajar bahwa seseorang yang memiliki sifat wara' akan selalu memilih untuk menahan diri dari hal-hal yang meragukan, meskipun berada dalam kondisi yang sangat menginginkan hal tersebut. Abdullah bin Umar mengajarkan bahwa menjauhi perkara syubhat adalah jalan menuju ketenangan hati dan ketakwaan yang lebih tinggi.

Abu Bakar ash-Shiddiq dan Susu dari Kambing Milik Orang Lain

Salah satu kisah inspiratif yang menunjukkan sifat wara' adalah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifah pertama dalam sejarah Islam, dengan keteguhan hati menjauhi hal-hal yang syubhat. Suatu hari, seorang budaknya datang dan memberikan susu untuk diminum. Abu Bakar segera meminum susu tersebut tanpa bertanya dari mana asalnya. Namun, setelah selesai minum, budaknya berkata, "Tuan, tahukah engkau dari mana susu ini berasal? Aku mendapatkannya dari seseorang yang membayar untuk pekerjaan ramalan yang pernah kulakukan pada masa jahiliyah."

Mendengar hal tersebut, Abu Bakar segera memasukkan jarinya ke tenggorokannya dan memuntahkan semua susu yang telah diminumnya. Beliau sangat khawatir bahwa susu tersebut berasal dari sumber yang haram atau meragukan. Tindakan ini menunjukkan betapa hati-hatinya Abu Bakar dalam menjaga kesucian tubuh dan jiwanya dari hal-hal yang syubhat dan haram, bahkan setelah susu itu sudah berada di perutnya.


Pelajaran dari Kisah-Kisah Wara'

Kisah-kisah di atas menunjukkan betapa pentingnya sifat wara' dalam kehidupan sehari-hari. Sifat ini mengajarkan kita untuk selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan, menjauhi hal-hal yang meragukan, dan selalu menjaga amanah serta kejujuran dalam setiap tindakan. Dengan meneladani perilaku wara' seperti yang dicontohkan Umar bin Abdul Aziz, Imam Abu Hanifah, dan Abdullah bin Umar, kita bisa menjaga keimanan kita, memperbaiki hubungan kita dengan Allah SWT, serta membangun kehidupan sosial yang lebih adil dan harmonis.

Kesimpulan

Wara' merupakan sifat mulia yang sangat dianjurkan dalam Islam, yaitu sikap berhati-hati dalam menghindari perkara syubhat dan mendekati yang haram. Sikap ini lahir dari keimanan yang kuat, rasa takut kepada Allah, dan kesadaran akan kehidupan akhirat. Wara' melindungi individu dari perbuatan dosa, termasuk dosa kecil yang kerap diabaikan. Ia juga menjaga kehormatan dan integritas pribadi serta mencegah seseorang dari tindakan yang merugikan orang lain.

Dalam aspek sosial, wara' memainkan peran penting dalam membangun masyarakat yang adil dan harmonis. Sikap ini melatih seseorang untuk selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan, baik dalam hal yang berkaitan dengan perbuatan pribadi maupun dalam urusan harta.

Kisah-kisah inspiratif seperti perilaku wara' Umar bin Abdul Aziz dan Imam Abu Hanifah menunjukkan betapa pentingnya menjaga amanah dan hak orang lain, serta menjadikan wara' sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan yang berintegritas dan penuh ketakwaan.

Secara keseluruhan, wara' adalah kunci utama dalam menjaga kesucian diri, memperkuat hubungan dengan Allah, serta menjaga harmoni dan keadilan dalam kehidupan sosial.

SEMOGA BERMANFAAT
Munawir Kamaluddin