Perilaku beragama yang menyerupai ‘teori pilihan rasional’ dalam ilmu ekonomi banyak muncul di bulan Ramadan. Dalam teori ini, orang berupaya memaksimalkan keuntungan dalam setiap situasi dengan menggunakan sumber daya sekecil mungkin dan meminimalisir kerugian.

Dalam beragama, prinsip ini terlihat jika seorang berupaya meraih pahala sebanyak mungkin dengan melakukan ritual seminimal, semudah atau seringan mungkin. Karena itu, maka yang diburu adalah waktu, tempat, dan cara di mana pengamalan ibadah-ibadah dipercaya akan beroleh pahala yang berlipat ganda.

Dalam masyarakat kita, ritual populer seperti itu antara lain, Yasinan tiap malam Jum’at, puasa Rajab, salat nisfu Sya’ban. Juga tadarusan, salat tarawih dan sedekah di bulan Ramadan. Atau, bersalat di Maqam Ibrahim di Masjid Haram atau salat arba’in (40 waktu) di Masjid Nabawi, lebih-lebih bersalat pas di Rawdah di masjid yang sama.

Salat tarawih supercepat 23 rakaat dalam tempo 15 (atau 7?) menit di satu masjid di Blitar yang pernah diunggah di Youtube beberapa tahun lalu, adalah contoh kuantifikasi ibadah. Bagi banyak orang, tak penting kualitas, atau makna, efek dan pesan agama dari setiap ritual itu. Yang penting adalah kalkulasi pelipatgandaan pahala karena faktor tempat atau waktu atau cara pelaksanaannya.

Banyak orang mengaku bisa mengkhatamkan Al-Qur’an minimal tiga kali setiap Ramadan. Namun, hal itu tidak selalu identik dengan kemampuan memahami makna dari setiap ayat yang dibaca? Ini menggoda kita bertanya, apakah kira-kira manfaat “nyata” dari Al-Qur’an bagi orang-orang yang sekadar membaca tanpa bersaha memahami maknanya (misalnya lewat terjemahan), selain perasaan senang karena seseorang yakin telah mengakumulasi deposito pahala ukhrawi yang melimpah karena bacaan Al-Qur’an itu? Atau, apakah mungkin Al-Qur’an baginya dapat menjadi petunjuk, pedoman hidup praktis dan sumber pengetahuan? 

Tentu saja, sebagai wahyu Allah, Al-Qur’an  diyakini oleh kaum Muslim tetap memberi banyak manfaat, baik langsung maupun tidak, walau ia hanya dibaca tanpa pemahaman sama sekali akan maknanya. Sudah banyak yang menulis tentang manfaat membaca Qur'an secara ajaib, termasuk misalnya dalam proses penyembuhan bagi mereka yang memang rutin membacanya. Juga guna mencegah munculnya penyakita demensia atau alzheimer di usia lanjut.

Akan tetapi, dalam studi agama-agama, sering dikatakan bahwa beragama adalah proses evolutif mentrasformasi diri, mendarahdagingkan seluruh dimensi agama dalam hidup, pikiran dan prilaku para pemeluknya. Demi tujuan transformatif itu, diperlukan proses rutinisasi, pembiasaan dan penggemblengan jasmani dan rohani yang berat lewat pengamalan ritus-ritus agama secara serius dan konsisten sepanjang hayat.

Kata Nabi saw, ibadah bernilai bukan terutama karena kuantitas tapi karena konsistensi dan kontinuitas pengamalannya walau kuantitasnya kecil. Dengan kata lain, tak ada jalan pintas dalam beragama, misalnya dengan memburu momentum dan medium di mana amalan singkat dan ringan akan mendapatkan pahala berlipat-ganda. Beragama memerlukan keuletan, ketekunan, kesabaran dan daya tahan menjalankan setiap ritual agama secara benar, konsisten dan berkelanjutan.

Nabi saw. sudah mengingatkan bahwa jihad terbesar justru adalah melawan diri sendiri (jihad al-nafs). Yaitu, mengekang hawa nafsu, mendisiplinkan diri, meruntuhkan egoisme, dan menundukkan kemalasan. Pelajaran penting ibadah seperti puasa justru demi pengembangan personal. Misalnya kemampuan menahan (imsak) diri dari segala perbuatan yang merusak: serakah, egois, ambisius, dan segala sifat buruk sebagaia akibat dari ketidakmampuan "mengendalikan diri".

Intinya, Anda tak bisa menipu Allah dengan ibadah-ibadah instan Anda lalu dengan percaya diri kelak akan menagih imbalan surga dari Dia. Kata Allah, “Bahwasanya, seorang manusia tiada mendapatkan selain apa telah dia usahakan” (Qs. an-Najm/53: 39).

Kata Gus Baha dalam satu ceramahnya di Youtube, banyak orang yang kelak kecewa di akhirat. Ibadah, profesi, jabatan dan baktinya selama di dunia ternyata tidak bernilai di mata Allah. Sebabnya, semua itu dilakukan sesungguhnya hanya demi kepentingan, keuntungan dan keniikmatan diri sendiri saja. Atau, hanya pencitraan untuk mendapatkan kehormatan manusia, bukan untuk mendapatkan keridaan Tuhan.

Sebagai contoh lainnya, Anda tak bisa mendapatkan pengetahuan agama yang mendalam dan berefek transformatif selama Ramadan dengan hanya duduk santai mendengar ceramah yang bersifat menghibur saja di mimbar masjid, tablig akbar, atau lewat media elektronik. Apalagi jika sambil mendengarkan ceramah tersebut Anda memilih duduk santai, bersandar di dinding atau tiang masjid dan berselonjor kaki. Belum lagi jika, sementara mubalignya begitu semangat bicara di atas mimbar masjid, Anda malah memilih memelototi gawai canggih Anda untuk bermedsos ria.

Pengetahuan sejati diperoleh salah satunya dengan membaca dan membaca sepanjang hayat. Wahyu pertama kepada Nabi Saw adalah perintah membaca (iqra’), bukan perintah menyembah. Literasi beragama juga harus dibangun melalu proses belajar yang panjang, sistematis, dan metodis serta dibimbing oleh sarjana atau ulama yang otoritatif di bidang ilmu agama terkait. 

Sayangnya, menurut banyak temuan survei, kebanyakan masyarakat kita masih malas membaca, apalagi mencari pengetahuan secara mandiri. Mereka umumnya menjadi pemirsa televisi yang tekun. Atau mengandalkan platform media sosial seperti Youtube, Tiktok, Instagram, WhatsApp, dsb. Kata Zig Ziglar, “Orang kaya punya TV kecil dan perpustakaan besar, dan orang miskin punya perpustakaan kecil dan TV besar.” Artinya, salah satu prasyarat penting pendewasaan cara beragama ya dengan membangun budaya literasi, bukan budaya nonton TV atau nonton sinetron lewat gawai!

Sudah lama Indonesia disebut berada dalam kondisi darurat literasi. Dalam risertnya bertajuk The World's Most Literate Nations, Miller dan McKenna (2016) melaporkan bahwa dari 61 negara yang disurvei, Indonesia berada di peringkat ke-60, hal ini menunjukkan bahwa tingkat minat membaca di Indonesia tergolong rendah. Indonesia berada pada urutan kedua dari bawah dalam level literasi penduduknya. Ia berada di bawah Thailand dan Malaysia serta Singapura sebagai negara dengan peringkat literasi tertinggi di Asia Tenggara. Indonesia hanya satu tingkat lebih baik dari Republik Botswana, satu negara di Afrika bagian selatan. 

Sejarah membuktikan, hanya bangsa yang gandrung membaca dan mencintai pengetahuan yang berhasil membangun sebuah peradaban. Dan beberapa kawasan dunia Islam pernah menjadi puncak-puncak peradaban dunia selama lebih dari delapan abad karena penduduknya memiliki literasi tinggi, mencintai pengetahuan dan kota-kotanya memiliki perpustakaan-perpustakaan besar.