Pengantar: Ada ketinggalan satu artikel. Yaitu artikel dua sudah lebih dahulu terkirim sebelum artikel satu. Minta maaf sebab terjadi kesalahan tak perlu dan itulah manusia disebut manusia karena sering membuat kesalahan. Untuk itu saya kirim artikel satu.


JIKA TAK PINTAR, BISA DUCARI DENGAN BELAJAR;

JIKA TAK JUJUR, KE MANA PULA MENCARINYA? (1)

Puisi Refleksi tentang Kejujuran

oleh Ahmad M. Sewang


Prof. Komaruddin kami undang hadir,

di Milad IMMIM yang khidmat dan syahdu,

di ujung pidato, kami larut dalam tafsir,

tentang kejujuran yang bersinar di negeri jauh itu.


“Di Jepang,” katanya pelan dan dalam,

“anak-anak tak mengambil dompet di temui di jalan.

Bukan karena takut, bukan pula karena diawasi,

tetapi karena kejujuran telah menumbuh sejak dini.”


Mereka tak mencontek saat ujian,

tak malu mengundurkan diri jika gagal,

karena yang mereka jaga bukan hanya nilai,

tetapi martabat pribadi yang tak boleh jatuh terjungkal.


Demikian pula di tanah Denmark dan New Zealand,

di mana jujur menjadi nadi kehidupan.

Bukan karena sistem yang kuat semata,

tetapi karena nurani dijaga oleh kepercayaan.


“Dulu saya kira,” ujar sang Guru bangsa,

“kemakmuran datang karena pendidikan unggul semata.

Ternyata tidak—

mereka percaya, semua itu buah dari kejujuran yang merata.”


Karena saat jujur menjadi fondasi negeri,

maka fasilitas rakyat dibangun sepenuh hati,

tanpa korup, tanpa culas, tanpa akal licik,

semua berjalan sesuai nilai dan etika yang apik.


Mereka yakin,

kejujuran melahirkan kecerdasan yang berguna,

menjadikan akal tak sekadar tajam,

tapi penuh manfaat bagi bangsa dan sesama.


Tak heran jika mereka disebut “masyarakat islamy,”

walau Islam tak tercetak di KTP mereka.

Sebab Nabi bersabda, jujur itu jalan ke surga,

dan mungkin pula jalan menuju surga dunia yang nyata.


Jika tak pintar,

belajarlah dengan rendah hati.

Tapi jika tak jujur,

ke mana lagi hendak dicari?



Kompleks GPM, 21 Juli 2025

Dengan harap dan perenungan,

Ahmad M. Sewang