Di tanah Bugis yang bijak berakar,
hidup seirama dua cahaya bersinar:
pangngaderreng dari nadi adat purba,
syariat Islam dari langit yang mulia.
Mereka berpadu, tak saling meniadakan,
membentuk pandangan hidup yang kokoh menawan,
mengatur laku manusia pada Tuhan-Nya,
dan hubungan sesama dalam cinta dan tata.
Pangngaderreng—tak semata warisan nenek moyang,
tapi telah berhikmah dalam syariat nan terang,
menjadi norma sosial dan hukum adat bangsa,
mengayomi, mencegah tindak nista.
Sirik pun lahir sebagai penjaga harkat,
rasa malu karena mengingkari amanat,
agama dan adat bersatu dalam jiwa,
membentuk mental yang setia dan mulia.
Zaman berganti, arus datang menerpa,
kolonial datang, tapi tak sanggup memusnahkannya,
Belanda biarkan hukum adat berakar,
karena tahu: nilai tradisi tak bisa dibakar.
Dan saat merdeka pun, ia tetap lestari,
karena Pancasila menjunjung tinggi nilai hakiki—
agama dihormati, adat diakui,
dalam semboyan "bhinneka tunggal ika" yang suci.
Pancasila dan pangngaderreng bersua dalam makna,
sebagai wajah budaya bangsa yang merdeka,
menjadi pilar dalam hukum nasional,
tak tertulis, namun sangat monumental.
Pangngaderreng hidup dalam diam,
menata hubungan, membina kedamaian,
dari rumah ibadah hingga jantung negara,
dari batin pribadi hingga tata masyarakatnya.
Kini hukum Islam berdiri sendiri,
sebagai hukum nasional yang sah dan mandiri,
terlihat kuat dalam peradilan agama,
menjadi tiang keadilan di ranah yang mulia.
Dua warisan: dari langit dan dari bumi,
bertemu dalam jiwa Bugis yang berseri,
menjadi tameng dalam badai zaman,
dan obor peradaban yang terus bertahan.
Kompleks GPM, 25 Juni 2025